Kamis, 31 Desember 2009

Surat Kepada Umar bin Abdul Aziz

Ketika Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekhalifahan Bani Umayyah yang ke VIII, pada masa itu pula hidup seorang ulama besar, yaitu Syeikh Hasan Bashri. Dengan segala kebijaksanaannya pada sekali kesempatan pemimpinnya itu diberi nasihat agar dalam memegang tampuk kerajaan tidak diselewengkan menurut sekehendak hatinya, kendati Umar bin Abdul Aziz sendiri telah terkenal dengan keshalihannya.
Amma ba’du.
Sadarilah wahai Khalifah, bahwa dunia ini adalah sebuah tempat yang bakal beralih, bukan tempat yang abadi. Dengan demikian ketika nabi Adam As. diturunkan ke bumi, maka hal itu sebagai siksaan. Untuk itu Amiril Mukminin harus waspada. Apalagi bekal menuju akhirat adalah dengan meninggalkan duniawi. Dan kekayaan dunia malah akan menyebabkan kemelaratan di akhirat. Sedangkan pada setiap saat banyak orang yang berperang hanya karena memperebutkannya. Pada akhirnya duniawi akan menghinakan mereka yang memuliakan dan menjadikan miskin mereka yang mengumpulkannya.
Dunia seakan racun yang selalu ditenggak mereka yang tidak mengetahuinya, padahal di dalamnya mengandung bencana kematian. Dengan demikian hendaklah engkau bersikap sebagaimana orang yang mengobati suatu penyakit, dia akan berani untuk diet sebentar demi menghindari rasa sakit yang berkepanjangan. Ia akan rela menelan kepahitan obat yang ditenggaknya demi menggapai kesehatan yang diharapkan. Hendaklah engkau, wahai Amiril Mukminin, selalu waspada terhadap duniawi yang penuh tipuan ini.
Dunia telah begitu menantang dengan berbagai perhiasannya. Ia menggoda dengan berbagai upayanya dan berhias dengan bermacam-macam angan kosong, namun selalu bersikap enggan kepada para peminangnya, sehinggga bagaikan pengantin wanita yang selalu berbinar dengan senyum. Seluruh mata menatap kepadanya, banyak pula hati yang hanyut terpesona dengan kecantikannya, bahkan banyak jiwa yang harus terbuai dengannya. Setelah para suami dunia itu bercengkerama dengannya, segera saja kini menjauh dari mereka. Ternyata mereka telah ditipu. Ironisnya, mereka yang masih hidup juga tidak pernah menyadari terhadap akibat derita mereka yang telah mati. Juga mereka yang hidup pada kurun akhir ternyata juga tidak pernah mengambil pelajaran terhadap mereka yang hidup pada kurun awal. Padahal mereka yang betul-betul mengetahui bahwa Allah telah memperingatkan semua itu. Namun lagi-lagi nasihat mereka tidak pernah dihiraukan.
Mereka yang telah terbuai kenikmatan duniawi, selalu akan bertambah kelalaian dan ketertipuan mereka, sehingga dengan begitu tenang melupakan tempat abadi. Malah seluruh kekuatan akal telah mereka curahkan untuk mengurus kepentingan duniawi sehingga banyak kaki yang terpeleset karenanya yang pada akhirnya menyebabkan keluh kesah yang tiada akhir dan duka yang tiada tara. Hal ini yang akan menyebabkan begitu pahit ketika mati, bahkan menyeret kepada penderitaan bercampur penyesalan. Padahal telah banyak mereka yang begitu mabuk duniawi, namun tetap saja tidak bisa menghasilkan apa yang didambakan, juga tidak pernah beristierahat dari kesukaran. Sikap seperti ini kalau diteruskan, maka seseorang akan dijemput ajal dalam keadaan tidak berbekal. Ia akan menghadap Allah dengan tanpa persiapan pula.
Wahai Amiril Mukminin, takutlah jika saja dirimu terjerumus pada gaya hidup yang demikian itu. Hendaklah engkau berbahagia ketika dirimu masih bisa mawas diri dan waspada terhadap bahaya duniawi itu, sebab pada prakteknya setiap orang yang berkecimpung dengan duniawi, kemudian ia puas dengan apa yang diperolehnya, maka sebentar lagi dunianya akan menggiring tubuhnya ke arah yang begitu dibenci. Dengan demikian duniawi itu ketika memberi kebahagiaan, pada hakikatnya ia menjulurkan tipudaya. Sedangkan memanfaatkan duniawi itu sendiri tidak lepas dari berbagai bencana dan bahaya. Malah kadang sebuah kebahagiaan begitu cepat meluncur menjadi penderitaan. Sering pula kekalnya segera berbalik menjadi kehancuran. Keceriaan selalu beriringan dengan derita. Apa yang telah pergi, tidak akan pernah kembali, demikian pula nasib yang akan datang tidak pernah dimengerti sehingga tidak layak untuk ditunggu. Bayangan keduniaan itu selalu dusta, yang jika seseorang membayangkan kebahagiaan maka ketika saatnya telah tiba, ternyata semua harapan itu berjalan biasa-bisasa saja dengan tanpa sebuah kenikmatan sehingga kebeningannya sering segera berbalik menjadi keruh, hidup pun seakan begitu berat. Manusia dalam mengarungi kehidupan ini selalu dilingkupi oleh dua bahaya, dalam arti ketika memperoleh kenikmatan, mereka juga dirundung bahaya, apalagi ketika bencana memebelenggu. Seumpama saja Allah tidak pernah memberitakan dan tidak pernah memberi tamsil, tentulah duniawi yang bersifat licik itu telah bisa membangkitkan orang tidur dan memperingatkan mereka yang terlupa. Nyatanya Allah tidak pernah melalaikan begitu saja, bahkan Dia telah memberi peringatan bahwa duniawi itu di sisi Allah tidak punya arti apa pun. Dia juga tidak pernah melihatnya semenjak menciptakannya. Bahkan pada suatu kesempatan ditawarkan kepada Rasulullah mengenai berbagai kekayaan yang tersimpan di perut bumi, padahal apa yang ditawarkan itu tidak akan mengurangi kekayaan di sisi Allah kendati hanya seberat sayap nyamuk, ternyata beliau enggan menerimanya.(1 Hal ini tiada lain karena beliau telah menyadari, jangan-jangan sikapnya itu akan menyalahi perintah Allah, atau mencintai apa yang telah dibenci Allah, bahkan akan memuliakan apa yang dihinakan Allah. Begitu pula hamba-hamba yang saleh akan selalu dijauhkan dari duniawi, hal ini tiada lain sebagi ujian. Namun musuh-musuh Allah malah bergelimang dengan harta dengan maksud agar mereka tertipu. Dengan demikian setelah mereka terjerat dengan tipuan itu, akan selalu menyangka bahwa kehidupan mereka telah dimuliakan Allah dengan duniawi itu. Sedangkan mereka melalaikan begitu saja sikap Allah terhadap nabi Muhammad, yang pada suatu ketika beliau sampai membebatkan batu di perutnya karena lapar.(2 Telah sampai pula kepada kita suatu keterangan dari Rasulullah Saw, mengenai kabar Allah yang diberikan kepada nabi Musa As.
“Jika saja dirimu bertemu dengan kekayaan, maka anggaplah hal itu merupakan dosa yang siksaannya disegerakan. Namun jika saja kau menemukan kemiskinan, maka katakan bahwa hal itu merupakan kegembiraan orang-orang shalih”
Boleh juga engkau mengikuti nabi Isa selaku Ruhullah dan kalimat-Nya, beliau pernah mengatakan:
“Laukku adalah lapar, kebiasaanku adalah takut Allah, sedangkan pakaian yang aku kenakan adalah bulu, tubuhku akan menjadi hangat di musim penghujan ketika matahari telah terbit, sedangkan lampuku selama ini adalah cahaya rembulan, kendaraanku tiada lain kedua belah kakiku, sedangkan makanan dan buah-buahanku adalah apa saja yang tumbuh di atas bumi. Dengan demikian ketika aku bermalam, aku dalam keadaan papa, dan ketika bangun pagi pun dalam keadaan papa. Namun anehnya, setelah aku pikir, ternyata tidak seorang pun penduduk di atas bumi ini yang lebih kaya daripada diriku”
Wassalam.
Demikian surat itu diterima oleh Baginda Umar bin Abdul Aziz dengan segala hormat. Kemudian dibacanya dengan derai air mata ketika menyadari dirinya masih ada yang menasihati, sehingga akan segera kembali kepada kebenaran jika saja dalam sekali waktu salah melangkah. ◙

Nasihat Syeikh Hatim al-Asham

Munafik, merupakan sikap buruk yang amat hina. Tidak ada lagi kehinaan yang melebihi sikap tersebut, masih melebihi kekafiran. Hal inilah yang menyebabkan Allah mengutuk dan melaknat para penyandangnya, sehingga Dia mengancam mereka kekal di neraka yang paling bawah. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka (QS. An-Nisa’: 145).
Al-Ghazali yang menuturkan ucapan Imam Hatim Al-Asham, seorang ulama dan ahli tasawuf datri Mesir, yakni ketika mengupas perbedaan antara orang mukmim dengan orang munafik Beliau mengatakan:
≈ Seorang mukmin senantiasa disibukkan dengan bertafakur, merenung, mengambil pelajaran dari aneka kejadian apa pun di muka bumi ini, sementara orang munafik disibukan dengan ketamakan dan angan-angan kosong terhadap dunia ini.
≈ Seorang mukim berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari siapa saja kecuali dari mengharap kepada Allah.
≈ Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa apa pun yang mengancam dia ada dalam genggaman Allah, di lain pihak orang munafik justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzhubilah, yang tidak dia takuti malah Allah SWT.
≈ Seorang mukmin mengorbankan hartanya demi mempertahankan agamanya sementara seorang munafik mengorbankan agamanya demi mempertahankan hartanya.
≈ Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun dia berbuat keburukan.
≈ Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat kepada Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah.
≈ Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak, sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.
≈ Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin adalah upaya untuk memperbaiki sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusak, naudzhubillah".”
Tampak demikian jauh beda akhlak antara seorang mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan di atas. Kita harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa yang menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapa pun yang punya jabatan di dunia ini hanyalah sekedar makhluk yang hidup sebentar dan bakal mati, seperti halnya kita juga. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan, sebab itu cuma tempelan sebentar sajAllah yang kalau tidak hati-hati justru itulah yang akan menghinakan dirinya.
Mudah-mudahan Allah SWT yang Mahamengetahui siapa diri kita yang sebenarnya menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan. Kedudukan seseorang di sisi Allah tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar IslamnyAllah yang paling baik imannya yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah Saw ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia akhlaknya.
Walhasil sehebat apa pun pengetahuan dan amal kita sebanyak apa pun harta kitAllah setinggi apa pun kedudukan kita jikalau akhlaknya rusak maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlaknya buruk, pesona pun akan pudar.
Yakinlah bahwa Rasulullah Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabatnya "Apa tugas tuan diutus ke dunia ini, ya Rasul?". Rasulullah menjawab, "Innama buitsu liutamimma makarimal akhlak" "Sesungguhnya aku diutus ke dunia hanyalah untuk menyempurnakan akhlak".
Sayangnya kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah.
Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar putih seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apa pun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya tidak ada sekutu lain selain Allah tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.
Sayangnya yang kita temukan sekarang amat berlainan, sepertinya ada sesuatu yang menyedihkan di mana cara menyampaikan pendapat, kritik, dan saran serta koreksi dilakukan dengan akhlak yang kurang terpuji, kotor, kasar, dan nista. Saling memukul, saling menjatuhkan, saling mencemarkan, dan saling membeberkan aib. Padahal kalaulah didapat jabatan, baik presiden, menteri, gubernur, walikota, rektor, atau dekan di kampus, bahwa jabatan yang disandang itu tidak akan lama hanya beberapa tahun saja dan kalau tidak hati-hati justru aibnya yang akan melekat lebih lama. Harusnya kita anggap semuanya biasa-biasa saja, anggap saja sebagai hiburan yang justru kalau tidak hati-hati, pangkat dan jabatan itulah yang akan mencemarkan, menjatuhkan, dan menghinakan kedudukan dunia dan akhirat kita.
Karenanya jangan terperangah melihat orang punya kedudukan, sebab itu cuma tempelan ringan yang berat tanggung jawabnya. Jangan pula mendatangi orang yang dianggap memiliki kekuatan dahsyat sehingga kita merasa aman. Para dukun, ahlik klenik, tukang sihir, atau paranormal, mereka sama saja dengan kita yaitu makhluk yang pasti binasa. Mereka hanya orang lapar yang mencari makan dengan menjadi dukun atau yang sejenisnya. Seharusnya kalau mereka hebat, tidak usah mencari nafkah dengan seperti itu. Pernah suatu ketika ada seseorang yang mengaku ahli pengobatan yang ternyata hanya menjual kata-kata pengobatan yang dia maksudkan ternyata berasal dari obat yang dia beli di apotek dan dijual kembali dengan harga berpuluh dan beratus kali lipat dari harga aslinya.
Bulatkan dan bersihkan hati kita hanya kepada Allah dengan dibuktikan oleh kesungguhan ibadah dan amal kita. Sehingga tidak usah menyimpan keris sekecil apapun di rumah kita hanya untuk menjadi penolak bala. Allah yang Mahaagung dan Mahakuasa dapat menolong kita.
Tiadalah yang dituju selain Allah, tiadalah yang diharap selain harap dari Allah, tiadalah yang ditakuti selain hanya Allah, tiadalah yang dimaksud selain Allah, tiadalah yang bulat mencuri hati selain Allah. Orang yang bersih tauhidnya itulah yang benar akhlaknya, insya Allah. Sebab baik amalnya, ramah, dan dermawan orangnnya tetapi dia termasuk orang yang menyekutukan Allah maka dia tidak termasuk orang yang berakhak mulia. Semoga bermanfaat. ◙

