Sabtu, 16 Januari 2010

Produktivitas ASI Menurun

Seorang ibu yang bernama Mardhiah menanyakan:
Saya seorang ibu rumah tangga, punya bayi usia 3 bulan. Selama ini saya hanya memberikan ASI saja, tetapi saya rasakan produksi ASI semakin menurun. Payudara saya. sudah tidak terasa penuh lagi. Ketika saya perah, ASI yang keluar tidak banyak. Padahal saya ingin sekali memberikan ASI eksklusif dan menyusui sampai 2 tahun. Bagaimana caranya supaya produktivitas ASI kembali banyak?
Jawab
Ibu Mardhiah, di awal kehadiran bayi, atau pada 3 bulan pertama secara alami ASI akan di produksi berlebih sesuai dengan kebutuhan bayi untuk meningkatkan berat badannya. Bila ingin mengetahui apakah bayi sudah c'ukup minum ASI, kita bisa melakukan sebuah tes sederhana yaitu memeriksa apakah pipis bayi lebih dari 6 X dalam sehari. Bila iya, pertanda bahwa si bayi sudah cukup ASI. Namun, tes ini hanya berlaku bila bayi masih minum ASI saja, atau ASI Ekslusif.
Ibu Mardhiah harus percaya diri bahwa ASI-nya pasti cukup, karena dengan percaya diri dan tidak khawatir, maka produksi ASI tidak terganggu. Makanlah dengan gizi seimbang, perbanyak makan sayuran hijau atau makanan lain yang mengandung kalsium tinggi. Namun sebelumnya, rasa "percaya diri" bahwa ibu mampu dan ASI pasti cukup harus terus ditanamkan dalam hati. Semoga sukses memberikan ASI ekslusif dan meneruskan hingga 2 tahun.

Menyusui Anak dengan Benar

Seorang ibu yang bernama Hani menanyakan: Saya ibu rumah tangga berusia 30 tahun. Saya sedang hamil anak kedua. Apa ada kegunaan ASI selain sebagai makanan/minuman bayi. Karena ketika anak pertama masih bayi pernah matanya merah dan keluar kotoran berwarna putih. Oleh orang tua, saya disuruh mengobati dengan ditetesi ASI 3 kali sehari. Beberapa hari kemudian matanya sudah tidak merah dan tidak ada kotorannya lagi. Yang saya tanyakan apakah ASI dapat menyembuhkan sakit mata pada bayi atau hanya kepercayaan turun-menurun bukan obat yang sudah terbukti benar secara ilmu kesehatan ataukah ada halyang lain?
Bila ditanyakan apakah ASI bisa menyembuhkan mata pada bayi? Sampai sekarang belum ada penelitian ilmiah tentang hal ini. Namun mungkin saja ASI bisa menyembuhkan mengingat tingginya tingkat antibodi yang ada pada ASI.
Lain lagi dengan pertanyaan ibu Zulfa. Ia menanyakan: Saya ibu dari putra yang berumur 2 bulan dan masih memberinya ASI eksklusif.
1. Ada teman bilang jika memerah ASI dengan pompa bisa membuat "kapur ASI" pecah. Apa maksudnya. Bagaimana cara memerah dengan tangan?
2. Setelah memeras ASI, saya tak meyimpannya di freezer, karena memang kami belum punya, Berapa lama ASI tahan dalam suhu kamar?
3. Sebaiknya sekali perah berapa lama waktunya dan biasanya berapa banyak ASI yang didapatkan?
4. Jika bayi sudah 6 bulan, selain makanan tambahan dan ASI, perlukah dlberi susu formula?
5. Adakah makanan yang dipantang selama menyusui?
Mungkin ada baiknya jika Ibu bertanya kepada teman ibu, tentang apa yang dimaksudkan dengan "kapur ASI", Dalam manajamen laktasi, istilah ini tidak dikenal. Beberapa literatur mengungkapkan bahwa penggunaan pompa datam jangka panjang, dapat menyebabkan kerusakan jaringan payudara. Yang pasti, penggunaan pompa tidak dianjurkan terutama karena alasan kebersihan. Bentuk pompa yang berkelok-kelok, membuat kita suiit membersihkannya. Akibatnya, kotoran mungkin bertumpuk dan menjadi sarang bakteri. Jadi, ASI yang asalnya sudah steril mungkin menjadi tercemar oleh kotoran ini.
Memerah dengan tangan memang memerlukan keterampilan dan kesabaran yang lebih, tetapi kebersihannya lebih terjamin, dan lagi dapat menghasilkan jumlah susu yang lebih banyak. Dengan pemerahan tangan, biasanya diperlukan sekitar 3-5 menit hingga AS! keluar lancar. Ini berhubungan dengan proses hormon yang memang tidak bisa segera berproses.
Tips memerah dengan tangan :
a. Cuci tangan ibu dengan sabun
b. Bayangkan wajah bayi anda Ibu, untuk merangsang hormon yang mempengaruhi produksi susu.
c. Letakkan ibu jari di atas puting, berdekatan dengan tepi areola dan jari tengah serta telunjuk di bawah, berdekatan dengan tepi areola.
d. Tekankan bagian areola, kemudian dengan perlahan-lahan tekan ibu jari secara bersama, sambil sedikit ditarik.
e. Arahkan aliran ASt ke dalam gelas penampung yang bersih.
f. Ulang beberapa kali untuk mengosongkan payudara.
g. Perah setiap sisi payudara selama 5-10 menit secara bergilir.
Ibu yang sudah terampil, biasanya dapat memerah susu selama 15-20 menit dari tiap sisi payudara. Setelah berlatih selama 2 minggu, produksi sebetah payudara akan berktsar dari 70 -90 ml. ASI pada suhu kamar dapat bcrtahan 10-12 jam. Jika ada warna kecoklatan, jangan khawatir, karena itu adalah proses enzim biasa (browning).
Setetah 6 bulan, selain makanan pendamping, teruskan pemberian ASI (seperti anjuran Qur'an dan juga WHO). Susu formula sama sekali tidak diperlukan, karena ASI jauh lebih unggul dalam semua hat, termasuk nilai nutrist maupun kekebalan yang disediakan.
Tidak ada pantangan khusus, tetapi sebaiknya hindari makanan yang ekstrim seperti yang pedas atau berbau. Makanan yang seimbang dan bergizt, akan memenuhi kebutuhan ibu menyusui. Ingat 98% ibu bisa menyusui dengan sempurna, tergantung cara kita mengelola.