Isi sebuah Khutbah

Seorang khalifah tempo dulu, secara langsung ia juga menjadi panglima perang tertinggi, juga memimpin ritual keagamaan, baik menjadi imam shalat lima waktu atau pun memberi ceramah dan khutbah. Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, ia pun sering memberi nasihat yang amat berarti bagi ummat untuk mernggapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara khutbah-khutbah beliau, adalah apa yang terulis di bawah ini.
Amma ba’du:
Sadarilah wahai para hadirin bahwa kalian akan mati dan dibangkitkan. Kalian akan diperlihatkan pada amal-amal kalian serta mendapat balasan darinya. Dengan demikian janganlah kehidupan dunia ini menipu kalian, sebab dunia itu memang telah dikenal sebagai kawasan ujian, juga daerah kehancuran, di samping terkenal pula dengan bujukannya. Apalagi segala apa yang di dalamnya akan menuju sirna. Namun para pemburunya begitu bersemangat untuk meraih, kendati kekuasaannya hanya bergilir. Keduniaan tidak akan kekal bagi para penguasanya. Begitu pun mereka yang bertempat di situ tidak akan merasa aman dari berbagai keburukan. Sehingga ketika para penduduknya dalam keadaan aman dan tenteram, tiba-tiba saja terkena bencana dan bahaya dalam kondisi yang selalu berubah-ubah. Sering pula kebahagiaan hidup di dalamnya tiba-tiba berpaling. Kegembiraan yang tak pernah kekal dan kehidupan yang tak pernah terlepas dari cela. Sehingga para penghuninya sering kali sebagaimana papan latihan menembak, papan itu selalu terkena sasaran pelor penderitaan sehingga mereka selalu menderita karenanya. Apalagi mereka mesti berakhir dengan kematian dengan mendapatkan bagian dan balasan yang sudah ditentukan pula.
Sadarilah oleh kalian, wahai para hamba Allah, bahwa apa yang kalian alami dan apa yang kalian peroleh, tiada akan jauh berbeda dengan apa yang telah dialami oleh kaum yang hidup sebelum kalian, malah umur mereka lebih panjang, lebih kuat pula tubuhnya dan lebih hebat dalam memakmurkan persada ini serta lebih banyak dalam memberikan bekas peninggalan. Namun ternyata suara mereka kini telah hilang setelah mereka berusaha sekuat kemampuan untuk mengekalkan keharuman namanya. Tubuh-tubuh mereka pun hancur dengan meninggalkan rumah-rumah yang tidak perpenghuni lagi. Kejayaan mereka ternyata tidak memberi bekas lagi, malah istana, kastil dan alas tidur indah mereka, kini telah berganti dengan batu-batu besar yang tersandar di alam kubur.
Dengan demikian para penghuni dunia itu tidak berjangka lama, padahal ketika hidup telah didera dengan berbagai keluh kesah tersebab harus berebut dengan kawan yang lain. Mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah diusahakan, mereka pun selalu didera dengan berbagai kesibukan. Kehidupan mereka tidak pernah tenteram secara hakiki kendati rumah mereka berdekatan dengan para tetangga dan sanak saudara. Bagaimana seseorang akan bisa hidup bahagia jika saja pada setiap hari harus waspada dari berbagai bencana, bahkan harus berhadapan berbagai bahaya yang berakhir dengan kematian.
Tiada lagi setelah hidup ini terkecuali menemui kematian. Tiada pula setelah keceriaan hidup ini terkecuali menjadi belulang yang akan berserakan. Kubur cukup sebagai tempat berkumpul mereka. Mereka terpaksa harus menghuni rumah bawah tanah yang tidak diharapkan lagi bisa kembali ke dunia. Jangan berharap seperti itu wahai saudara sekalian, terlalu jauh. Kendati kalimat sepeti itu diucapkan mereka yang menyesali, malah dibalik mereka terpasang tirai sampai hari mereka dibangkitkan. Kalian pasti menempuh tahap seperti itu, dan tubuh kalian pasti hancur, serta mengalami kesendirian di tempat kembali kalian masing-masing. Kalian akan ditahan di tempat itu, malah sebagian dari kalian ada yang harus dijepit dengan tempat itu. Bagaimana usaha kalian nanti jika saja telah mengalami dan menyaksikan penderitaan dengan mata kepala. Pada hari itu seluruh apa yang ada di dalamnya akan dimuntahkan, dan segala apa yang tersimpan dalam dada akan dikeluarkan, malah kalian akan di seret di depan Yang Maha Agung sehingga akal kalian tidak berfungsi lagi tersebab ketakutan yang memuncak dari akibat berbagai dosa yang telah kalian lakukan. Di hari itu pula seluruh tirai akan segera disingkap sehingga berbagai cela dan dosa akan tampak begitu nyata. Di sanalah setiap tubuh akan menerima balasannya masing-masing sesuai dengan perilaku mereka ketika hidup, sesuai dengan janji Allah sendiri yang telah mengatakan:
Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan. Dan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik pula (QS. An-Najm: 31).
Berfirman pula:
Dan ditaruhkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang durhaka ketakutan terhadap apa-apa yang ada di dalamnya (QS. Al-Kahfi: 49).
Tiada lain harapan saya, semoga Allah menjadikan diriku dan diri kalian selalu bersikap sesuai dengan Kitab-Nya, mengamalkan isinya dan selalu menapak perilaku para kekasih-Nya sehingga Dia menempatkan kita di daerah kekal dengan mendapat karunia-Nya. Dia Mahaterpuji dan Mahaagung. ◙

Nasihat Syeikh Hatim al-Asham

Nasihat Syeikh Hatim al-Asham


Munafik, merupakan sikap buruk yang amat hina. Tidak ada lagi kehinaan yang melebihi sikap tersebut, masih melebihi kekafiran. Hal inilah yang menyebabkan Allah mengutuk dan melaknat para penyandangnya, sehingga Dia mengancam mereka kekal di neraka yang paling bawah. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka (QS. An-Nisa’: 145).
Al-Ghazali yang menuturkan ucapan Imam Hatim Al-Asham, seorang ulama dan ahli tasawuf datri Mesir, yakni ketika mengupas perbedaan antara orang mukmim dengan orang munafik Beliau mengatakan:
≈ Seorang mukmin senantiasa disibukkan dengan bertafakur, merenung, mengambil pelajaran dari aneka kejadian apa pun di muka bumi ini, sementara orang munafik disibukan dengan ketamakan dan angan-angan kosong terhadap dunia ini.
≈ Seorang mukim berputus asa dari siapa saja dan kepada siapa saja kecuali hanya kepada Allah, sementara orang munafik mengharap dari siapa saja kecuali dari mengharap kepada Allah.
≈ Seorang mukmin merasa aman, tidak gentar, tidak takut oleh ancaman siapa pun kecuali takut hanya kepada Allah karena dia yakin bahwa apa pun yang mengancam dia ada dalam genggaman Allah, di lain pihak orang munafik justru takut kepada siapa saja kecuali takut kepada Allah, naudzhubilah, yang tidak dia takuti malah Allah SWT.
≈ Seorang mukmin mengorbankan hartanya demi mempertahankan agamanya sementara seorang munafik mengorbankan agamanya demi mempertahankan hartanya.
≈ Seorang mukmin menangis karena malunya kepada Allah meskipun dia berbuat kebajikan, sementara seorang munafik tetap tertawa meskipun dia berbuat keburukan.
≈ Seorang mukmin senang berkhalwat dengan menyendiri bermunajat kepada Allah, sementara seorang munafik senang berkumpul dengan bersukaria bercampur baur dengan khalayak yang tidak ingat kepada Allah.
≈ Seorang mukmin ketika menanam merasa takut jikalau merusak, sedangkan seorang munafik mencabuti seraya mengharapkan panen.
≈ Seorang mukmin memerintahkan dan melarang sebagai siasat dan cara sehingga berhasil memperbaiki, larangan dan perintah seorang mukmin adalah upaya untuk memperbaiki sementara seorang munafik memerintah dan melarang demi meraih jabatan dan kedudukan sehingga dia malah merusak, naudzhubillah".”
Tampak demikian jauh beda akhlak antara seorang mukmin dengan seorang munafik. Oleh karenanya kita harus benar-benar berusaha menjauhi perilaku-perilaku munafik seperti diuraikan di atas. Kita harus benar-benar mencegah diri kita untuk meyakini adanya penguasa yang menandingi kebesaran dan keagungan Allah. Kita harus yakin siapa pun yang punya jabatan di dunia ini hanyalah sekedar makhluk yang hidup sebentar dan bakal mati, seperti halnya kita juga. Jangan terperangah dan terpesona dengan kedudukan, pangkat, dan jabatan, sebab itu cuma tempelan sebentar sajAllah yang kalau tidak hati-hati justru itulah yang akan menghinakan dirinya.
Mudah-mudahan Allah SWT yang Mahamengetahui siapa diri kita yang sebenarnya menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yang harus diperbaiki, memberitahu jalan yang harus ditempuh, dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tidak dikalahkan oleh kemalasan, tidak dikalahkan oleh kebosanan, dan tidak dikalahkan oleh hawa nafsu.
Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yang dapat diwariskan kepada keluarga keturunan, dan lingkungan adalah keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tidak diukur oleh luasnya ilmu. Keimanan seseorang tidak diukur oleh hebatnya pembicaraan. Kedudukan seseorang di sisi Allah tidak juga diukur oleh kekuatan ibadahnya semata. Tapi semua kemuliaan seorang yang paling benar IslamnyAllah yang paling baik imannya yang paling dicintai oleh Allah, yang paling tinggi kedudukannya dalam pandangan Allah dan yang akan menemani Rasulullah Saw ternyata sangat khas, yaitu orang yang paling mulia akhlaknya.
Walhasil sehebat apa pun pengetahuan dan amal kita sebanyak apa pun harta kitAllah setinggi apa pun kedudukan kita jikalau akhlaknya rusak maka tidak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlaknya buruk, pesona pun akan pudar.
Yakinlah bahwa Rasulullah Saw diutus ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabatnya "Apa tugas tuan diutus ke dunia ini, ya Rasul?". Rasulullah menjawab, "Innama buitsu liutamimma makarimal akhlak" "Sesungguhnya aku diutus ke dunia hanyalah untuk menyempurnakan akhlak".
Sayangnya kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yang sebenarnya jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karenanya penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yang terpecah-pecah, semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh, termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah.
Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlaknya kepada Allah, hatinya benar-benar putih seperti putihnya air susu yang tidak pernah tercampuri apa pun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinannya tidak ada sekutu lain selain Allah tidak ada satu tetes pun di hatinya meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.
Sayangnya yang kita temukan sekarang amat berlainan, sepertinya ada sesuatu yang menyedihkan di mana cara menyampaikan pendapat, kritik, dan saran serta koreksi dilakukan dengan akhlak yang kurang terpuji, kotor, kasar, dan nista. Saling memukul, saling menjatuhkan, saling mencemarkan, dan saling membeberkan aib. Padahal kalaulah didapat jabatan, baik presiden, menteri, gubernur, walikota, rektor, atau dekan di kampus, bahwa jabatan yang disandang itu tidak akan lama hanya beberapa tahun saja dan kalau tidak hati-hati justru aibnya yang akan melekat lebih lama. Harusnya kita anggap semuanya biasa-biasa saja, anggap saja sebagai hiburan yang justru kalau tidak hati-hati, pangkat dan jabatan itulah yang akan mencemarkan, menjatuhkan, dan menghinakan kedudukan dunia dan akhirat kita.
Karenanya jangan terperangah melihat orang punya kedudukan, sebab itu cuma tempelan ringan yang berat tanggung jawabnya. Jangan pula mendatangi orang yang dianggap memiliki kekuatan dahsyat sehingga kita merasa aman. Para dukun, ahlik klenik, tukang sihir, atau paranormal, mereka sama saja dengan kita yaitu makhluk yang pasti binasa. Mereka hanya orang lapar yang mencari makan dengan menjadi dukun atau yang sejenisnya. Seharusnya kalau mereka hebat, tidak usah mencari nafkah dengan seperti itu. Pernah suatu ketika ada seseorang yang mengaku ahli pengobatan yang ternyata hanya menjual kata-kata pengobatan yang dia maksudkan ternyata berasal dari obat yang dia beli di apotek dan dijual kembali dengan harga berpuluh dan beratus kali lipat dari harga aslinya.
Bulatkan dan bersihkan hati kita hanya kepada Allah dengan dibuktikan oleh kesungguhan ibadah dan amal kita. Sehingga tidak usah menyimpan keris sekecil apapun di rumah kita hanya untuk menjadi penolak bala. Allah yang Mahaagung dan Mahakuasa dapat menolong kita.
Tiadalah yang dituju selain Allah, tiadalah yang diharap selain harap dari Allah, tiadalah yang ditakuti selain hanya Allah, tiadalah yang dimaksud selain Allah, tiadalah yang bulat mencuri hati selain Allah. Orang yang bersih tauhidnya itulah yang benar akhlaknya, insya Allah. Sebab baik amalnya, ramah, dan dermawan orangnnya tetapi dia termasuk orang yang menyekutukan Allah maka dia tidak termasuk orang yang berakhak mulia. Semoga bermanfaat. ◙

Ketika Hidayah Bersemi dalam Hati

Jika saja dendam yang bergumpal di dalam hati Adiy bin Hatim At-Thaiy itu dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk jazirah Arab, desa-desa dan kota-kotanya, pastilah negeri itu tidak akan bisa menampung dendam kesumatnya. Dan jika saja ia dapat menghimpun seluruh kekuatan dunia untuk menghadapi Muhammad Rasulullah, tentulah ia tak akan membiarkan setiap kesempatan untuk segera menggulung kekuatannya yang semakin mencengkeram itu.
Sesungguhnya hakikat kepahitan yang selama ini telah mendera hatinya tiada lain adalah kemenangan Rasulullah Saw. pintu-pintu penduduk Makah yang kini selalu terbuka untuk beliau dan menyerahnya kabilah Hawazin sesudah pertempuran seru di Hunain. Ternyata kabilah demi kabilah kini telah berjatuhan dan takluk kepada kekuasaan agama baru – Islam – yang begitu benderang dan berkemampuan luarbiasa, tak dapat dikalahkan lagi. Apakah rahasianya. Apakah yang demikian itu karena diperjuangkan orang-orang yang tidak pernah takut mati, ataukah karena melihat kemenangan dengan optimis, ataukah pada semangat untuk mendapatkan tawanan dan harta rampasan perang. Tidak, tidak. Ini semua atau sebagiannya merupakan perihal yang nomor dua bagi suatu usaha yang sangat penting. Sesungguhnya kekuatan untuk selalu menang itu tersimpan dalam prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan Adiy bin Hatim At-Thaiy telah mengetahui prinsip-prinsip itu. Ia mengetahui sejak menganut agama Masehi, dan membaca sebagian dari sejarah agama Masehi serta telah mendengar banyak mengenai prinsip-prinsipnya. Ia merupakan salah seorang dari orang-orang Arab yang tidak banyak, yang telah beriman kepada Nabi Isa As.
Adiy bin Hatim teringat sejak kehadiran Ali bin Abi Thalib melaksanakan tugas dari perintah Muhammad Saw. menghancurkan arca-arca yang disembah kabilah-kabilah Arab. Itulah hari yang tidak dapat dilupakan. Bukan karena teringat arca-arca yang dihancurkan itu, sebab Adiy sendiri termasuk orang yang membenci kepada berhala-berhala itu serta mencela para penyembahnya, melainkan karena pertempuran yang telah menghancurkan kaumnya sampai kalah bertekuk lutut. Orang-orangnya banyak yang ditawan dan digiring lawan, dan diantara mereka adalah saudara perempuannya.. Ia selalu membayangkan, bagaimanakah keadaan saudara perempuannya itu sebagai tawanan yang bercampur baur sesama tawanan lain dari rakyat biasa. Padahal ia berasal dari keluarga mulia dan dihormati oleh masyarakat seluruhnya. Dan nasib apakah yang akan menimpa Adiy sendiri jika ia hidup dalam pereode seperti itu. Masalah ini akan menjadi jelas. Kalau saja ia mati karena diterjang oleh badai gurun pasir yang ganas, tentulah hal ini merupakan kebetulan. Namun kalau sampai ditawan sebagaimana saudara perempuannya, nasibnya akan berjalan lain sama sekali. Andaikan saja kaum Muslimin membiarkannya hidup, apakah ia akan menyendiri dengan mempertahankan akidah masehinya yang kian hari bertambah lemah menghadapi deru dan terjangan agama yang baru yang sangat tangguh itu, sambil merasakan keputus asaan, kepahitan dan kehancuran. Ataukah ia akan memeluk Islam itu sendiri. Mustahil, mustahil…
Isterinya menanggung beban perasaan yang sama. Wajahnya tampak pucat dan masam. Dalam kebingungan itu isterinya berucap dengan sangat hati-hati:
“Apakah kanda tidak yakin bahwa Muhammad itu dalam kebenaran!”
Mendengar pertanyaan seperti ini, Adiy langsung berbahak-bahak, dan raut wajahnya seakan langsung membeku. Ia lantas mengatakan:
“Apakah oleh karena kehancuran menimpa kita dan musuh-musuh telah menguasai dan menentukan nasib kita, maka kita lantas mundur sebagai pengecut yang sangat hina, kemudian lantas berikrar bahwa Muhammad itu benar!. Mustahil dinda. Dan yang semacam ini bukan mentalitas Adiy. Sedangkan engkau sendiri sebagai isteriku telah mengetahui, siapakah aku.” begitu kata Adiy seakan menampakkan kekuatan dirinya, kendati di bilik hatinya telah timbul kebimbangan.
Isterinya tampak menarik nafas panjang, lalu dengan lunak menyampaikan pendapatnya:
“Dengan pertanyaanku tadi, aku tidak bermaksud mendapat jawaban dengan yakin, namun perlu disadari bahwa selama ini pertempuran-pertempuran semakin menghebat. Hal ini menyebabkan berbagai bahaya berkepanjangan mengancam kita. Peristiwa seperti ini secara langsung telah mendorong kita untuk berfikir dengan nalar yang jernih. Kita mesti meng-angan-angan kembali dan mengenyampingkan pandangan-pandangan yang tidak perlu.” begitu jawab isteri menggiring Adiy untuk bernalar yang bijak.
Namun Adiy seakan tak terpengaruh dengan umpan sang isteri, malah ia mengatakan:
“Sesungguhnya Adiy bin Hatim At-Thaiy merupakan figur yang tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam peristiwa, betapa pun hebatnya.
“Aku merupakan tuan bin tuan. Kehancuran mesti menambah jati diriku semakin ganas menerjang lawan … Demikianlah aku….. Semua orang tahu, itu,” ucap Adiy dengan berliur-liur.
Isterinya kini memahami bahwa Adiy sedang terjangkit sindrom ketakaburan, sebuah kesombongan yang tidak tangung-tanggung. Ia tidak menyadari mengenai nasib saudara perempuannya yang kini telah jatuh sebagai tawanan yang hina. Sebenarnya hatinya tidak mampu menahan gejolak yang tak tertahankan ini. Pada kesempatan yang lain isterinya pernah mendengarkan mengenai ucapan Adiy yang mengatakan :
“Ayahku punya kelebihan-kelebihan yang banyak, ia memilikinya, dimana hal itu telah mengangkat martabat hingga mencapai derajat yang begitu mulia. Kemuliaan keluarga Hatim At-Thaiy menjadi lambang yang dikenal dan disegani. Aku takkan menaruhkan kemuliaan itu di bawah terompah. Sekarang aku mesti segera pergi ke tengah-tengah pemeluk Nasrani di Siria. Lalu akan segera kembali ke sini dengan membawa balatentara untuk meraih kembali seluruh jazirah setelah membakarnya dengan nyala api yang berkobar-kobar. Disaat itulah masyarakat akan mengetahui, siapa jati diriku sebenarnya,” begitu kata Adiy berbuih-buih.
Adiy segera memerintahkan anak dan isterinya untuk berkemas-kemas berangkat dengan mengendarai onta beserta harta bendanya menuju ke utara, Siria. Ia merasa akan dapat menciptakan kemuliaan dirinya ketika ia menyeberangi lautan pasir, bukit-bukit danm lembahnya. Sebagaimana kemuliaan yang telah dicapai ayahnya. Rasa khawatir dan menyerah di ketiak Muhammad Saw, ia usir jauh-jauh. Saat itu di dalam hatinya tidak pernah terbetik, apakah hakikat perjuangan yang sedang berlangsung di kawasan negerinya. Perjuangan yang hak melawan yang batil, antara yang baik dan yang buruk yang akan segera rampung dengan tampilnya seorang klaki-laki dan nabi terakhir yang tidak pernah sombong dan selalu menapak kehidupan yang sederhana, Muhammad Rasulullah Saw. Adiy tidak berfikir bahwa dirinya telah menjadi korban lamunan yang sangat jauh bagai bumi dan langit dari masalah besar yang sebanarnya sedang ia hadapi. Ia baru tersadar setelah isterinya mengatakan:
“Apakah yang menyebabkan kanda sangat membenci Muhammad?”
Pertanyaan ini menghunjam ke relung hatinya, seakan baru pertama kali ia mendengar kalimat ganjil itu, hingga dengan penuh emosi ia menjawab:
“Aku hanya membenci orang yang kukehendaki, dan akan mencintai orang yang aku kehendaki, semua ini merupakan hak prerogatif diriku, titik!”
“Akan tetapi kanda selama ini mencintai keadilan, bukan!,” sambung isterinya seakan menohok ulu jantungnya.
“Keadilan apa yang kau maksud?,” sahut Adiy dengan sengit.
“Jika Muhammad dalam pihak yang benar, kanda wajib untuk tidak membencinya.” tukas isterinya yang membuat Adiy sesak nafas.
“Ucapan seperti itu merupakan sebuah logika yang lahirnya tampak benar, namun batinnya merupakan manipulasi. Mengapa Muhammad membawa pedangnya dan memerangi. Mengapa ia menawan orang-orang kita dan menggiringnya?,” begitu tukas Adiy dengan memelintir kumis tebalnya.
Sang isteri hanya bisa menelan ludah, lalu berkata pada Adiy dengan penuh kepercayaan:
“Apakah kanda telah melupakan mengenai perilaku orang-orang Quraisy yang telah menyiksa para pengikutnya ketika ia masih berada di Makkah dulu, dan malah banyak pula yang telah mereka bunuh. Orang Quraisy telah teah melecut putra-putrinya untuk memusuhi Muhammad atau melakukan makar untuk membunuhnya dan minimal mengusirnya. Mengerahkan orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah Arab yang lain untuk memusnahkannya? Mengapakah kanda marah jika saja Muhammad mengimbangi kebiadaban itu dan bukan malah menginsafi? Aku rasa Muhammad tidak pernah sekali pun mengadakan permusuhan dengan seseorang. Hanya saja ia menghendaki agar kalimat Allah itu bisa tegak dan berdiri kokoh di hati setiap orang. Selama ini orang Quraisy lah yang selalu memusuhi dan bermaksud melenyapkannya. Orang Quraisy pula yang telah melakukan kezaliman dan menabur kebencian dan permusuhan demi menolak Muhammad sebagai penghulu mereka. Dengan demikian telah sepantasnya jika saja ia menghadapi berbagai rintangan yang akan memusnahkannya itu, terutama mengenai kalimat Allah yang diharapkan dapat bersemai dalam hati setiap penduduk. Padahal Muhammad telah tampil untuk membuka jalan kepada kemerdekaan, kecintaan dan kedamaian hidup dengan nur untuk menerangi siapa saja yang mau mempergunakannya. Kini Muhammad telah membalas pada sebagian kecil terhadap mereka yang jahat dengan tindakan yang setimpal, namun masih lebih banyak yang dimaafkan. Bahkan ia dengan suka rela telah membagikan bagian harta rampasan perang kepada orang-orang yang kemarin menjadi musuhnya,” begitu sergah isterinya seakan tiada habis.
Mendengar kalimat yang bagaikan bara ini, Adiy bin Hatim merah padam mukanya. Ia segera membentak:
“Kamu ini terjangkit penyakit bengek dan sama sekali tidak sopan. Tutup mulut jalan sambal itu, hai perempuan berkepala rengat!”
Sesungguhnya pertanyaan isterinya yang bertubi-tubi itu telah membuat kepala Adiy bagaikan pecah. Ucapan itu seakan petir yang telah mebakar dirinya. Namun lama kelamaan Adiy segera menguasai emosinya dan berusaha berbikir secara benar, sehingga dalam benaknya terpenuhi berbagai pertanyaan. Apakah yang dikatakan Muhammad di dalam berbagai pesannya. Apakah tauhid itu? Bagaimana hakikat keimanan Muhammad mengenai Nabi Isa As. dan para nabi sebelumnya? Apakah hakikat Al-Qur’an dan syari’at yang dikandungnya? Apakah ajaran mengenai moral yang dibawa Islam dan peradabannya? Bagaimana hakikat hikayat-hikayat yang dituturkan Al-Qur’an dari orang-orang terdahulu? Padahal Muhammad selama ini telah melaksanakan apa-apa yang telah dipesankan Al-Qur’an melalui sikap dan tingkah laku hidupnya. Ia sendiri telah mencontohkannya sehingga menjadi tauladan bagi para sahabat dan seluruh pengikutnya. Mengapakah kehidupan Muhammad selalu serasi dan serempak dengan para pengikutnya, baik dalam keadaan suka atau pun duka? Apakah hakikat peperangan yang terus menerus melibatkannya. Mengapa banyak ayat yang selalu menggetarkan persada seakan tiada akan terhenti?
Namun sambil berpikir yang demikian itu, Adiy terus memacu laju ontanya ke utara menuju Siria, ingin sekali lekas sampai pada tujuan. Gambaran saudaranya yang ditawan masih selalu melekat dalam hatinya yang diliputi dendam, seakan melihatnya dengan mata kepala. Ia tidak mengetahui bahwa saudara perempuannya yang ditawan di dalam satu ruangan luas dekat Masjid Nabawi yang pintu-pintunya senantiasa terbuka bagi mereka yang ingin memeluk agama yang hanif itu.
Pada suatu hari ketika Rasulullah Saw. menjenguk para tawanan, saudara perempuan Adiy itu menyapanya:
“Wahai Rasulullah!, saya telah kehilangan ayah, dan tak ada seorang pun yang menjenguk saya. Berilah saya belas kasih yang engkau dapatkan dari Allah”. begitu kata perempuan itu memelas.
Mendengar kalimat itu pada mulanya Rasulullah Saw. tidak begitu memperhatikan, mengingat yang mengatakan itu merupakan seorang wanita saudara Adiy bin Hatim At-Thaiy yang gencar memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pernah menyembunyikan kebencian dan permusuhan terhadap beliau, juga terhadap kaum Muslimin seluruhnya. Perempuan itu merupakan saudara orang yang pergi ke Siria untuk untuk mengerahkan balatentara kaum Nasrani Syams menghadapi beliau dan pasukannya, untuk menyebarkan fitnah baru yang hanya Allah semata-mata yang mengetahui peranan dan pengaruhnya.
Namun perempuan itu bersikeras menyampaikan perkataannya, dan sempat menceritakan perihal ayahnya serta kemuliaan yang pernah memayungi kabilah-kabilah Arab serta menjadi teladan dalam mempertahankan harga diri dan keselamatan. Rasulullah tersenyum, lalu memerintahkan agar perempuan itu diberi pakaian layak dan perbekalan berupa uang, makanan dan kendaraan untuk dikembalikan kepada saudaranya selekas mungkin di negeri Syams.
Setelah berada di negeri Syams, Adiy bin Hatim lama menghirup udara kehidupan dan merasakan berbagai reaksi. Ketika itu mulailah ia menganalisa berbagai masalah yang terjadi di negeri itu, menemui para peramal nasib, rahib-rahib dan para pendeta. Ia melihat bagaimana orang menjalani kehidupan dan berfikir dengan wajar. Namun dirinya didapati suka mendalami berbagai lingkungan hidup dengan fikirannya yang terus bergolak sehingga menyebabkan sukar tidur dan makan tak enak. Dunia yang luas ini terasa olehnya demikian sempit dan tidak pernah mengenal kedamaian. Berbagai pertanyaan yang pernah dibidikkan isterinya kini timbul terus susul menyusul dan malah mengakar. “Mengapa kanda membenci Muhammad?” Seringkali ia merasa hina sehingga pernah secara terang-terangan mengatakan kepalanya sering pening dan hatinya selalu gelap, namun kesombongannya yang selama ini lebih menguasai dirinya sehingga selalu menghancurkan setiap keinginan yang baik. Di balik itu, saudara permpuannya selalu terbayang sehingga menjadikan panas darahnya selalu mendidihkan keringatnya. Ia lupa bahwa Muhammad Saw. selalu memperlakukan orang-orang yang memusuhinya dengan budi pekerti mulia, berbelas kasih pada mereka, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, apalagi yang anak-anak.. Para tawanan dihadapi beliau dengan rasa kebaopakan. Adapun yang pandai membaca dan menulis akan mendapat kehormatan melebihi yang lain, yaitu dijadikan guru bagi sebagian kaum Muslimin yang masih buta huruf.
Adiy bin Hatim terperanjat sekali ketika tiba-tiba saudara perempuannya yang selalu berada dalam ingatannya itu muncul di hadapannya. Ia berpakaian terhormat dan mulia, sedangkan raut wajahnya seakan menyimpan kedamaian dan kebahagiaan. Dengan segera pula Adiy mendengarkan perkataan-perkataan saudaranya yang hampir-hampir tidak dipercayai.
Pada hari berikutnya, Adiy segera bangun pagi lebih awal dari pada kebiasaannya. Raut wajahnya menampakkan kegembiraan, seakan sekujur tubuhnya bertenaga segar dengan gerakannya yang begitu gesit dan sigap. Sang isteri memandanginya dengan penuh kegembiraan, seakan sang suami kelihatan baru lahir kembali dalam menghayati hidup baru.
“Apa yang terjadi?,” gumam sang isteri.
“Aku telah menang!,” kata Adiy bin Hatim.
“Apakah yang kanda maksudkan balatentara Nasrani akan segera menyerbu dari Syams ke Madinah?,” tanya sang isteri memburu.
Seketika itu Adiy tersenyum manis dengan sikap yang tidak dibuat-buat. Senyum yang sejak beberapa tahun ini telah hilang dari wajahnya karena di telan badai peristiwa-peristiwa hitam yang menimpa dirinya. Sebuah senyum yang sebelum ini isterinya tidak pernah melihatnya. Adiy lalu mengatakan:
“Muhammad telah menyatakan dengan berdasar ilham dari Allah Yang Mahapelindung kemuliaan: “Wahai para hamba-Ku, setiap kamu tersesat kecuali yang Aku beri hidayah.”
“Adapun aku, “lanjut Adiy lagi,” wahai isteriku, aku telah menemukan jalan hidup baru yang terang. Sebelum ini hidupku selalu diliputi kegelapan, kebimbangan dan kesombongan sehingga menuai kegoncangan dan kedurhakaan. Tiba-tiba saja cahaya petunjuk telah terbit di hatiku. Aku telah mengetahui kebenaran jalan hidup baru itu, tiada lain itulah Islam. Di dunia tidak akan ada lagi sebuah kemenangan yang lebih besar dari pada kemenangan ini.”
Sementara itu Adiy pergi sebentar, kemudian muncul lagi, seakan ia berdekapan dengan mimpi indah yang sangat membahagiakan hatinya, kemudian ia mengatakan:
“Besok pagi menjelang terbit fajar, kita bergegas menemui Rasulullah Saw. Dan di bumi tercinta sana, kita akan menumpahkan air mata penyesalan seraya memeluk orang yang telah memiliki jiwa besar, itulah Muhammad bin Abdullah Shallal’lahu ‘Alaihi Wasallam ◙