Cara Menyimpan ASI

Sabrina bekerja di perusahaan swasta dan sedang hamil 7 bulan, Sabrina berniat memberikan A5I eksklusif kepada anak Sabrina nanti. Bagaimana cara menyimpan ASI yang sudah diperas? Misalkan nanti ASI yang baru diperas ini dimasukkan dalam plastik kemudian diletakkan di kulkas di kantor. Lama perjalanan Sabrina menuju rumah sekitar 1 jam. Bagaimana kondisi ASI saat suhunya berubah selama di perjalananan? dan apakah masih layak diberikan pada bayi atau ada cara yang aman membawa ASI ini pulang ?
Itu semua ada solusianya! Para ibu bekerja tetap bisa sukses memberikan ASI ekslusif, dengan cara menabung ASI perahan. Sebaiknya menabung ASI dilakukan minimal 1 bulan sebelum kembali ke kantor. Ketika kembali ke kantor, tetaplah memerah ASI minimal 4 kali sehari. ASI perahan bisa disimpan dalam kantong plastik bersih sejenis plastik kiloan, lalu dibekukan dalam freezer di kantor untuk di bawa pulang. ASI yang dibekukan dapat bertahan selama 6 bulan.
Perubahan suhu selama perjalanan ke rumah bisa disiasati dengan menggunakan "cooler box" atau yang paling mudah menggunakan kotak stereofoam seperti yang digunakan abang sayur untuk menyimpan ikan jualan. Kotak ini tidak mahal, dan bisa menjadi alternatif pengganti termos untuk menjaga kondisi ASI tetap beku. Sampai di rumah, ASI langsung dimasukkan ke dalam freezer untuk penyimpanan.

Payudara Membengkak Karena Bayi Meninggal

Seorang ibu yang bernama Mirna menanyakan:
Saya seorang ibu (30) yang berencana memberikan ASI eksklusif pada anak-anak saya. Namun anak pertama saya meninggal sebelum saya lahirkan. Hari ke-3 setelah melahirkan, payudara saya bengkak. Lalu saya kompres dengan air hangat dan memerah ASI, tapi segera saya hentikan karena saya paham, semakin diperah maka produksinya semakin banyak. Lalu saya coba membalur payudara dengan menggunakan pucuk daun kacang panjang yang ditumbuk. Alhamdulillah, ASI saya menetes sehingga payudara tidak bengkak.
Saat kontrol ke bidan saya diberi pil putih kecil, sehingga payudara tidak bengkak dan ASI tidak keluar. Namun tak lama, payudara saya bengkak lagi, jadi saya balur lagi dengan daun pucuk kacang panjang sehingga ASI menetes lagi. Setelah 3 minggu ASI tetap menetes walau semakin hari semakin sedikit dan saya tidak melakukan perlakuan apapun terhadap payudara.
Yang ingin saya ditanyakan :
ü Sampai kapan ASI akan tetap menetes? Apa penyebabnya?
ü Apa sebenarnya yang harus dilakukan jika payudara bengkak tapi bayi meninggal?
ü Apakah pengalaman saya ini mempengaruhi produksi ASI untuk anak berikutnya?
ü Apakah tindakan yang saya lakukan dapat berpengaruh terhadap kesehatan fisik saya kelak, misalnya kanker?
Jawaban:
Berikut adalah jawaban atas pertanyaan Ibu:
ü ASI akan tetap diproduksi jika hormon yang berperan dalam produksinya masih tinggi {hormon prolaktin dan oksitosin). Selama bayi masih menyusui, maka ASI akan terus diproduksi. Jika bayi berhenti menyusui, maka ASI akan mengering. Lamanya proses kering ini sangat tergantung pada individu masing-masing. Pada prinsipnya, ASI akan kering jika hormon-hormon tersebut di atas dihambat. Secara umum, jika tanpa perlakukan khusus, maka ASI akan sama sekali kering dalam waktu sekitar 8 minggu setelah penyusuan berhenti. Cara lain adalah diberi obat yang dapat menghambat hormon-hormon tersebut di atas. Jika obat diminum secara teratur sesuai petunjuk dokter, biasanya ASI akan kering sekitar 1 minggu.
ü Hendaklah Ibu pergi ke dokter dan minta dokter untuk menghentikan ASI. Jika terasa bengkak, Ibu bisa memerah ASI dengan tangan (jari telunjuk, tengah dan ibu jari). Selain itu, Ibu bisa mengompres payudara dengan air es (bukan air panas) atau bisa juga dengan kol yang sudah dihaluskan. Kompres dengan kol disarankan 20 menit, 2 kali sehari.
ü Setiap kelahiran memiliki keunikan sendiri. Insya Allah pengalaman pertama ini tidak akan mempengaruhi kelahiran berikutnya. Yang paling penting:
a) usahakan agar bayi segera disusui setidaknya 30 menit setelah kelahiran—tanpa minuman apapun
b) usahakan agar ibu dan bayi selalu bersama 24 jam (rawat gabung)
c) tidak seperti susu formula, pemberian ASI tidak ada batasnya.
ü Banyak sekali yang mempengaruhi kesehatan kita. Tetapi salah satu hal yang paling penting adalah berpikir positif dan meminta yang terbaik kepada Allah. Jika nanti menyusui anak "kedua, ingatlah, semakin lama menyusui, maka peluang kanker payudara akan semakin kecil.