Nasihat untuk Abdul Malik bin Marwan

Abdul Malik bin Marwan merupakan jajaran Khalifah dari bani Umayah yang termasuk berhasil dalam menjalankan roda kerajaan yang berkedudukan di Damaskus. Ia memerrintah antara tahun 65 H sampai tahun 86 H. atau tahun 685 sampai 705 M. Dengan demikian tampuk kerajaan telah dipegangnya selama kurang lebih 20 tahun.
Pada suatu hari ketika di musim haji tiba, Baginda sedang duduk di atas singgasananya, sedangkan di sekitarnya berkumpul beberapa kepala kabilah yang ingin ber-ramah tamah dengannya. Sebenarnya ketika itu Baginda juga bertepatan melaksanakan ibadah haji. Sejenak kemudian datanglah Syeikh ‘Atha’ bin Rabah dan langsung berkumpul dengan para kepala suku itu. Namun segera saja Baginda memanggil orang tua itu. Baginda begitu hormat padanya, terbukti ia langsung berdiri dan mempersilahkan Syeikh ‘Atha’ duduk bersanding di dekat Baginda. Ketika itu pula Baginda mengatakan:
“Wahai Abu Muhammad (Syeikh ‘Atha’), apa hajat dan kebutuhanmu yang perlu aku penuhi. Katakanlah sekarang juga, aku akan langsung bertidak menutup seluruh hajatmu,” begitu tawaran Abdul Malik sangat menggiurkan para pendengar.
“Wahai Amiril Mukminin,” Syeikh ‘Atha’ mulai berbicara, “Bertakwalah, takutlah kepada Allah. Sekarang ini Baginda sedang berpijak di Tanah Haram Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian aku wasiatkan, hendaklah Baginda merawat kawasan itu dengan memakmurkan agama-Nya. demikian pula hendaklah menjaga kehormatan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar. Adanya Baginda mendapat kesempatan duduk di singgasana kerajaan, itu tiada lain karena jasa-jasa mereka terdahulu. Demikian pula hendaklah para tentara dan prajurit selalu diperhatikan kehidupannya, mereka merupakan benteng-benteng hidup bagi masyarakat Islam itu sendiri. Perhatikan pula perihal kehidupan masyarakat Islam pada umumnya, sebab Baginda akan ditanya Allah mengenai kesejahteraan mereka. Janganlah kiranya Baginda menghalangi atau menutup pintu terhadap orang yang melaporkan urusannya di depan Baginda.”
Mendapat nasihat panjang lebar yang seakan menjatuhkan kredibilitas Baginda di hadapan para kepala suku ini, Baginda hanya menjawab: “Ya, ya … akan aku laksanakan semua itu.”
Kemudian Baginda segera bangkit meraih lengan Syeikh ‘Atha’ seraya mengatakan:
“Wahai Abu Muhammad!, ternyata yang engkau mintakan tadi, seluruhnya merupakan kebutuhan orang lain, dalam arti bukan hajatmu sendiri. Dan semua itu akan segera aku laksanakan. Namun aku sekarang menanyakan hajatmu yang akan segera aku penuhi, katakanlah!,” begitu Abdul Malik mendesak lagi.
“Diriku tidak membutuhkan bantuan seorang makhluk,” sergah Syeikh ‘Atha’ sangat singkat hingga mengejutkan Baginda. Belum lagi Baginda sempat melanjutkan kalimatnya, Syeikh ‘Atha’ sudah keburu beranjak pergi hingga Baginda hanya mampu menggigit jari. Sejenak kemudian Baginda mengatakan:
“Demi Allah, demikianlah sikap mereka yang masih memiliki harga diri”.
Dikisahkan pula bahwa Syeikh Ibnu Abi Syamlah merupakan seorang yang terkenal ‘alim dan cerdas pula akalnya. Pada suatu hari ia menemui Baginda Abdul Malik untuk berbincang-bincang seperlunya. Pada kesempatan itulah Baginda mengatakan:
“Berilah nasihat diriku, kendati hanya beberapa penggal kalimat”.
“Mengenai apa, aku harus memberi nasihat ?. Padahal setiap ucapan yang keluar dari sebuah mulut, pastilah akan mengandung resiko nanti di hari kemudian, terkecuali kalimat yang membela kepentingan agama Allah,” begitu sergah Ibnu Abi Syamlah balik.
Ketika mendengar jawaban ini, air mata Baginda langsung bercucuran seraya mengatakan:
“Memang pribadi-pribadi yang saleh, sejak dahulu akan selalu saling memberi nasihat antar mereka.”
Mendapat jawaban seperti ini, Ibnu Abi Syamlah seakan mendapat kesempatan, sehingga ia melanjutkan ucapannya:
“Wahai Baginda, sesungguhnya manusia ketika nanti berada di altar hari kiamat tidak akan bisa terlepas merasakan pahit getir dan beratnya menghadapi murka Allah. Namun kondisi yang demikian itu masih bisa disiasati, yakni dengan melaksanakan berbagai amal yang menyebabkan ridha Allah, dimana hal itu mestilah dengan mengebiri hawa nafsu.”
Mendengar keterangan demikian ini, Baginda bertambah seru tangisnya. Sejenak kemudian Baginda mengatakan:
“Sudah pasti, aku akan selalu berusasaha mengingat untaian kalimat-kalimat tuan tadi selama hayat masih dikandung badan.”
Begitulah tindakan seorang ulama dalam memberi nasihat, kendati terhadap penguasa yang begitu terhormat. Tindakan seperti ini akan menjadikan sebuah negara dan kekuasaan mendapatkan ridha Allah, sehingga cita-cita aatinaa fid dun-ya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa adzaban Naari akan mudah tergapai, amin. ◙

Keutamaan Bersaudara

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Sebuah ungkapan yang dipandang oleh Islam bukan sebagai lipstik pemanis bibir saja namun perlu dihayati dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan diarahkan untuk mencari ridha Allah. Dengan demikian akan dicatat sebagai amal yang mengandung kebajikan di sisi Allah. Persaudaraan yang sangat kental itulah yang telah mengikat hati generasi permulaan Islam, yakni antara kaum Muhajirin dan Anshar sehingga berupa ummatan wahidan, ummat yang satu. Berdiri sama tinggi dan duduk pun sama rendah, seiring sejalan dalam kebahagiaan dan penderitaan, tidak ada lagi pembatas dan jurang pemisah antara the have dan the have not, seluruhnya bahu membahu dalam menjunjung tinggi agama Allah. Bukan sebuah generasasi yang ketika seorang tetangga telah bisa menjangkau mobil, tetangga lainnya segera disingkirkan dari peredaran. Juga bukan pribadi yang ketika merk teve yang dimiliki lebih unggul, kemudian hatinya dirayapi sikap congkak, sedangkan jiwa-jiwa mereka ternyata kosong dari nilai-nilai agama.
Persaudaraan adalah cerminan kekuatan Islam itu sendiri, sebagaimana apa yang telah diungkapkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi:
“Mereka yang berkasih sayang karena Allah akan berada di sebuah tiang yakut merah, dimana di bagian atas tiang itu bertengger tujuh puluh ribu istana. Para penghuni istana itu dengan ceria selalu melihat para penduduk surga, sedangkan cahaya ketampanan mereka akan menyinari penduduk surga itu sendiri sebagaimana matahari menyinari penduduk dunia. Ketika itulah para penduduk surga mengatakan: “Marilah kita berangkat menemui orang-orang yang ketika hidupnya saling berkasih sayang karena Allah. Maka seketika itu pula sinar ketampanan penghuni istana tersebut menyinari para penduduk surga itu bagaikan matahari. Penduduk istana itu mengenakan pakaian sutera hijau. Sedangkan di kening mereka bertuliskan: “Orang yang berkasih sayang karena Allah.”
Rasulullah Saw. mengatakan pula:
“Barang siapa dikehendaki Allah beroleh kebaikan, maka ia diberi Allah seorang kawan yang baik, yang ketika ia lupa, maka kawan itu akan segera memperingatkan. Dan ketika ia ingat, maka kawan itu akan membantu untuk mengerjakannya.”
Berkata Abu Idris Al-Khaulany kepada Mu’adz:
“Wahai Mu’adz, aku sangat menyintaimu hanya karena Allah semata”.
“Bahagialah wahai Abu Idris, sebab saya telah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan:
“Nanti ketika hari kiamat telah tiba, di sekitar Arsy akan dipasang kursi-kursi yang berderet untuk sebuah golongan yang wajahnya tampak sebagai rembulan di malam purnama. Mereka tidak pernah merasa takut ketika orang-orang lain dilanda ketakutan. Mereka merupakan para kekasih Allah yang tidak pernah merasa takut, tidak pernah pula dihinggapi keresahan.” Salah seorang sahabat bertanya:
“Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?”
“Mereka adalah orang-orang yang saling mengikat kasih sayang hanya karena Allah semata.”
(Hadits shahih riwayat Al-Hakim).
Begitu pun Nabi Isa As. pernah mengatakan:
“Berkasih sayanglah kalian hanya karena Allah dengan jalan membenci para pelaku maksiat. Mendekatlah kalian kepada-Nya dengan cara menjauhkan diri dari pelaku maksiat itu. Kejarlah ridha Allah dengan cara membenci mereka.”
Para pengikut Nabi Isa kemudian menanyakan:
“Kalau demikian, kami harus berkawan dengan siapa?”
“Berkawanlah kepada mereka yang ketika engkau melihat sosok tubuhnya segera akan mendorong untuk ingat Allah, dan mereka yang ucapannya selalu menambah amal kebajikanmu, atau mereka yang amal perbuatannya selalu mendorong hatimu untuk lebih menyintai akhirat.”
Abdullah bin Umar Ra. pernah mengatakan:
“Demi Allah, jika saja saya selalu berpuasa di siang hari dengan tidak pernah berbuka, dan selalu shalat sunnah di malam hari sehingga tidak pernah tidur, dan selalu mendermakan harta ke jalan Allah dengan begitu ikhlas, kemudian ajal menjemputku dalam kedaan aku tidak pernah menyayangi pada orang-orang yang tekun beribadah, atau tidak pernah membenci mereka yang sering melakukan kedurhakaan, maka semua peribadatanku itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun kepadaku.”
Begitu pula Al-Fudhail mengatakan:
“Aneh, banyak orang yang begitu gandrung memasuki surga Firdaus dan bisa bersebelahan dengan Allah SWT serta bersandingan dengan para Rasul, Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Namun ironisnya amal apa yang mereka persiapkan untuk meraih semua itu. Syahwat apa pula yang telah berhasil mereka tinggalkan. Dan kemarahan mana yang telah berhasil mereka tangguhkan. Kemudian persaudaraan apa yang telah berhasil mereka pertautkan, dan kesalahan yang mana pula yang telah usai mereka maafkan. Dan musuh Allah mana yang telah berhasil mereka jauhkan atau pun kawan kekasih Allah mana yang telah berhasil mereka dekatkan!, aneh.”
Dalam berkasih sayang dan menyintai seseorang hanya karena Allah itu adakalanya dengan sepenuh hati, ada pula yang hanya ala kadarnya, dan bahkan hanya sebagai pemanis di bibir saja. Dengan demikian jika isi hati itu dicurahkan untuk menyintai seorang sahabat, maka sedikit pun tidak akan ada lagi sebuah kepentingan yang masih terselip untuk diri sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan sikap Abu Bakar kepada Rasulullah Saw. Seluruh jiwa raganya, harta bendanya dan keluarganya telah digadaikan untuk kepentingan Rasulullah. Seorang puterinya telah diserahkan kepada Rasulullah, itulah Ummul Mukminin ‘Aisyah Ra. Seluruh hartanya tandas untuk kepentingan perjuangan Rasulullah. Tersebutlah dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar Ra. mengatakan :
“Pada suatu kesempatan Rasulullah sedang duduk bersama Abu Bakar yang hanya mengenakan sehelai kain yang diikatkan begitu saja sampai batas dadanya. Sejenak kemudian Jibril pun datang seraya membacakan salam dari Allah. Namun Jibril segera membuka percakapan dengan mengatakan:
“Wahai Rasulullah, mengapa aku lihat Abu Bakar hanya mengenakan sehelai kain yang diikatkan sampai batas dadanya?,” begitu Jibril merasa heran.
“Itu semua tersebab dia telah menyedekahkan seluruh hartanya ke jalan Allah, wahai Jibril.”
“Kalau demikian, bacakan salam Allah kepadanya. Kemudian katakan:
“Allah telah mengatakan kepadamu, wahai Abu Bakar. Adakah engkau ridha terhadap Allah dalam keadaan papa begitu, ataukah engkau menggerutu?”
Sejenak kemudian, Rasulullah pun menengok ke arah Abu Bakar seraya mengatakan:
“Wahai Abu Bakar, sosok yang di dekatku ini adalah Jibril yang menyampaikan salam dari Allah untukmu. Allah juga bertanya kepadamu: “Adakah engkau ridha kepada Allah dalam keadaan papa seperti ini, ataukah selalu menggerutu?”
Mendapat pertanyaan seperti ini, air mata Abu Bakar tidak bisa ditahan lagi, ia hanya bisa menangis begitu panjang, setelah agak reda, ia mengatakan:
“Adakah saya patut untuk mengatakan bahwa saya menggerutu kepada Allah, bahkan saya sangat ridha kepada Allah dalam menghadapi semua ini, saya sangat ridha, wahai Rasulullah … !,” begitu kata Abu Bakar dengan air mata yang bertambah deras.
Dengan demikian jika seseorang itu menyayangi pada figur yang lebih terhormat, baik itu seorang ulama, guru atau pun ahli ibadah, hendaklah kecintaannya itu diarahkan hanya ikhlas karena Allah. Dengan demikian ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan intensitas kasih sayangnya.
Semoga kita diberi kemampuan untuk besikap seperti itu ◙