Sabtu, 09 Januari 2010

Ketika Ummul Mukminin Shalat Dhuha

Dikisahkan bahwa betis Shafwan bin Salim selalu terlihat bengkak karena berdiri panjang untuk melakukan shalat sunnah. Ia begitu rajin membaktikan diri kepada Allah sehingga jika saja hari itu dikatakan kepadanya bahwa esok pagi akan terjadi kiamat, ia sudah tidak mendapatkan celah lagi untuk menambahkan ibadahnya.
Biasanya ketika datang musim penghujan, ia akan naik ke loteng agar tubuhnya kedinginan. Dan jika saja musim kemarau datang, ia akan berbaring di rumah agar tubuhnya kepanasan sehingga tidak bisa tidur. Dan ketika mati, didapatkan ia sedang menjalankan sujud, dimana sebelumnya terdengar memanjatkan do’a:
“Ya Allah, aku sangat bahagia jika bertemu dengan-Mu. Maka dari itu bahagialah Engkau bertemu denganku.”
Qasim bin Muhammad mengatakan:
“Bila saja aku memulai sebuah aktivitas di pagi hari, maka mesti aku mulai dengan berkunjung ke rumah Ummul Mukminin Aisyah Ra hanya untuk mengucapkan salam kepada beliu. Kebetulan rumahku memang berdekatan. Namun pada suatu pagi aku menjumpai beliau sedang melaksanakan shalat Dhuha. Aku dengar beliau membaca sebuah ayat:
Maka Allah memberi karunia kepada kami dan memelihara kami dari siksa neraka (Ath-Thur:27)
Kedengarannya satu ayat itu diulang-ulang terus dengan suara tangis yang samar. Maka aku menunggu saja di luar pintu sampai beberapa lama sehingga aku merasa bosan. Aku pun segera beranjak pergi menuju pasar untuk mendapatkan kebutuhan keluarga sehari-hari, kemudian pulang untuk menaruhkan barang yang baru saja aku beli. Sejenak kemudian aku pergi lagi menuju rumah beliau. Ternyata beliau tetap posisi berdiri dengan membaca ayat tersebut. Begitu pula tangisnya tetap terdengar.”
Subhanallah, begitu Ummul Mukminin melakukan shalat. Semoga kita bisa meniru perilaku mereka dan hati ini diberi kemampuan oleh-Nya untuk mencintai mereka. Amin.

■■■

Lima Benteng Negeri

Syeikh Hasan Bashri mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini dibagi menjadi lima kelompok. Pertama, adalah para ulama, mereka sebagai para pewaris nabi. Kedua, ahli zuhud, selaku para petunjuk jalan kebenaran. Ketiga, ahli jihad dan para prajurit, mereka merupakan senjata Allah yang ditaruhkan di persada ini. Keempat, pada saudagar, mereka merupakan figur kepercayaan Allah. Kelima, para pejabat pemerinah, mereka merupakan para penggembala.
Namun jika saja seluruhnya tidak bisa menjalankan tugasnya masing-masing secara benar, dunia ini pun akan hancur berantakan di ujung tombak lima macam kelompok itu.
Taruhlah jika saja seorang yang alim itu sudah begitu rakus terhadap harta, dan menjadi tukang mengumpulkan kekayaan, siapa lagi yang menjadi panutan masyarakat?. Dan jika saja seorang ahli zuhud itu sudah dijangkiti gila harta, siapa lagi yang akan memberi petunjuk orang awam. Kemudian jika saja seorang prajurit dalam menjalankan tuigasnya tidak bermaksud mencari keridhaan Allah, siapa yang akan mampu menghadapi musuh yang menyerbu memporak-porandakan seluruh negeri. Dan jika saja para pedagang sudah bersikap curang, baik dengan mengurangi timbangan dan takaran atau pun keculasan yang lain, maka kepada siapa masyarakat menaruhkan kepercayaannya. Dan jika saja para pejabat pemerintah sudah menjadi serigala, maka siapa lagi yang akan sanggup merawat domba-doma yang tak terawat itu.
Demi Allah, tiada lagi yang menghancurkan kedamaian masyarakat terkecuali para ulama yang sudah tidak berintegritas dan para ahli zuhud yang kini gila harta, ditambah bala tentera yang menjadi tukang pamer serta para pedagang yang menjadi pengkhianat dan para pejabat yang bertindak zalim.
Demikian ulasan Syeikh Hasan Bashri selaku pemuka ulama Tabi’in. Semoga nasihatnya memberi manfaat kepada kita. Amin.