Nasihat Ibrahim bin Adham

Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melintas di pasar Bashrah, lalu orang-orang berkumpul mengerumuninya seraya mengatakan, “Wahai Abu Ishaq, apa sebab do’a kami tidak pernah dikabulkan.?” Dengan penuh kebijaksanaan beliau mengutarakan berbagai penyebab do’a tidak pernah terkabulkan, terutama karena hati telah mati oleh sepuluh perkara: padahal dalam diri manusia ini ada sebuah hati yang berfungsi sebagai pusat dan tempat bersemayam empat sifat khusus bagi manusia. Yaitu sifat sabu’iyah, bahimiyah, syaithaniyah dan rabbaniyah. Sehingga ketika seseorang dalam keadaan marah yang memuncak, ia akan bertindak sebagaimana hewan galak (sabu’iyah), baik itu berupa permusuhan, pendendam, mudah bertindak untuk menyiksa pada orang lain, gampang memaki dan lain-lain. Dan ketika dikuasai oleh syahwat, maka ia akan bertindak laksana hewan ternak (bahimiyah), baik berupa rakus, tamak, pengumbar libido seks dan lain sebagainya, persis perilaku babi.
Kemudian ketika dikuasai oleh sifat rabbaniyah, maka seseorang akan bertindak sebagaimana Tuhan. Ia akan senang sekali memakai gelar, berkuasa, memprioritaskan kepentingan pribadi, menyendiri dalam mengurusi berbagai kepentingan, tidak mau menghamba, mengaku berilmu tinggi, bahkan ingin tinggi sendiri dan lain-lain. Dan ketika melihat bahwa dalam diri manusia itu terdapat kecerdasan yang ditopang dengan syahwat dan pemarah tadi, maka di situ pula penetrasi sifat syaithaniyah mengkristal. Dengan sikap itu seseorang sering mengupayakan sebuah keburukan agar tanmpak menjadi baik. Bahkan mengerahkan segala cara dan upaya untuk mencapai sebuah tujuan dengan bujuk rayu. Itulah representasi dari sifat syetan.
Dengan demikian dalam hati itu seakan bertengger anjing galak yang menjadio refleksi sifat sabu’iyah. Bersemayam pula seekor babi yang menggambarkan sifat bahimiyah. Malah bercengkeram pula sosok syetan dan seorang hakim. Babi itu akan terus menarik memperturutkan syahwat, rakus dan segala jenis kemunkaran. Sedangkan anjing akan menyeret seseoranmg untuk segera marah dan bertindak zalim. Sedangkan syetan akan selalu menggerakkan kedua hewan itu agar bertindak sesuai dengan instinct masing-masing.
Sedangkan akal yang akan bertindak sebagai hakim yang selalu menghadang kebrutalan syetan dan mengekang kerakusan babi dan meredam kemarahan anjing tadi. Dengan demikian jika saja akal mampu bertindak dan mengatasi keburukan tiga sifat itu, maka kerajaan yang berada di seluruh tubuh ini akan bisa berjaya dan akan manapak pada jalan yang lurus. Namun jkika saja akal ternyata lumpuh dan tidak mampu lagi mencegah keburukan tiga sifat tadi, maka dapat dipastika kemuliaan tubuh akan segera hancur. Kehancurannya bukan terbatas di dunia ini saja, namun akan dibawa sampai di akherat nanti, kekal abadi selama-lamanya. Kehidupan manusia semacam ini seakan selalu menghamba kepada anjing dan babi, bahkan menyerahkan bulat-bulat untuk beribadah kepadanya. Inilah kondisi sebagian banyak manusia jika kehidupannya hanya untuk memuaskan kepentingan perut, kemaluan dan mengungguli mereka yang dianggap sebagai musuh. Ironis sekali jika saja orang semacam ini begitu membenci pada para penyembah patung dan berhala, padahal jika saja mata hatinya bisa melihat dengan jelas, maka ia sendiri sebenaranya selalu menjadi pengikut setia dan penyembah anjing dan babi. Ia selalu memperturutkan apa yang menjadi kemauan keduanya. Dan akan segera bangkit jika mendapatkan perintah untuk mempertuurutkan syhwat dan kemauan keduanya. Padahal jika saja seseorang mampu mengarahkan anjingnya masing-masing, maka dari situ akan timbul berbagai sifat yang amat mulia, sebagaimana pemberani, dermawan, sabar, bijaksana, pemurah dan lain-lain.
Bahkan jika mampu mengendalikan babi-babi tadi, maka akan muncul berbagai sifat amat terpuji, sebagaimana qana’ah, tenang, zuhud, wara, takwa, mempunyai rasa malu, dan suka memberi pertolongan. Dimana sifat-sifat ini jika saja secara terus-menerus berada dalam hati, maka sebuah hati akan menjadi begitu terang bercahaya. Begitu amat dekat dengan Allah SWT.
Kemudian jika saja berbagai sifat tercela tadi dibiarkan, maka semakin lama hati akan menjadi keruh dan berlanjut menjadi kerak dan daki yang akan sulit untuk dibersdihkan. Sebagaimana sinyalemen dalam firman: Sekali-kali tidak. Sebenarnya apa yang selau mereka lakukan itu menjadi daki bagi hati mereka (Al-Muthaffifin: 14)
Sepuluh perkara yanmg menyebabkan hati menjadi mati, menurut Syeikh Ibrahim bin Adham adalah: Pertama, kalian mengenal Allah tetapi tidak menunaikan hak-Nya. Kedua, kalian mengaku cinta Rasulullah Saw tetapi meninggalkan sunnahnya. Ketiga, kalian membaca al-Qur’an tetapi tidak mengamalkannya. Keempat, kalian memakan nikmat-nikmat Allah SWT tetapi tidak pernah pandai mensyukurinya. Kelima, kalian mengatakan bahwa syetan itu adalah musuh kalian tetapi tidak pernah berani menentangnya. Keenam, kalian katakan bahwa surga itu adalah hak (benar adanya) tetapi tidak pernah beramal untuk menggapainya. Ketujuh, kalian katakan bahwa neraka itu dalah hak (benar adanya) tetapi tidak mau lari darinya. Kedelapan, kalian katakan bahwa kematian itu adalah hak (benar adanya) tetapi tidak pernah menyiapkan diri untuknya. Kesembilan, kalian bangun dari tidur lantas sibuk memperbincangkan aib orang lain tetapi lupa dengan aib sendiri. Kesepuluh, kalian kubur orang-orang yang meninggal dunia di kalangan kalian tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari mereka.”
Itulah perihal yang menyebabkan hati tertutup hidayah, sehingga dalam kondisi demikian itui jika seseorang memanjatkan do’a, ia tidak pernah didengar Allah, bahkan tidak mendapatkan murkanya saja sudah untung besar. ◙

Keberanian Syeikh Hasan Bashri

Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi merupakan seorang panglima Baginda raja Abdul Malik bin Marwan yang terkenal sangat kejam. Ia yang telah berhasil membunuh Abdullah bin Zubair di dekat Ka’bah hingga kepalanya dikirim ke Damaskus untuk dipersembahkan kepada pimpinannya. Pada masa itu pula hidup seorang ulama kenamaan, malah diperhitungkan sebagai figur tabi’ien yang paling utama, dan dikaruniai umur yang cukup panjang, 90 tahun. Wafat sekitar tahun 110 H. Dialah Syeikh Hasan Bashri.
Dikisahkan oleh Ibnu ‘Aisyah bahwa pada suatu hari Hajjaj bin Yusuf mengundang seluruh ulama Kufah dan Bashrah untuk bertatap muka. Maka kami,” kata Ibnu ‘Aisyah, “Bersama Hasan Bashri segera memasuki sebuah istana dan merupakan ulama terakhir yang datang. Ketika Hajjaj melihat Hasan Bashri, segera saja ia mempersilakan dengan mengatakan:
“Marhaban, bahagia sekali bertemu dengan Syeikh Hasan.”
Lantas Hajjaj memanggilnya untuk segera duduk berdampingan dengannya. Sejenak kemudian telah terjadi ramahtamah yang mengasikkan antara kami, namun pada akhirnya ucapan Hajjaj menjurus mengumpat Ali bin Abi Thalib Karramal’lahu Wajhah (dendam bebuyutan!). Sebenarnya dalam hati kami timbul keraguan untuk meneruskan pembicaraan itu, namun terasa tidak etis. Masalahnya kami merupakan pihak yang diundang, dengan demikian berkewajiban menghormati tuan rumah. Lebih tegasnya kami tidak bisa bersikap tegas melawan kehendak Hajjaj, di samping ada perasaan takut mendapat perangai jelek darinya. Namun Syeikh Hasan Bashri tampak berdiam diri dan termenung panjang. Setelah Hajjaj mengetahui sikap oposisi Hasan Bashri ini, segera saja ia menegurnya:
“Wahai Syeikh Hasan, mengapa Anda tampak berdiam diri tidak mau mengikuti alur pembicaraan kawan-kawan Anda?”.
Saat itulah Hasan Bashri mendapat kesempatan untuk menuntaskan segalanya:
“Leherku seakan tersekat,” begitu tukas Syeikh Hasan Bashri.
“Kalau begitu bagaimana pendapatmu mengenai Abi Turab (Ali bin Abi Thalib) tadi?,” kejar Hajjaj berikutnya.
“Aku sendiri,” sambung Syeikh Hasan Bashri lebih lanjut, “Telah membaca mengenai firman Allah:
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu itu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh pengalihan kiblat itu akan terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia ( QS . 2 : 143 ).
Kalau kita mau berfikir secara dewasa,” lanjut Hasan Bashri lagi, “Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah dan beriman pula. Apalagi ia putra paman Rasulullah, menjadi menantunya dan termasuk orang yang paling dicintai Rasulullah. Ia memiliki martabat yang begitu mulia yang telah diakui Allah. Anda atau siapa pun, tidak akan bisa menghalangi karunia Allah padanya. Dan jika saja Ali bin Abi Thalib itu termasuk orang yang berkepribadian buruk, tentulah Allah yang akan menindaknya. Setelah lama aku pikir, tampaknya tidak ada ucapan yang lebih lurus daripada apa yang telah kuucapkan tadi,” begitu Hasan Bashri mencecar telinga Hajjaj sampai berbuih-buih.
Mendengar uraian ini, keruan saja muka Hajjaj merah padam dibuatnya, ia segera bangkit dari singgasananya dengan kemarahan yang meluap-luap. Kemudian ia tampak memasuki ruangan dalam, dan kami pun segera membubarkan diri.
Setelah peristiwa itu, seorang ulama yang bernama Amir Asy-Sya’bi segera menggandeng lengan Hasan Bashri untuk keluar istana seraya mengatakan:
“Wahai Syeikh Hasan, tuan telah membuat marah Hajjaj dan menjadikan hatinya begitu panas.”
“Menyingkirlah kau dariku,” kata Hasan Bashri, “Bagaimana pendapat masyarakat bila saja mereka tahu bahwa Amir Asy-Sya’bi yang terkenal ‘alim itu telah mendatangi syetan dari jenis manusia seraya membenarkan dan mengikuti apa yang menjadi kehendaknya? Celakalah kau, Amir!, mengapa kau tidak memiliki rasa takut dosa ketika terjadi umpatan yang tak terbendung tadi, dan kau tampak malah mengikuti alur penjilat itu. Padahal jika saja kau diam, mestinya akan lebih membawa keselamatan akhiratmu,” begitu Hasan Bashri menumpahkan kemarahannya pada Amir.
“Wahai Syeikh Hasan!, tadi memang betul aku mengikuti alur umpatan Hajjaj, namun hatiku tidak sependapat dengan apa yang telah aku ucapkan,” begitu Amir berapologi.
“Celaka kau Amir! yang demikian itu malah akan menjadi bumerang yang mencelakakan dirimu kelak di muka Allah nanti, lebih berat pula dosanya. Sikap demikian itu merupakan indikasi dari berbagai sifat orang munafik,” begitu Hasan Basri mengcounter ucapan Amir.
Setelah terjadi tarik ulur yang demikian ini, keduanya lantas berpisah dengan menyimpan perasaan yang teraduk-aduk di hati masing-masing. Namun beberapa hari kemudian, Hajjaj segera mengutus seseorang untuk bertandang ke rumah Hasan Bashri seraya mengutarakan tuduhan:
“Adakah kau yang telah mengatakan: “Semoga Allah melaknat mereka (Hajjaj dan kroninya) yang memerangi kelompok lain demi uang dinar atau dirham?”
Dengan tegas saja Hasan Bashri mengatakan: “Ya, memangnya ada apa!”
“Apa yang mendorong kemauanmu untuk berbuat nekad seperti itu?,” sambung utusan Hajjaj lagi.
“Seorang ulama telah terikat janji yang teguh di hadapan Allah bahwa:
Mereka tidak akan surut dalam memberi penjelasan mengenai Kitabullah, tidak pula diperbolehkan untuk menutup-nutupi kebenaran,” 1 begitu jawab Hasan sangat tegas.
“Aku sarankan, wahai Hasan. Akan lebih baik jikalau kau menutup mulut, dengan maksud jangan sampai ada berita yang tidak mengenakkan hati Panglima Kerajaan (Hajjaj), karena bisa menjadi penyebab badanmu akan berpisah dari kepalanya,” begitu utusan itu mengancam, namun Hasan sedikit pun tidak gentar menghadapinya.
Kemudian utusan itu beranjak pergi tanpa berpamitan, dan Syeikh Hasan Bashri pun segera menutup pintunya rapat-rapat ◙

Penyebab Tangis Umar

Penyebab Tangis Umar

Amar makruf dan nahi ‘anil munkar atau lebih mudahnya yaitu menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah segaka keburukan merupakan perihal yang begitu pokok dalam agama (Islam). Dari padanya Allah telah mengutus para nabi dan para utusan, sehingga jika saja amar makruf dan nahi munkar itu ditiadakan, maka tidaklah diperlukan lagi kenabian atau berpegang pada agama. Hal ini akan berakibat hancurnya seluruh sektor kehidupan dan tersebarnya kebodohan dan perbuatan merusak dengan tanpa adanya penghalang sama sekali. Pembiaran seperti ini jelas akan menyeret pada lenyapnya kehidupan, kendati pun yang berperilaku buruk itu tidak merasakan segala akibatnya terkecuali nanti di hari pembalasan.
Namun demikian amar makruf dan nahi munkar itu sendiri harus memakai kebijaksanaan yang tepat agar kebaikan yang didapatkan sesuai dengan resiko yang dihadapi. Atau kalau mungkin hendaknya resiko itu ditekan sedemikian rupa agar yang didapatkan hanya kemaslahatannnya. Para ulama membagi amar makruf nahi munkar ini menjadi empat tahapan. Pertama, dengan memberi pengertian. Kedua, yaitu dengan memberikan nasihat. Dan jika saja yang diberi nasihat itu sudah tidak mengindahkan lagi, maka diteruskan pada tahapan lebih lanjut, yakni Ketiga, yaitu berlaku keras mengenai ucapan. Keempat, mencegah dengan memaksa mereka sehingga sanggup menapak pada kebenaran, kendati sampai dengan memukul atau pun menyiksanya.
Namun dalam menghadapi para penguasa, amar makruf nahi munkar ini pada biasanya yang dapat diterapkan hanyalah yang pertama dan yang kedua. Sedangkan yang keempat ini dampak madharatnya akan lebih besar dari pada manfaatnya. Namun untuk yang ke tiga, yakni berkeras dalam ucapan kepada para penguasa, sebagaimana ‘Hai orang zalim, hai orang yang tidak punya takut kepada Allah!’ dan sejenisnya. Jika saja ucapan ini mengakibatkan sebuah resiko yang akan menimpa orang lain, tindakan itu tidak diperbolehkan. Sedangkan jika resiko itu hanya ditanggung yang bertindak amar makruf, maka sikap itu diperbolehkan, bahkan malah dianjurkan. Sebab banyak sekali ulama salaf yang bertindak seperti itu dengan tanpa menoleh lagi pada resiko yang akan ditanggung dirinya. Sehingga mereka dengan terang-terangan berani mencegah munkar kendati akan disiksa sedemikian rupa. Mereka berkeyakinan bahwa mati dalam menghadapi resiko ini merupakan sebuah syahadah (mati syahid). Sebagaimana dikisahkan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang raja dan pendiri daulah Bani Umayah pernah menahan distribusi harta benda kerajaan yang menjadi hak seluruh rakyat. Dalam kondisi seperti itulah Abu Muslim Al-Khaulani segera menghadap pada Baginda seraya mengatakan:
“Wahai Muawiyah, harta kerajaan itu bukanlah hasil jerih payahmu, bukah hasil jerih payah ibumu, juga bukan dari keringat bapakmu! (mengapa tidak segera kau bagikan kepada rakyat, he.. !).”
Mendengar ucapan kasar seperti ini, Muawiyah tampak marah dan segera turun dari podium seraya mengatakan:
“Tetaplah kalian berada disini, aku akan segera kembali menemui kalian.”
Muawiyah segera pergi dari hadapan para hadirin, dan dalam waktu sekejap saja ia sudah kembali lagi, namun ia tampak baru saja mandi besar. Ketika itulah ia mengatakan:
“Perkataan Abu Muslim telah membuat saya marah besar. Padahal aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Marah itu dari syetan, sedangkan syetan itu diciptaan dari api neraka. Yang bisa memadamkan api tiada lain hanyalah air. Dengan demikian barang siapa yang marah, hendaknya segera mandi.”
“Aku tadi,” kata Muawiyah lagi, “segera memasuki istana untuk mandi. Dan memangnya Abu Muslim itu pada pihak yang benar, sebab harta kerajaan itu bukan hasil jerih payahku atau jerih payah bapak ibuku atau kakekku. Sekarang seluruh rakyat hendaknya segera pergi menghadapku untuk menerima pemberian harta kerajaan”. begitu hati Muawiyah segera luluh karena nasihat Abu Muslim Al-Khaulani sehingga sebuah makruf bisa mengalir sesuai dengan kebenaran.
Dikisahkan pula dari Dhabah bin Muhshan Al-‘Anzi bahwa ketika Abu Musa Al-Asy’ari menjadi gubernur Bashrah, sudah biasa jika para penguasa ketika itu juga bertindak sebagai khathib dalam melaksanakan shalat Jum’at. Abu Musa juga bertindak sebagai khathib ketika itu. Dan khutbah Abu Musa selalu diawali dengan membaca hamdalah kemudian bershalawat kepada Rasulullah yang diteruskan dengan berdo’a memberi rahmat kepada Khalifah kedua, yakni Umar bin Khathab Ra. dengan tanpa menyebut Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Perilaku Abu Musa itu telah berjalan kira-kira tiga Jum’at. Hal inilah yang menjadikan Dhabah naik pitam.
Maka ketika khutbah masih berlangsung, Dhabah segera berdiri memperingatkan Abu Musa:
“Bagaimana anda tidak menyebut pendahulu Umar dan malah lebih mengutamakan dia dari pada Abu Bakar.”
Sejak peristiwa itu, setiap Abu Musa naik mimbar dan membacakan khutbahnya dengan tanpa mau memperbaiki dan menyebut Abu bakar, setiap kali itu pula Dhabah selalu memperingatkan Abu Musa. Hingga Abu Musa merasa jengkel dan bertekad untuk melaporkan perilaku Dhabah pada Amiril Mukminin di Madinah. Abu Musa segera menulis surat mengenai ulah Dhabah yang selalu mengganggu khutbahnya itu kepada Umar bin Khathab. Beberapa hari selanjutnya, Abu Musa segera mendapat balasan dari Khalifah :
“Hendaklah Dhabah dihadirkan ke hadapan Khalifah di Madinah”. begitu bunyi surat itu.
“Aku pun dihadirkan,” kata Dhabah, “Oleh Abu Musa di hadapan Amiril Mukminin. Maka segera aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu Khalifah. Ketika itu pula Umar segera keluar seraya mengatakan :
“Siapa kamu?”
“Saya Dhabah,” jawabku dengan tegas.
Lebih lanjut Umar mengatakan padaku:
“Laa marhaban walaa ahlan.”
(Semoga kau tidak menemui kebahagiaan dan tidak pula ahli dalam kebajikan)1
“Adapun yang pantas memberi kebahagiaan (murahhib) itu hanya Allah semata. Sedangkan mengenai ahlan, kebetulan sekali aku tidak memiliki isteri atau keluarga, apalagi harta. Dengan demikian ucapan Khalifah tidak mengenai sasaran yang semestinya. Sekarang aku yang bertanya, wahai Khalifah:
“Mengapa Khalifah menyibukkan diriku dan memaksa aku hadir di sini dari kota tempat tinggalku yang cukup jauh, padahal aku tidak merasa mempunyai dosa, atau perilaku buruk yang aku kerjakan, ” begitu tangkis Dhabah dengan sengit.
“Mengapa terjadi pertikaian antara kau dan Gubernur bawahanku?,” begitu cecar Umar bin Khathab lagi.
“Begini, wahai Khalifah! Abu Musa setiap kali membaca khutbah mestilah membaca hamdalah yang diikuti dengan shalawat dan mendo’akan rahmat kepadamu dengan tanpa menyebut Abu Bakar sebagai pendahulumu. Hal itulah yang menjadikan diriku naik pitam. Sebenarnya aku telah berusaha memberi peringatan padanya pada setiap kali ia melakukan kesalahan, namun Abu Musa tampak tidak menghiraukan ucapanku itu sampai beberapa Jum’at berlangsung. Anehnya, malah dia malah berkirim surat kepada Baginda mengadukan perilaku diriku yang dianggapnya tidak sopan itu,” begitu Dhabah menguraikan alasannya panjang lebar.
Ketika penjelasan itu telah disampaikan, segera saja Khalifah beranjak memasuki rumah dengan suara tangis yang tidak bisa ditahan lagi sembari mengatakan:
“Wahai Dhabah, demi Allah kamu lebih mendapat petunjuk dan lebih berpihak pada kebenaran. Sekarang sudikah kau memberi maaf padaku, wahai Dhabah. Semoga kau juga diampuni Allah?,” Umar mengucapkannya dengan terputus-putus.
“Semoga Amiril Mukminin mendapat ampunan Allah,” begitu sambungku.
Mendapat jawaban ini, air mata Umar malah bertambah deras lagi. Dengan kalimat yang terbata-bata pula ia melanjutkan ucapannya:
“Demi Allah, waktu satu malam atau satu hari saja bagi Abu Bakar adalah lebih baik dari pada Umar beserta keluarganya. Maukah kau mendengarkan cerita mengenai sisi kebajikan malam atau siang Abu Bakar?,” begitu Umar menawarkan.
“Oh, itu tentu, wahai Amiril Mukminin,” tukasku kemudian.
“Ingatlah pada suatu malam,” begitu Umar mulai bercerita, “Rasulullah Saw. menghendaki untuk ke luar dari Makah melarikan diri dari orang-orang musyrik untuk berhijrah ke Madinah. Malam itu Abu Bakar segera mengikutinya. Namun Abu Bakar begitu khawatir mengenai keselamatan Rasulullah Saw. sehingga dia tampak sebentar berlari di muka Rasulullah, dan sebentar lagi berlari di belakang beliau. Dan kadang di sebelah kanan, yang sebentar lagi berpindah ke sebelah kiri. Setelah Rasulullah mengetahui perilaku Abu Bakar yang tampak aneh ini, segera beliau menanyakan:
“Sikapmu tampak aneh benar, wahai Abu Bakar, perilaku seperti ini belum pernah aku saksikan sebelumnya. Mengapa yang demikian itu terjadi?,” begitu Rasulullah memancing jawaban Abu Bakar.
“Wahai Rasulullah, aku mengkhawatirkan sekali mengenai bidikan senjata musuh. Ketika itulah aku segera berada di depanmu. Dan ketika aku teringat mereka yang akan mengejarmu. Maka aku segera ke belakang dengan maksud agar badanku dulu yang terkena sasaran mereka. Sedangkan ketika aku di arah sampingmu, itu karena sedetik pun aku tidak merasa aman terhadap bahaya yang akan menimpamu,” begitu jawab Abu Bakar mengenai pembelaan yang tiada tara.
Ketika hijrah itu pula,” lanjut Umar bin Khathab lagi, “Rasulullah berlari dengan memakai jari kakinya agar derap langkahnya tidak terdengar, namun hal ini berakibat fatal, seluruh jari-jari kakinya pecah-pecah. Setelah Abu Bakar melihat penderitaan Rasulullah, segera saja beliau digendong bergelayut di pundaknya kemudian berlari sampai di mulut gua Tsaur. Ketika itulah beliau baru diturunkan. Namun segera saja Abu Bakar mengatakan:
“Demi Allah yang diriku ada pada kekuasaan-Nya, biarlah aku dahulu yang memasukinya. Dengan maksud jika saja ada bahaya yang mengancam, biar diri saya dahulu yang menjadi sasaran.”
Sejenak kemudian Abu Bakar segera memasuki gua itu seraya memeriksa tempat di sekitarnya. Setelah dirasakan aman, barulah Rasulullah digendong untuk memasuki gua itu. Namun di dalam gua itu terdapat beberapa lobang yang diduga sebagai sarang ular. Demi keamanan dan melindungi tubuh Rasulullah, Abu Bakar segera menyumbat sebuah lubang dengan telapak kakinya yang diperkirakan jelas sebagai sarang ular. Ternyata memang di lubang itu mengeram seekor ular. Merasa arealnya terganggu, ular itu segera memagut telapak kaki Abu Bakar.
Karena ia berusaha menenteramkan hati Rasulullah, rasa sakit pagutan ular itu ditahannya saja sedemikian rupa. Namun dengan tidak disadari, air mata Abu Bakar mengalir di pipinya sebagai pelepas rasa sakit yang sejak tadi ditahannya. Setelah melihat penderitaan Abu Bakar ini, Rasulullah segera menghiburnya dengan mengatakan:
“Wahai Abu Bakar, janganlah engkau bersusah hati. Ingatlah, Allah selalu beserta kita.”
Terbukti Allah segera melimpahkan rahmat dan kebahagian-Nya kepada dua figur pilihan itu.
“Itulah kesempatan semalam,” kata Umar lagi, “Yang begitu berharga bagi Abu Bakar sehingga melebihi malam-malam yang dilalui oleh Umar beserta keluarganya. Sedangkan mengenai hari yang sangat berharga dari perilaku Abu Bakar. Ingatlah, wahai Dhabah! ketika Rasulullah Saw. wafat, maka banyak sekali kabilah-kabilah Arab yang murtad seakan tidak ada kekuatan yang akan bisa mengalahkan mereka lagi. Malah banyak dari mereka yang mengatakan: “Kita tetap menjalankan shalat, namun mengenai urusan zakat, sebaiknya kita berhentikan sementara.”
Dalam keadaan kritis seperti ini, aku (Umar) segera saja bertandang menemui Abu Bakar untuk menyampaikan sebuah pendapat yang mungkin bisa menjadikan kondisi akan lebih baik. Ketika itulah aku sampaikan pendapatku:
“Wahai Khalifah Rasulullah Saw, dalam kondisi keamanan belum stabil seperti ini, hendaklah engkau dahulukan langkah, bagaimana agar seluruh hati rakyat menaruh simpati terlebih dahulu pada kepemimpinanmu. Seketika itu Abu Bakar langsung menjawab dengan tegas:
“Adakah kita bersikap begitu garang di masa Jahiliah dulu, namun setelah kita memeluk Islam menjadi begitu lunak seakan tidak mampu berbuat! Dengan alasan apa. aku akan membuat langkah agar mereka simpati kepadaku (dengan membiarkan mereka tidak membayar zakat), padahal sudah tidak ada lagi wahyu yang turun, dan Rasulullah pun sudah wafat. Demi Allah, kalau pun meereka membangkang untuk membayarkan seekor anak onta yang pernah dibayarkan ketika Rasulullah masih hidup, mereka akan segera aku perangi karenanya,” begitu jawab Abu Bakar berapi-api.
“Abu Bakar segera bertindak,” kata Umar lebih lanjut, “Memerangi para pembangkang zakat itu sehingga mereka kembali lagi dan taat pada pemerintahan Islam. Dan terbukti memang Abu Bakar lebih berpihak pada kebenaran daripada diriku, wahai Dhabah.
“Setelah Umar bin Khathab menguraikan dan membandingkan kedua pribadi ini, yakni dirinya dan diri Abu Bakar, kemudian ia segera menulis surat untuk menasihati dan menumpahkan kemarahannya pada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi gubernur Bashrah ketika itu,” begitu kata Dhabah.
Demikianlah sikap Al-Faruq dalam menghadapi sebuah kenyataan. Yang hak dikatakan hak dan yang batil pun dikatakan batil. Tidak pernah kebenaran dimanipulasi menjadi kebatilan atau sebaliknya ◙