■■■

Nasihat Untuk Nabi Daud

Bani Israel betul-betul mengalami kejayaan ketika tampuk kerajaan dipegang Nabi Daud, dan mengalami puncaknya ketika Nabi Sulaiman menggantikan sang ayah. Nabi Daud merupakan figur yang banyak memiliki kelebihan, diantaranya beliau ahli memproduksi baju perang dari besi, dimana lempengan besi akan meleleh ketika berada di tangannya, suaranya begitu merdu, hingga ketika bertasbih akan dikelilingi berbagai burung, gunung-gunung, hewan liar dan pepohonan.
Kitab Zabur telah diberikan Allah kepada beliau. Seorang figur ahli ibadah, baik dengan banyaknya shalat, zikir atau pun puasa sunnah, hingga kita mengenal istilah puasa Daud, ya’ni sehari puasa dan sehari lagi berbuka, begitu seterusnya sepanjang tahun.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari Nabi Daud menerima wahyu:
“Wahai Daud, katakanlah kepada mereka yang menghadap-Ku dengan penuh kecintaan bahwa tiadalah suatu pun yang akan membahayakan mereka jika saja aku menghijab mereka dari seluruh makhluk, namun Aku gantikan dengan terbukanya hijab (tirai) antara mereka dan Aku sehingga mereka akan bisa melihat kepada-Ku dengan mata hatinya.
Tidak pula akan membahayakan jika saja duniawi Aku jauhkan dari mereka ketika kenikmatan dalam beragama telah Aku hamparkan pada mereka. Juga tidak akan membayakan jika saja mereka dibenci oleh para makhluk ketika mereka telah mendapatkan ridha-Ku.”
“Wahai Daud, kau menyangka bahwa dirimu telah menyintai-Ku. Kalau demikian, maka keluarkanlah kecintaan duniawi dari seluruh bilik hatimu, sebab keduanya merupakan lawan yang tidak akan bisa berkumpul selamanya.”
“Wahai Daud, berkumpullah bersama para kekasih-Ku dengan sepenuh hati. Demikian pula berkumpullah dengan mereka yang menyintai duniawi dengan penuh hati-hati. Namun mengenai urusan agama harus kau serahkan kepada-Ku sepenuhnya, dan jangan sekali-kali agama diserahkan kepada penyinta dunia itu.
Kemudian mengenai masalah yang sudah jelas dan sesuai dengan apa yang Aku kehendaki, maka segeralah engkau berpegangan dengannya. Adapun yang masih mengandung keraguan, maka segera serahkan kepada-Ku. Aku akan segera memberi pertolongan kepadamu dan menegakkan sikapmu yang tampak belum lurus. Aku juga akan memberi bantuan terhadapmu dalam menghadapi berbagai kesulitan kendati kau tidak meminta bantuan.
“Wahai Daud, Aku telah bersumpah dengan zat-Ku, bahwasannya Aku tidak akan memberi pahala seorang hamba kecuali terhadap mereka yang betul-betul telah Aku kenal bersungguh-sungguh berserah diri di hadapan-Ku, dan mereka yang telah menyadari bahwa tiada daya sedikit pun kecuali dengan pertolongan-Ku.
Jika saja kau telah bersikap demikian, maka akan segera Aku lepaskan kehinaan dan keluh kesah yang selalu menggeluti dirimu, kemudian segera Aku taruhkan rasa cukup dan kekayaan jiwa pada dirimu.
Aku pun telah bersumpah bahwa jika saja seorang hamba itu begitu membanggakan kekuatan dirinya, maka segera akan Aku serahkan saja kepadanya terhadap urusannya sendiri sehingga sekali-kali Aku tidak akan memberi pertolongan kepadanya. Serahkanlah segala urusanmu kepada-Ku. Jangan pula kau serikatkan amal-amalmu kepada selain diri-Ku, hal itu akan berakibat kawan-kawanmu tidak akan bisa mengambil manfaat apa pun darimu.”
“Wahai Daud, sadarilah bahwa makrifat kepada-Ku itu tanpa suatu batas, dengan demikian tidak pernah ada habisnya. Dan jika kau memohon tambahan nikmat kepada-Ku, maka segera akan Aku perkenankan, malah tambahan itu tidak pernah ada batasnya.
Kemudian beri tahukan kepada seluruh Bani Israel bahwasannya antara diri-Ku dan para makhluk tidaklah pernah ada pertalian nasab. Dengan demikian jika saja mereka mengagungkan kemauan dan kecintaan kepada-Ku, maka segera akan aku beri karunia yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pula pernah terdengar telinga atau pun terlintas di benak hati para manusia”.
“Wahai Daud, taruhlah Aku tepat di depan kedua belah matamu, kemudian pandanglah Aku dengan mata hatimu, jangan dengan mata kepalamu. Lihatlah mereka yang akalnya selalu terhijab dari-Ku, pada akhirnya selalu terputus dari segala pahala-Ku. Sebab Aku telah bersumpah, demi kemuliaan dan keagungan-Ku bahwa Aku tidak akan membuka sebuah pahala bagi seorang hamba yang melaksanakan ibadah hanya berdasar coba-coba atau bermalas-malasan.”
“Wahai Daud, merendahlah kepada mereka yang menimba ilmu kepadamu, jangan sekali-kali kau bersikap takabur pada mereka, sebab jika saja mereka yang telah menyintai-Ku itu mengetahui martabat para penimba ilmu, niscaya mereka akan rela menjadi tanah sebagai tempat berpijak para penuntut ilmu.”
“Wahai Daud, jika saja kau menyembuhkan seorang murid dari penyakit bangga dengan duniawi, kau akan Aku tulis sebagai orang yang berjihad. Dan barang siapa telah Aku tulis semisal orang yang berjihad, maka ia tidak akan mengalami keluh kesah, juga tidak lagi membutuhkan uluran tangan para makhluk.”
“Wahai Daud, berpeganglah dengan kalam-Ku, dan pergunakanlah tubuhmu untuk selalu beribadah kepada-Ku demi keselamatan tubuhmu sendiri. Jangan pula kemuan nafsu itu engkau turuti, sikap itu akan menjadikan dirimu terhijab dari cinta-Ku.
Jangan pula kau membuat putus asa terhadap para hamba dari rahmat-Ku. Kemudian hilangkanlah segala syahwat yang masih bergelayut pada dirimu, sebab memperturutkan syahwat itu hanya Aku perbolehkan bagi para hamba-Ku yang masih lemah. Mereka yang kuat dalam beribadah, jelas akan menyingkirkan segala syahwatnya, sebab syahwat akan bisa mengurangi kelezatan bermunajat dengan-Ku.
Dan memperturutkan syahwat itu sudah cukup sebagai siksaan bagi para ahli ibadah itu, disamping akan Aku halangi akal mereka untuk berfikir mengenai keagungan-Ku. Sebab sekali-kali Aku tidak merelakan jika saja para kekasih-Ku itu bergelimang duniawi, Aku jelas akan menyingkirkan mereka darinya.”
“Wahai Daud, janganlah kau menjadikan seorang ‘alim yang mabuk duniawi sebagai penghantar antara diri-Ku dan dirimu, kalau itu terjadi maka akan aku halangi dirimu dari menyintai-Ku. Mereka itu adalah rampok yang akan mengahalangi para hamba untuk mendekat kepada-Ku.
Janganlah kau memeperturutkan segala syahwat, akan lebih baik jika syahwat itu kau perketat dengan memperbanyak berpuasa. Namun ketika berbuka janganlah kau memperbanyak makan, sebab kecintaan-Ku terhadap seseorang itu jika saja ia tampak selalu berpuasa”.
“Wahai Daud, biasakanlah untuk menyintai-Ku dengan jalan memusuhi nafsumu. Cegah dari memperturutkan hawa nafsu, dengan demikian kau akan selalu Aku pandang, disamping tirai yang ada pada dirimu akan tersingkapkan”.
“Wahai Daud, nasehat-Ku kali ini Aku perhalus, dengan harapan agar dirimu lebih kuat dalam berpacu meraih berbagai pahala tatkala telah Aku curahkan kepadamu. Namun sekarang semua itu masih Aku tahan menunggu semangatmu dalam melaksanakan ibadah.”
“Wahai Daud, jika saja mereka yang berlaku maksiat itu melihat bagiamana Aku menunggu mereka, bagaimana pula kasih sayangku agar mereka meninggalkan segala kedurhakaannya, sungguh mereka akan mati karena begitu merindukan-Ku. Sendi-sendi mereka juga akan terlepas tersebab dirundung cinta kepada-Ku yang tiada tertahankan lagi. Wahai Daud, sikap-Ku seperti itu adalah mengenai mereka yang durhaka, bagaimana sikap-Ku terhadap mereka yang selalu menghadap pada-Ku…
“Wahai Daud, saat-saat seseorang paling perlu dikasihani adalah jika ia tidak membutuhkan Aku lagi, atau mereka yang telah membelakangi-Ku. Namun saat yang paling berharga dan paling terhormat bagi seseorang adalah jika saja ia kembali kepada-Ku.”
Itulah isi wahyu yang telah disampaikan Allah dan diresapi oleh Nabi Daud dengan sepenuh hati. Semoga kita bisa mengambil i’tibar dan pelajaran yang berharga darinya, amin.