Pengaruh Kezaliman

Seseorang yang menjadi bawahan sebuah rezim yang berbuat zalim, mestilah dirinya berhadapan pada beberapa alternatif di bawah ini. Pertama, seseorang berusaha mendekati mereka. Hal ini merupakan suatu sikap yang amat buruk. Kedua, mereka yang mendekat kepadanya. Kondisi seperti ini keburukannya berada di bawah yang pertama. Ketiga, mereka tidak pernah mengenalnya dan dia juga tidak pernah mengenal mereka. Sikap ini yang dipandang paling selamat. Sebagaimana sinyalemen Rasulullah Saw. mengenai para penguasa zalim itu:
“Barang siapa membuang mereka jauh-jauh, maka dia akan selamat. Dan barang siapa menjauhi mereka, dia akan selamat atau minimal dapat diharapkan keselamatannya. Namun barang siapa yang jatuh dalam dunia mereka, maka ia dari kelompok mereka.”
(HR.At-Thabrani dari Ibnu Abbas).
Berkata pula sahabat Abu Dzarr kepada Salamah:
“Wahai Salamah, janganlah sekali-kali dirimu mendekat pada pintu-pintu penguasa, sebab jika saja kau memperoleh duniawi dari mereka, mereka mestilah telah berhasil menggarong agamamu dalam intensitas yang lebih banyak lagi.”
Pada suatu kesempatan, Umar bin Abdul Aziz memecat seorang pegawai yang pernah menjadi bawahan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafy selaku panglima yang terkenal zalim itu. Namun segera saja orang tersebut menolak seraya mengatakan:
“Aku menjadi bawahannya tidaklah begitu lama, juga hanya diserahi untuk membenahi masalah-masalah ringan.”
“Cukup memberi pengaruh buruk bagimu dalam menjadi bawahan itu sehari atau dua hari,” sahut Umar dengan tegas sehingga orang tersebut langsung dilepas dari jabatannya.
Dan ketika Az-Zuhry selaku seorang ulama yang cukup harum namanya itu menjadi pegawai istana, maka segera saja seorang kawannya menasihati:
Assalamu Alaikum Wr. Wb.
“Wahai Az-Zuhry, semoga Allah menyelamatkan diriku dan dirimu dari berbagai fitnah, sebab dalam kondisi bagaimana pun seseorang yang telah mengenalmu itu sekarang lebih patut untuk mendoakan dirimu kepada Allah agar rahmat dan kasih sayang-Nya selalu tercurahkan kepadamu. Kalau dicermati, sekarang dirimu itu telah renta, padahal berbagai nikmat Allah telah banyak kau peroleh, baik itu berupa kefahaman mengenai Kitab Allah atau sunnah-sunnah Nabi-Nya. Mestinya dalam menghadapi pribadi seperti dirimu selaku seorang ulama itu Allah akan mengikat janji sebagaimana apa yang telah disitir dalam Al-Qur’an:
“Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.” (Ali Imran: 187 ).
Ketahuilah bahwa sikapmu itu minimal akan membuat senang dan membahagiakan kegundahan penguasa zalim, ini pada akhirnya akan menyeret melegalkan perbuatan aniaya tersebab engkau telah menjadi backing terhadap mereka yang sering tidak menunaikan perkara hak atau tidak meninggalkan kebatilan. Dengan demikian ketika mereka bisa menjaringmu, maka mereka akan menjadikanmu sebagai tumpuan, mereka akan mengitari dirimu dengan berbagai perbuatan aniaya semisal lembu yang berputar di sekitar penggilingan. Tidak cukup itu saja, mereka akan menjadikanmu sebagai jembatan yang dipergunakan untuk menyebarangkan bencana kepada masyarakat. Dirimu dipakai pula sebagai tangga untuk mendongkrak kebiadaban mereka. Bahkan engkau akan segera diperalat untuk menebarkan keraguan pada para ulama lain yang berseberangan dengan penguasa zalim itu. Di samping akan dipasang sebagai pemimpin orang-orang bodoh untuk menghapus kesan buruk diri mereka. Betapa ringan bagi mereka dalam menanggung berbagai kebutuhan hidupmu. Namun betapa besar pengorbananmu. Hasil mereka sangat besar dalam mendulang kredibilitasmu, namun mereka menyusupkan kehancuran terhadap dirimu, utamanya terhadap eksistensi agamamu. Adakah engkau tidak khawatir jika masuk dalam sinyalemen Allah dalam sebuah ayat:
Maka datanglah kepada mereka sebuah generasi yang jelek. Mereka menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan syahwat. Maka mereka kelak akan menemui kehancuran (QS. Maryam: 59 ).
Padahal posisimu ketika hidup sekarang ini adalah masih terikat kontrak untuk beribadah kepada Dia Yang tidak pernah berbuat bodoh. Dia selalu Yang mengawasimu dan tidak pernah lupa. Aku ingatkan, segeralah sembuhkan penyakit yang telah berjangkit pada agamamu itu, aku lihat agamamu sekarang ini telah terserang penyakit kronis. Kemudian persiapkan bekalmu menuju kawasan yang kekal, sebab tampaknya waktu bepergian telah begitu dekat.
Tiadalah akan samar bagi Allah mengenai apa pun yang berada di langit dan di bumi (QS. Ibrahim: 38).
Wassalamu Alaikum Wr. Wb.
Begitu pula apa yang dilakukan oleh Hammad bin Salamah. Pada suatu hari Muhammad bin Shalih bertandang ke rumahnya. Dan setelah pintu diketuk, ia dipersilakan masuk ke dalam rumah yang hanya berisi selembar tikar sebagai tempat duduknya dan mushhaf yang ketika itu sedang dibaca serta sebuah almari kecil sebagai tempat kitab-kitabnya dan sebuah bejana tempat air wudhu. Sejenak kami beramah tamah, namun tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk orang. Dan ketika dibuka si tuan rumah, ternyata yang datang adalah seorang putra kerajaaan, yakni Muhammad bin Sulaiman (bin Abdul Malik). Segera saja tuan rumah mempersilakan untuk masuk dan duduk bersama-sama. Lantas Sulaiman mengatakan:
“Wahai guru!, mengapa setiap aku berjumpa dengan tuan guru, hati ini mesti dilanda gusar dan ketakutan,” begitu Sulaiman membuka pertayaan.
“Itu tiada lain karena Rasulullah Saw. pernah mengatakan:
“Jika seorang alim itu hanya mencari ridha Allah ketika mengamalkan ilmunya, maka segala sesuatu akan merasa takut dan gentar terhadapnya. Namun jika saja bermaksud hendak mengumpulkan berbagai harta benda, maka ia akan takut menghadapi segala sesuatu.”
Kemudian Muhammad bin Sulaiman menyodorkan uang sejumlah empat puluh ribu dirham seraya mengatakan:
“Wahai guru, silakan tuan mempergunakan uang tersebut untuk keperluan tuan.”
Tanpa diduga, Hammad bin Salamah mengatakan :
“Hendaklah uang itu segera engkau kembalikan pada orang yang telah engkau rugikan.”
“Demi Allah uang itu dari hasil bagian warisanku, bukan dari arah yang tidak terang,” begitu Muhammad merengek agar uang itu diterima.
“Aku tidak membutuhkannya,” sambung Hammad lagi.
“Kalau begitu silakan tuan mengambil, kemudian tuan bagikan kepada mereka yang membutuhkan,” sahut Sulaiman masih mendesak pula.
“Jika aku yang harus membagikannya, aku khawatir jika diprotes mereka yang tidak mendapat bagian dengan perkataan: “Ternyata Hammad tidak adil dalam membagi kendati dalam bidang yang lain dia tampak mumpuni.” Bagaimana kalau hal itu terjadi? Dengan demikian dia akan terkena dosa, sedangkan saya yang menjadi penyebabnya. Untuk itu segeralah uang itu engkau singkirkan dari tempat ini,” begitu sergah Hammad tak kalah sengit.
Begitulah para ulama salaf dalam menjaga kehormatan, baik yang menyangkut agamanya atau pun harga dirinya sendiri sehingga mereka tampak begitu agung dan mulia serta disegani berbagai lapisan masyarakat ◙