■■■

Kebijaksanaan Allah Mengatur Dunia

Dikisahkan bahwa seorang yang terkenal zuhud pada suatu hari mengungsi dan menjauh dari keramaian kota, kemudian berdiam diri di kaki sebuah bukit selama tujuh hari dengan tidak membawa bekal sama sekali seraya bergumam:
“Aku sekali-kali tidak akan meminta-minta pada seseorang, akan aku coba bagaimana Allah mendatangkan rezeki kepadaku.”
Ternyata dalam jangka tujuh hari itu tidak seorang pun memberinya makanan sehingga ia hampir saja mati kelaparan. Ketika itulah ia memanjatkan do’a kepada Allah:
“Ya Allah, jika saja aku masih Engkau beri umur, hendaklah rezeki yang sudah Engkau pastikan untukku itu Engkau datangkan. Namun jika bagianku telah habis, segeralah Engkau mencabut ruhku agar aku tidak mengalami penderitaan ini.”
Allah segera memberi ilham kepadanya:
“Demi kemuliaan zat-Ku, Aku tidak akan mengucurkan rezekimu selagi kau tidak segera kembali lagi ke kota dan meminta bantuan kepada orang lain.” demikian bunyi ilham itu.
Maka lelaki itu dengan langkah gontai kembali ke kota lagi dan segera berusaha mendapatkan makanan. Ternyata dalam jangka sekejap saja, orang-orang segera berdatangan dengan membawakan berbagai makanan dan minuman. Dengan lahapnya lelaki itu segera memakan apa yang didapat, namun batinnya belum bisa menerima mengenai perlakuan Allah kepada dirinya itu. Maka Allah segera memberitakan lagi:
“Kau menghendaki untuk menghapus segala kebijaksanaan-Ku yang Aku jalankan di dunia ini. Adakah kau belum mengerti bahwa rezekimu yang Aku sampaikan melalui tangan orang lain adalah lebih Aku sukai dari pada langsung jatuh dari langit melalui kekuasaan-Ku. Adakah kau belum mengerti bahwa seluruh apa yang berjalan di dunia ini telah Aku tetapkan dengan memakai sebab dan akibat. Dengan demikian jika saja hukum sebab-akibat itu Aku hapus, maka keberaturan dunia ini akan segera lenyap pula, mengertilah.”
Lelaki itu pun baru memahami atas kehendak Sang Penciptanya.


■■■

Sumpah Abu Musa

Sebuah keceriaan (uns) bersama Allah itu jika saja bisa kekal dan kuat intensitasnya, dalam arti tidak bercampur lagi dengan kebingungan atau masih disisipi rasa takut dan terhalang, maka sikap seperti itu akan bisa membuahkan reaksi yang positif dengan penuh kegembiraan yang berpengaruh pada ucapan dan perbuatan atau pada bisikan ketika berdo’a.
Namun kadang juga menimbulkan reaksi yang tampak negatif sehingga bisa dipandang sebagai perbuatan ‘kurang ajar’atau tidak takut lagi kepada Allah. Pada biasanya sikap yang demikian itu dibiarkan saja oleh Allah ketika seseorang telah dirasa mencapai martabat yang sedemikian itu. Sebaliknya bagi figur yang tidak dizinkan menempati martabat seperti itu, sikap tersebut kadang malah bisa menyeret pada kekafiran, tidak jarang pula bisa mencelakakan dirinya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari beberapa rumah papan yang berada di Bashrah habis dilanda kebakaran, namun herannya ada satu rumah yang yang terletak di tengah-tengah terlihat masih utuh, sedikit pun tidak terjilat api. Abu Musa yang ketika itu menjadi Gubernur diberi tahu mengenai musibah mengenaskan ini. Segera saja ia memanggil orang yang telah tua pemilik rumah yang selamat itu.
“Mengapa hanya rumahmu yang bisa selamat?,” begitu tanya Abu Musa dengan heran.
“Aku telah bersumpah kepada Allah, hendaknya rumah ini jangan sampai terbakar,”begitu jawab orang tua tersebut.
Maka Abu Musa segera mengatakan:“Saya pernah mendengar Rasulullah Saw mengatakan bahwa pada ummatku akan ada suatu kaum yang rambutnmya tampak kusut, pakaiannya pun dekil, namun jika saja bersumpah kepada Allah, Dia akan segera memperkenakannya.” (HR. Ibnu Abid Dunia dalam kitab Auliya’).
Pernah pula pada suatu hari Abu Hafsh ketika berjalan bertemu seorang penduduk desa yang kebingungan.
“Mengapa kau tampak kebingungan,” begitu sapa Abu Hafsh.
“Aku sedang kehilangan keledai satu-satunya, padahal aku tidak punya harta apa pun selain binatang itu,” sahut orang desa tersebut.
Segera saja Abu Hafsh menghentikan langkah kemudian memanjatkan do’a:
“Ya Allah, demi kemulian-Mu, kakiku tidak akan aku langkahkan sebelum Engkau kembalikan keledai orang ini.”
Seketika itu pula keledai tersebut tampak dari kejauhan, kemudian dihela oleh pemiliknya. Dan dengan langkah biasa, Abu Hafsh pun meneruskan perjalanannya.
Begitu pula ketika Bani Israel dilanda kemarau dalam jangka tujuh tahun, maka mereka berbondong-bomdong kepada Nabi Musa agar sudi memohonkan hujan. Maka keluarlah beliau bersama kaumnya menuju sebuah tempat lapang untuk memanjatkan do’a yang dimaksud. Namun ketika di perjalanan, beliau mendapatkan wahyu:
“Bagaimana Aku akan memperkenankan do’a kalian yang bergelimang dengan berbagai dosa sehingga hati kalian begitu gelap. Kalian berdo’a dengan tanpa sebuah keyakinan, malah sikap kalian seakan tidak takut lagi dengan berbagai siksa-Ku. Untuk itu kembalilah kalian. Carilah seorang hamba yang bernama Barkhu. Suruhlah ia keluar untuk memohon hujan, Aku akan segera memperkenankannya!,” begitu bunyi wahyu
Nabi Musa As. segera menyebar informasi untuk menemukan orang tersebut, namun sampai beberapa lama belum ditemukan juga. Dan pada suatu hari ketika Nabi Musa sedang berjalan, beliau tiba-tiba saja bertemu dengan orang hitam yang keningnya masih berdebu bekas melakukan sujud. Ia memakai kain yang diikatkan begitu saja di lehernya. Nabi Musa langsung bisa mengenalinya dengan bantuan bisikan Allah. Lantas beliau mengucapkan salam.
“Siapa nama Anda?,” begitu Nabi Musa membuka sebuah dialog.
“Namaku sangat singkat, Barkhu,” sahut orang hitam itu.
“Anda telah beberapa lama aku cari untuk memohonkan hujan Bani Israel yang selama ini kekeringan. Untuk itu kau segera aku minta memanjatkan do’a sekarang juga,” begitu pinta Nabi Musa.
Segera saja Barkhu menjauh dari Nabi Musa, kemudian menengadahkan kedua belah tangannya seraya mengucapkan:
“Ya Allah, ketiadaan hujan ini tidaklah pantas jika dibangsakan kepada perbuatan-Mu, tidak pula pantas jika disebutkan sebagai kemurahan-Mu. Adakah mata air-Mu telah kering, atau kini angin selalu membangkang memperturutkan perintah-Mu. Atau apakah memang telah habis simpanan rezeki yang berada di samping-Mu, atau sekarang ini murka-Mu telah begitu memuncak terhadap mereka yang selalu berbuat durhaka. Bukankah Engkau begitu Pemberi ampun sebelum Engkau menciptakan mereka yang berlaku salah itu. Engkau telah menciptakan rahmat dan belas kasih, dan Engkau sendiri telah memerintahkan untuk selalu bersikap belas kasih. Atau Engkau memang sengaja memperllihatkan kepada kami mengenai keengganan-Mu itu. Atau Engkau sendiri yang takut jika saja kehilangan belas kasih sehingga segera mengirimkan siksaan!?.”
Sejenak kemudian awan segera beriringan dan kilat bersahutan kemudian turun hujan begitu lebatnya sehingga Bani Israel basah kuyup karenanya. Seketika itu juga Allah menumbuhkan rerumputan begitu lebat sehingga mencapai lutut.
Setelah mengetahui keberhasilan permohonannya ini, Barkhu segera beranjak untuk menemui Nabi Musa.
“Bagaimana do’a yang aku panjatkan tadi, wahai Nabi Musa?. Dimana ketika itu aku memberanikan diri untuk mengungkit-ungkit Allah dan mencerca-Nya.” begitu kata Barkhu kepada Nabi Musa.
Mendengar perkataan Barkhu yang tampak kurang ajar ini, hampir-hampir saja Nabi Musa meninju mukanya. Namun segera saja beliau menerima wahyu.
“Biarkanlah Barkhu, wahai Musa. Ia setiap hari memang sering membuat Aku tertawa sampai tiga kali.”
Sikap-sikap aneh tersebut pada biasanya hanyalah dimiliki mereka yang memang telah dekat dengan Allah sehingga hatinya selalu diliputi rasa uns (bahagia), namun orang lain tidak akan etis juga tidak akan mampu menirunya. Malah menurut Al-Junaidi, kadang mereka itu ketika menyepi mengeluarkan berbagai kalimat yang akan bisa dituduh kafir menurut ukuran orang awam.


■■■

Fudhail Menjadi Sapi

Dikisahkan bahwa seorang khalifah telah mengirim berbagai hadiah ke seluruh para fuqaha’ Baghdad. Mereka pun menerima hadiah tersebut dengan suka cita. Malah banyak yang memuji sikap Baginda yang sudi mendekati para ulama itu. Tidak luput pula Fudhail mendapat bagian sepuluh ribu dirham, namun anehnya orang terakhir ini tidak mau menerima. Segera saja anak-anak Fudhail memprotes sikap sang ayah yang tampak aneh itu.
“Seluruh fuqaha’ telah menerima hadiah itu, wahai ayah. Mengapa ayah tetap bersikukuh untuk menolaknya,” begitu kata anak-anaknya.
Mengetahui sikap anak-anaknya yang demikian itu, Fudhail hanya bisa menangis seraya mengatakan:
“Wahai anak-anakku, aku dan diri kalian adalah semisal kaum yang memiliki seekor sapi yang kesehariannya untuk membajak sawah. Namun setelah sapi itu tua, mereka segera menyembelihnya dengan alasan untuk diambil kulitnya.
Demikian pula kalian, sikap kalian itu jelas mengarah pada penyembelihan diriku yang sudah renta ini. Kalau demikian akan lebih baik kalian mati tersebab lapar dari pada kalian mengorbankan Fudhail.”
Anak-anaknya pun diam seribu bahasa melihat ketegaran sang ayah yang besikap zuhud ini.

■■■

Onta yang Diberi Makan Roti

Ketika selepas Maghrib, Khalifah Umar bin Khathab mendengar ada seseorang yang meminta makanan dari hasil menarik zakat. Maka beliau segera mengatakan kepada salah seorang pegawainya agar segera memberinya makanan secukupnya. Namun setelah beberapa saat beliau mendengar lagi orang tersebut masih meminta makanan. Maka dengan wajah merah padam, si pegawai itu dibentaknya seraya mengatakan:
“Wahai pelayanku, bukankah tadi telah aku katakan agar orang yang minta makanan itu segera kau beri!.”
“Betul khalifah, dan dia telah aku beri secukupnya sesuai perintah khalifah,” begitu jawaban si pegawai yang mengundang keheranan Umar.
Setelah diteliti, ternyata di bawah tangan peminta itu ada sebuah kantung yang penuh berisi roti yang menjadi makanan pokok. Segera saja Umar mengatakan:
“Wahai peminta, kau bukan orang yang meminta untuk sekedar cukup, bahkan kau merupakan pedagang yang mengeruk keuntungan selagi ada kesempatan!,” begitu Umar membentaknya seraya mendekati peminta dan mengambil kantung yang penuh makanan itu. Kemudian kantung itu langsung dibukanya dan dituangkan di depan onta-onta zakat yang beberapa hari lagi akan segera dibagikan. Tidak itu saja, Umar segera mengambil cemetinya dan si peminta itu langsung disebatnya sampai merasa kesakitan.
“Awas, jangan kau ulangi lagi,” begitu bentak Umar.
Tindakan Umar dalam menyebat para penyeleweng itu dimaksudkan agar mereka jera menjalankan aksinya dalam masa-masa yang akan datang. Sedangkan mengenai penuangan makanan di depan onta-ona zakat, kendati sepintas tampak sebagai tindakan emosional, namun sikap itu sekali-kali bukanlah dianggap melampaui batas.
Cobalah kita cermati, dikarenakan si peminta itu mengambil harta dengan jalan dusta, maka pada hakikatnya dia tidak berhak menerimanya. Sedangkan untuk mengembalikan pada pemiliknya, tentu saja tindakan itu akan betul-betul mengalami kesulitan, sebab makanan itu telah bercampur dengan milik banyak para wajib zakat yang lain sehingga statusnya tidak bertuan lagi.
Dengan demikian maka wajib untuk menasarufkan pada kemaslahatan umum, dimana onta sedekah serta persediaan makanannya merupakan harta kemaslahatan. Untuk itu memberi makanan kepadanya merupakan tindakan kemaslahatan pula.
Tindakanmu betul-betul proporsional, wahai mertua Rasulullah dari seorang putrimu yang bernama Hafshah. Kendati pun sikapmu selintas tampak tidak berbelas kasih. Namun di situlah bersemayam ajaran yang kokoh dan tegas agar seluruh komunitas bersih dari berbagai manipulasi atau pun korupsi.