Si Badui yang Pemberani

Pada kurun-kurun awal yang ditengarai Rasulullah sebagai khairul Qurun, tsummal ladzina yaluunahum, tsummal ladzina yalunahum. (periode Rasulullah dan sahabat merupakan generasi terbaik, kemudian mereka yang hidup sesudahnya (tabi’in), kemudian mereka yang hidup sesudahnya lagi (tabi’inat tabi’in). Memanglah pada kurun tersebut tidak ada batas dan jurang pemisah antara pejabat dan rakyat jelata sehingga siapa pun akan leluasa untuk memberi nasihat kepada pihak-pihak yang dirasakan menyalahi aturan yang telah digariskan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Keadaan yang kondusif inilah yang menjadikan tatanan masyarakat begitu dinamis. Pihak penguasa akan segera membenahi kesalahan yang diperbuatnya ketika mendapat teguran, namun anggota masyarakat itu sendiri juga konsekuen untuk mengikuti langkah pemimpinnya jika memang telah sesuai dengan tuntunan. Bukan sebagai masyarakat yang hanya pandai mengkritisi mengenai apa yang tidak sesuai dengan aturan baku, namun ketika masyarakat itu harus melaksanakan kewajibannya, ternyata banyak yang menghindar. Sikap-sikap seperti ini tidak akan menjadikan suasana menjadi tenteram, bahkan sebaliknya malah menyeret pada keadaan yang runyam.
Tersebutlah dalam kisah bahwa seorang badui (padang pasir dan pedusunan) bertandang ke istana Baginda Sulaiman bin Abdul Malik. Dan setelah pembicaraan dimulai, maka Baginda menawarkan agar si badui itu mengutarakan berbagai maksud kepentingannya. Kesempatan ini pun tidak disia-siakan oleh si badui itu.
“Wahai Amiril Mukminin,” kata si badui, “hamba akan mengutarakan ucapan yang mungkin akan menjadikan berat hati bagi Baginda. Dengan demikian hamba harap Baginda siap menanggungnya, sebab di balik ucapan itu akan mengandung berbagai manfaat yang akan dapat Baginda petik di kemudian hari.”
“Wahai badui!, sikapku selama ini selalu berlapang dada terhadap mereka yang bersifat curang atau terhadap mereka yang sama sekali tidak aku harapkan kebajikannya. Dengan demikian sama sekali tidak akan pernah menjadi beban jika saja orang yang menghadapku itu pribadi sepertimu, yakni komunitas yang sama sekali tidak pernah aku curigai akan berbuat buruk. Maka dari itu utarakan saja apa yang menjadi maumu,” begitu Baginda mempersilakan si badui untuk segera mengutarakan maksudnya.
“Wahai Amiril Mukminin!, setelah aku mencermati keadaan Baginda, ternyata Baginda selalu dikelilingi orang-orang penjilat. Mereka selalu mencari kesempatan untuk menangguk keuntungan materi dari Baginda, malah banyak pula yang rela menjual akhiratnya demi kepentingan sesaat untuk mendapat muka dari Baginda. Banyak pula yang berani menyeberang untuk memuaskan hati Baginda, kendati jelas-jelas akan berseberangan dengan tuntunan Allah yang menjadi penyebab mengundang murka-Nya. Kebanyakan mereka tampak takut jika berhadapan dengan Baginda, namun sekali-kali mereka tidak pernah merasa takut kepada Allah. Jika sikap mereka itu tidak segera dihentikan, hal ini jelas menyeret pada perusakan akhirat dengan umpan penjarahan terhadap duniawi. Untuk itu hendaknya Baginda segera membenahi sikap mereka dengan jalan Baginda tidak mempercayai mereka lagi mengenai urusan-urusan Allah yang menjadi tanggungjawab Baginda. Sebab mereka tidaklah mempedulikan lagi terhadap tanggungjawab itu, apakah bisa terlaksana atau tidak. Di samping itu, kalau Baginda mencermati keadaan ummat, maka mereka banyak yang hidup dalam penderitaan, padahal Baginda akan ditanya di muka Allah nanti mengenai tanggungjawab Baginda dalam mengurusi rakyat, sedangkan rakyat sekali-kali tidak akan ditanya mengenai aktivitas Baginda dalam mengurusi mereka. Dengan demikian hendaklah Baginda tidak hanya memperbaiki keduniaan mereka, sedangkan keadaan akhirat Baginda terbengkelai. Sebab separah-parahnya kerugian yaitu seseorang yang menjual akhiratnya tidak terurus karena sibuk mengurusi dunia orang lain - man baa’a akhiratahu bi dunia ghairihi.”
“Wahai badui, waspadalah dan hati-hatilah dalam mengucap, sebab lisan itu merupakan senjata yang paling tajam,” begitu kata Baginda.
“Apa yang Baginda katakan memang benar, namun seluruh nasihatku itu kelak hanya akan memberi manfaat bagi langkah-langkah Baginda lebih lanjut. Dan sekali-kali tidak akan berpengaruh buruk,” begitu tangkis badui dengan sopan, namun sangat tajam.
Demikian pula apa yang disampaikan Abu Bakrah kepada Muawiyah yang ketika itu sebagai pemegang tampuk khalifah. Pada suatu kesempatan ia mengatakan:
“Wahai Muawiyah, bertakwalah kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa setiap malam yang telah engkau lalui, atau siang yang engkau lewati, semua itu jelas memperpendek usiamu sehingga dirimu sedikit demi sedikit mendekati akhirat, dan tidak boleh tidak engkau mesti masuk ke sana. Padahal di belakangmu selalu bersedia sosok yang memburu nyawamu. Ia telah memasang garis finish yang tidak akan bisa engkau lintasi. Setelah aku cermati, betapa cepat larimu menuju garis finish itu, begitu pun pemburu itu hampir-hampir saja bisa menangkapmu. Sadarilah olehmu bahwa apa yang kita alami ini semuanya akan berlalu begitu saja menuju kawasan yang kekal abadi selamanya. Dengan demikian jika perbuatan kita banyak yang baik, maka akan dibalas dengan kebaikan. Namun jika banyak yang buruk, maka akan dibalas dengan keburukan pula. Resapilah apa yang telah aku katakan ini, wahai Muawiyah!,” demikian nasihat Abu Bakrah dengan tanpa tedeng aling-aling.
Begitulah sikap dan tindakan para penyandang ilmu (dahulu!) ketika berjumpa dengan para penguasa. Ilmu mereka begitu mantap dalam menghantar iman, sehingga iman itu pun selalu memberi reaksi positif dalam menghantarkan para penyandangnya untuk selalu menjunjung tinggi sebuah kebenaran. Sebaliknya jika saja yang berada di samping para penguasa itu ulama suu’, kondisi ini malah akan memperparah posisi penguasa itu sendiri. Biasanya ulama suu’ itu akan mencari muka dan menjilat hati para penguasa. Sering pula mencarikan celah-celah hukum yang akan memperingan sebuah tindakan terlarang seorang penguasa, malah hukum-hukum yang perlaku harus dikonversikan (disesuaikan) dengan kehendak hati para penguasa. Bisa pula mereka bertindak sebagaimana seorang ulama yang mukhlis, namun bertendensi lain, bukan demi memperjuangkan kebenaran, namun demi mendapatkan tempat di hati para pendengar dan para penguasa, sehingga banyak ulama sekarang yang sikapnya tidak ubah sebagaimana artis yang dikerumuni fans-fans yang menggandrunginya. Popularitas menjadi tujuan utama. Kalau sikap mereka sudah seperti itu, maka tidak diragukan lagi jelas mengandung dua tipuan. Pertama, orang seperti ini akan menampakkan bahwa tujuannya dalam memberi nasihat itu adalah memperbaiki keadaan dan perilaku publik, padahal nun jauh di relung hatinya menyimpan sebuah maksud agar dirinya dikenal dan popularitasnya terdongkrak. Padahal jika maksud dan tujuannya itu betul-betul mukhlis karena Allah, tentulah jika ada orang lain yang bertindak memperbaiki perilaku publik, dan ternyata dia diterima serta pengaruhnya begitu bagus pada jiwa mereka, orang yang pertama itu mestinya akan bersyukur kepada Allah dengan bertindaknya seseorang yang telah mencukupi kewajibannya. Hal ini dapatlah dimisalkan sebagaimana jika ditemukan si Amir yang sedang sakit dan belum ada orang yang merawatnya. Kemudian si Bakar bertindak merawatnya dan mengadakan terapi secukupnya sehingga sakit si Amir menjadi sembuh. Tentulah jika si Candra itu berhati jujur akan sangat gembira dengan tindakan si B tadi. Namun jika si Candra ini tetap menyangkal bahwa terapi yang dilaksanakan dirinya akan lebih sempurna dan lebih mujarab, maka si Candra ini adalah orang yang tertipu. Begitu pula jika seseorang yang memberi nasihat itu selalu mengatakan bahwa ucapannya lebih bisa diterima masyarakat dari pada yang lain. Asumsi seperti ini adalah salah besar. Kedua, jika saja ia mengatakan bahwa dalam memberi nasihat itu ia bermaksud memberi pertolongan bagi mereka yang terzalimi atau dirugikan, maka anggapan seperti ini keliru pula. Dan di dalamnya akan mengandung tipuan sebagaimana yang pertama tadi.
Demikian uraian yang sedikit ini semoga menjadikan manfaat adanya ◙

Kondisi Hati

Hati para kekasih Allah itu seringkali dalam menggapai kedekatannya kepada Tuhan harus dengan sebuah media yang dianggapnya efektif. Sebagaimana lagu dan syair ketuhanan. Jadi mediator yang paling berkesan, malah sering bukan melalui Al-Qur’an atau pun dengan mendengarkan pidato dan nasihat-nasihat yang lain.
Dikisahkan dari Abul Hasan Ad-Darraj bahwa pada suatu hari aku berangkat dari Baghdad bertandang ke kota Ray menuju rumah Syeikh Yusuf bin Husein Ar-Razy yang berupakan seorang ulama terkenal, di mana selama ini aku belum pernah sekalipun melihat sosok tubuhnya atau pun mendengarkan fatwa-fatwanya secara langsung. Namun setelah sampai di kota Ray, aku pun segera bertanya pada masyarakat kota itu mengenai keberadaan beliau. Betapa mengherankan, orang-orang mengatakan:
“Untuk apa kamu bertandang dan mengunjungi seorang penyandang predikat zindiq?,” begitu ucap mereka.
Dari informasi masyarakat itu dadaku terasa sesak sekali sehingga segera saja aku berkehendak untuk segera kembali ke Baghdad. Namun hati kecilku memberontak, sebab perjalanan yang telah aku tempuh memang begitu jauh, akankah aku harus kembali tanpa membawa hasil apa-apa? Selanjutnya, perjalanan aku teruskan saja sembari bertanya di sepanjang jalan mengenai keberadaan Yusuf bin Husein. Pada akhirnya aku pun dapat menemukan alamatnya dengan jelas sehingga aku berhasil memasuki halaman rumahnya. Setelah aku mengucapkan salam beberapa kali, ternyata rumah itu dalam keadaan kosong sehingga aku segera mencari informasi pada tetangga sebelah rumah itu, mereka mengatakan bahwa ia sekarang sedang berada di masjid. Segera saja aku menuju masjid yang dimaksud. Benar saja ia berada di masjid itu dalam keadaan sedang duduk di mihrab menghadapi seorang lelaki yang membawa sebuah mushhaf, dan Yusuf bin Husein sendiri asyik membaca mushhaf. Pandanganku segera aku arahkan ke sosok tubuhnya. Ternyata ia merupakan seorang yang begitu tampan, dengan janggut yang sangat indah. Maka segera saja aku ucapkan salam kepadanya, dan segera mendapat jawaban yang memuaskan.
“Anda berasal dari mana?” begitu Syeikh Yusuf bin Husein memulai pembicaraan.
“Dari Baghdad, tuan!,” sahut Abul Hasan.
“Apa yang mendorong dirimu berpayah-payah datang ke sini?,” sambung Syeikh Yusuf lagi.
“Hanya untuk berziarah dan mengucapkan salam kepada tuan,” tukas Abul Hasan lagi.
“Bagaimana pendapatmu jika saja ada seseorang yang mengatakan kepadamu:
“Segeralah engkau pergi dari depan Yusuf bin Husein! Jika saja engkau mau memperturutkan perintahku, engkau akan aku beri hadiah sebuah rumah lengkap dengan pelayannya sekali.” Adakah tawaran itu bisa menghentikan langkahmu untuk datang di hadapanku,” begitu ucap Syeikh Yusuf seakan menanggung beban yang begitu berat.
“Untunglah aku tidak mendapat ujian seberat itu. Dan jika saja Allah mengujiku seperti itu, aku sendiri belum mengerti bagaimana aku harus menentukan sikap,” sergah Abul Hasan kembali.
“Adakah kau bisa bepuisi?,” tanya Syeikh Yusuf.
“Ya, aku bisa kendati tidak begitu pandai,” tukas Abul Hasan lagi.
“Coba, segera lantunkan!,” Syeikh Yusuf mendesak.
“Akupun berucap:
Engkau pasang penyekat antara Aku.
Padahal jika saja bulat tekadmu
Engkau ‘kan robohkan penghalang itu
Aku usahakan bertemu denganmu
Namun ucapanmu hanyalah andaikan
Alangkah rapuhnya sebuah ucapan
Jika yang keluar itu hanya andaikan
“Ketika mendengar puisi ini, segera saja Syeikh Yusuf menutup mushhafnya, dan setelah aku lihat ternyata kedua belah pipinya telah dipenuhi cucuran air mata. Sebuah tangis yang betul-betul mengundang iba, sehingga jubahnya basah kuyup karenanya.”
“Wahai saudaraku, dalam puisi itu engkau memperolok penduduk Ray yang telah menuduhku sebagai seorang zindiq (kafir). Sebenarnya sejak pagi tadi sampai sekarang ini aku telah berusaha membaca mushhaf secara sungguh-sungguh dengan harapan hatiku akan timbul sebuah intuisi (wijdan), dan ternyata belum dapat aku usahakan dan air mataku juga masih terasa kesat. Namun setelah engkau bacakan puisi itu, seakan kiamat telah meruntuhkan sendi-sendi kehidupanku.”
Menurut Al-Ghazaly, kendati sebuah hati itu telah dipenuhi oleh cinta Allah (hubb lillah), belum tentu pemicunya itu harus dengan mendengarkan bacaan Al-Qur’an, malah sering lebih manjur dipicu dengan melantunkan sebuah syair atau pun mendendangkan lagu. Hal ini tiada lain karena dalam syair atau pun lagu itu sengaja digubah dengan rima yang seimbang atau pun cengkok-cengkok syahdu dan bahasa yang sangat menyentuh perasaan. Sedangkan kalimat yang ada dalam Al-Qur’an kendati mengandung i’jaz di mana manusia tidak akan mampu untuk menandinginya, namun kebanyakan susunannya keluar dari uslub kalimat yang dibiasakan oleh kebanyakan orang. Hal ini yang menjadi penyebab tangis Syeikh Yusuf tadi, ketika itu lubuk hatinya dipenuhi tanda tanya, mengapa ketika dibacakan Al-Qur’an hatinya belum juga mencair dan merasa nikmat yang dibuktikan dengan aliran air mata. Namun anehnya setelah mendengar sebuah puisi yang nota bene tidak akan dicatat sebagai ibadah ketika membacanya, namun hatinya begitu cepat tanggap dan tersentuh perasaannya? Syeikh Yusuf menangisi kebimbangannya itu.
Pernah pada suatu kali ada seseorang yang bertandang ke rumah Syeikh Israfil selaku guru Dzin Nun Al-Mishriy. Ketika itu Syeikh Israfil didapati sedang asyik menggali tanah dengan jari-jarinya sembari dengan samar mendendangkan sebuah lagu sya’ir. Setelah menyadari datangnya seorang lelaki itu, ia segera mendongakkan kepala seraya mengatakan:
“Adakah kau bisa mendendangkan sebuah lagu yang mengantarkan kepada Tuhan?”
“Tidak, suaraku tidak mendukung wahai guru!,” begitu jawab lelaki itu.
“Kalau demikian dadamu kosong, kau tidak memiliki sebuah hati,” begitu guru itu memojokkan.
Hal ini jelas mengisyaratkan bahwa syair atau pun lagu-lagu indah akan bisa menggerakkan sebuah hati dengan begitu cepat bisa mendekat kepada Allah, dan belum tentu sarana-sarana yang lain akan bisa berfungsi sedemikian rupa melampaui lagu-lagu atau syair tersebut. Namun kebanyakan orang jika mendendangkan lagu cinta dan sejenisnya, hati mereka hanya bertaut sesama makhluk atau lawan jenis yang mereka gandrungi. Betapa jika saja kecintaan seperti itu di arahkan kepada Allah, tentulah banyak pribadi-pribadi yang menjadi auliya’ dan kekasih Allah. Sayang memang… ◙