■■■

Kejayaan Orang Miskin

Rasulullah Saw mengatakan bahwa nanti ketika hari kiamat telah tiba, seorang lelaki yang miskin akan dihadapkan kepada Allah, kemudian Allah (dengan berendah hati) meminta maaf kepada lelaki itu sebagaimana seseorang meminta maaf kepada saudaranya ketika hidup di dunia. Allah lantas mengatakan:
“Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, tidaklah Aku menjauhkan duniawi darimu itu tersebab kau begitu hina dalam pandangan-Ku. Namun karena Aku telah menyediakan berbagai kemuliaan dan keutamaan untukmu sekarang ini.
Wahai hamba-Ku, sekarang keluarlah menerobos barisan manusia itu, dan lihatlah siapa yang telah memberi makan atau memberi pakaian kepadamu dengan ikhlas karena Aku ketika di dunia. Gandenglah tangannya, ia telah aku pasrahkan kepadamu – padahal manusia ketika itu masih terbelenggu oleh keringat mereka - Maka hamba itu segera menerobos barisan manusia seraya menebarkan pandangannya, siapa dari mereka yang pernah memberi makan dan pakaian. Dan setelah ditemukannya, hamba itu pun menarik tangannya untuk diajaknya bersama memasuki surga.”
Kisah ini merupakan keterangan hadits yang diriwayatkan Abus Syeikh dari Anas bin Malik .


■■■

Ketinggian Nilai Al-Qur’an

Seorang yang telah hapal (Hafizh) Al-Qur’an yang terkenal miskin itu pada suatu hari mengadukan kefakirannya kepada Allah. Namun di malam harinya, ia bermimpi melihat seorang lelaki yang mengatakan:
“Adakah kau mau jika saja aku beri uang seribu dinar( 1 dengan syarat kau segera lupa terhadap surah Al-An’am, bagiamana?”
“Aku tidak akan mau.” jawab Hafizh tersebut.
“Kalau begitu kau lupa dengan surah Hud saja, itu kan lebih pendek,” begitu ledek lelaki tadi.
“Tidak mau, jangan,” tukas si Hafizh lagi.
“Jika yang harus kau segera lupa terhadap surah Yusuf, kau akan aku beri seribu dinar, bagaimana?,” tawar lelaki itu pula.
“Jangan, aku tidak mau,” sergah si Hafizh.
Selanjutnya lelaki itu terus menyebut berbagai surah sehingga genap seratus surah, namun si hafizh tetap menggelengkan kepala, tidak sudi Al-Qur’an yang telah dihapalnya itu harus segera lupa karena telah dijual dengan keduniaan. Kemudian lelaki itu mengatakan:
“Kalau demikian kau masih memiliki sesuatu yang harganya mencapai seratus ribu dinar, mengapa masih juga mengadukan kefakiran!,” begitu si lelaki itu memojokkan.
Dan ketika bangun, si Hafizh betul-betul terkesima, kemudian hari-harinya pun penuh dengan kebahagiaan.


■■■

Rezeki yang Halal

Dalam mencermati makanan yang akan kita jadikan sebagai energi tubuh, Islam begitu memperhatikan apa yang perlu dikonsumsi tubuh itu sendiri, dan bagaimana cara memperolehnya, apa pula berbagai jenis yang perlu dihindari sehingga tubuh akan betul-betul terjamin kesehatannya yang kelak akan begitu berguna untuk menghamba kepada Allah SWT.
Yang perlu diperhatikan. Pertama, makanan itu dalam keadaan bagus dan halal, dihasilkan dari usaha yang sesuai dengan tuntunan sunnah serta terhindar dari usaha yang dimakruhkan, disamping tidak untuk memperturutkan hawa nafsu. Perhatikan firman Allah :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batal terkecuali dengan jalan perniagaan yang berjalan dengan suka sama suka di antara kamu. Dan jangan pula kamu membunuh dirimu (An-Nisa’ : 28 ).
Dalam ayat tersebut Allah sangat memperhatikan mengenai kehalalan energi yang masuk ke dalam tubuh, kemudian melarang untuk memakan harta haram, yakni makanan yang dihasilkan dengan jalan batal, baru menghimbau untuk menjauhi perbuatan nista yang lain, yaitu bunuh diri. Hal ini tiada lain karena pengaruh dan barakah makanan halal itu sendiri sangat besar, baik untuk kepentingan kehidupan atau pun mendekatkan diri kepada Allah.
Kedua, perlu membasuh tangan terlebih dahulu agar kotoran dan daki yang melekat padanya tidak ikut masuk dalam tubuh. Sebab jika aktivitas makan itu dimaksudkan agar seseorang lebih leluasa dalam menjalankan agamanya, maka hal ini termasuk ibadah pula. Sehingga akan sebagaimana berwudhu ketika hendak menjalankan shalat. Periksa sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh At-Thabrani dalam Al-Ausath:
“Membasuh tangan ketika mulai makan akan dapat menyingkirkan kefakiran. Dan ketika telah selesai makan, akan dapat menyingkirkan penyebab sakit gila.”
Ketiga, yang lebih dekat dengan ajaran Rasulullah adalah menaruhkan tempat makanan itu di lantai (lesehan), sebab yang demikian itu lebih dekat pada tindakan tawadhu’. Dalam sebuah hadits riwayat Hasan yang ditulis oleh Ahmad dalam kitab Az-Zuhud mengatakan:
Jika saja makanan datang kepada Rasulullah, beliau segera menaruhkannya di lantai.
Keempat, duduk dengan baik di depan makanan itu hingga selesai, sebagaimana perbuatan Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Abdullah bin Basyir.
Adalah Rasulullah Saw. terkadang membongkokkan punggungnya di atas kedua belah lututnya ketika makan. Acapkali juga duduk pada kedua belah tumitnya, dan kadang kaki sebelah kanannya ditegakkan kemudian duduk di kaki sebelah kiri.
Bersabda pula Rasulullah Saw:
Aku tidak akan makan dengan bersandar. Aku adalah seorang hamba, dengan demikian cara makanku pun sebagaimana seorang hamba. Ketika duduk pun sebagaimana seorang hamba.
Kelima, hendaklah berniat agar badan menjadi kuat untuk melaksanakan ibadah kepada Allah, dengan demikian aktivitas makan itu akan ditulis sebagai ibadah, kendati secara lahiriah tidak bergambar ibadah.
Jangan pula menyimpan maksud untuk berlezat-lezat, malah akan lebih baik jika tidak sampai batas kenyang agar tidak akan menghalang atau menjadikan malas melaksanakan berbagai ibadah itu, bahkan akan menghilangkan kenikmatan melakukan ibadah. Dan tidak akan makan terkecuali jika telah merasa lapar, sehingga tubuh akan senantiasa sehat dan tidak lagi membutuhkan pertolongan dokter.
Keenam, mencukupkan diri dengan makanan yang tersedia dan tidak perlu harus lengkap dengan perbagai lauk pauk, bahkan kalau perlu makan lebih dahulu sebelum melakukan shalat, sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
Jika saja waktu makan malam dan waktu ‘Isyak datang bersamaan, maka mulailah dengan makan malam.
Ketujuh, akan lebih baik dilakukan bersama-sama dengan anak isterinya dalam satu tempat, bahkan Rasulullah tidak pernah makan dalam keadaan sendiri, sesuai dengan sabdanya:
Berkumpullah kalian dalam makan, maka akan dipenuhi berkah oleh Allah.
(Hadits dari Wahsyi bin Harb dengan isnad hasan).

Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Barang siapa memulai sarapan pagi dengan mencicipi garam terlebih dahulu, maka Allah akan menghilangkan tujuh puluh macam bahaya darinya. Dan barang siapa setiap hari memakan kurma ‘ajwah (jenis kurma Madinah) tujuh butir, maka segala ulat dan bakteri yang bersarang di tubuhnya akan segera mati. Dan barang siapa memakan anggur merah setiap hari sejumlah dua puluh satu butir, maka tidak akan ditemukan lagi apa pun yang tidak disenangi pada tubuhnya.
Memakan daging akan baik pengaruhnya bagi pertumbuhkan, sedangkan makanan tsarid (adonan gandum bercampur daging) adalah makanan favorit orang Arab. Namun basqarat (daging bercampur minyak samin) bisa membesarkan perut dan menjadikan pantat mengendor. Dan memakan daging sapi kurus akan menyebabkan datangnya penyakit, begitu pula lemaknya. Namun susunya bisa menjadi penawar.
Sedangkan bagi wanita yang sedang nifas, ia akan lebih baik memperbanyak makan kurma basah (ruthab). Dan barang siapa berkehendak panjang umur, hendaklah ia membiasakan sarapan pagi, memakai terompah akan lebih baik. Dan obat yang amat berguna tidak akan ada yang mengalahkan minyak samin. Jangan terlalu sering bersenggama dan hendaklah baju luar dibuat dari bahan yang ringan.
Pada sekali kesempatan Hajjaj bin Yusuf mengatakan pada seorang dokter:
“Terangkan masalah-masalah kesehatan yang perlu aku perhatikan!,” begitu kata Hajjaj.
“Janganlah kau kawin terkecuali dengan perawan, jangan pula memakan daging terkecuali jika kau dapatkan yang masih muda. Dalam menghadapi makanan yang perlu dimasak, jangan kau memakannya terkecuali jika telah matang benar. Jangan meminum obat terkecuali jika memang sedang sakit. Dan jika meminumnya, maka jangan kau tindak lanjuti dengan makanan-makanan lain.
Kunyahlah apa pun yang kau makan dengan sebaik-baiknya, namun jangan segera kau ikuti dengan minuman. Dan jika kau minum, hendaknya jangan segera kau ikuti dengan makanan lain. Jangan sekali-kali menahan kencing atau berak. Dan jika kau telah usai makan di siang hari, maka akan lebih baik segera tidur. Namun jika selesai makan di malam hari, maka akan lebih baik berjalan-jalan terlebih dahulu sebelum tidur kendati hanya dengan seratus langkah,” begitu jawab dokter tadi.
Imam Syafi’i mengatakan:“Cara makan itu ada empat macam. Pertama, makan dengan satu jari, sikap itu akan mengundang murka Allah. Kedua, makan dengan dua jari, merupakan sikap orang-orang yang takabur. Ketiga, makan dengan tiga jari merupakan ajaran Rasulullah Saw. (sunnah). Keempat, makan dengan empat atau lima jari merupakan tindakan rakus.”
Empat macam tindakan, “kata Asy-Syafi’i lagi, “Akan bisa memperkuat tubuh, yaitu sering memakan daging, memakai minyak wangi, sering mandi yang bukan tersebab janabat dan mengenakan pakaian dari bahan kattan.
Adapun yang menyebabkan tubuh mudah merasa payah adalah memperbanyak senggama, banyak susah, sering minum ketika perut sedang lapar dan sering memakan makanan asam. Yang akan bisa memperkuat ketajaman mata yaitu melihat pada tumbuh-tumbuhan yang menghijau, pakaian selalu bersih, sering duduk dengan menghadap kiblat dan bercelak ketika akan tidur.
Perbuatan yang menyebabkan mata cepat payah yaitu sering memandang pada kotoran, memandang pada orang yang dihukum salib, memandang pada kemaluan wanita dan duduk dengan membelakangi kiblat.
Dan masih ada empat macam lagi yang akan memperkuat senggama, yaitu memakan daging burung pipit, meminum perasan buah butrawali besar, memakan buah kemiri dan memakan buah pala.
Dalam tidur pun dapat dibagi empat macam, yaitu tidur dengan menyandarkan tengkuk, yang demikian itu adalah sikap para Nabi, mereka sering berfikir mengenai apa pun yang berada di langit dan di bumi. Kedua, tidur miring ke kanan. Yang demikian itu sikap para ulama dan ahli beribadah. Ketiga, tidur miring ke kiri, yang merupakan kebiasaan seorang raja dengan maksud agar makanan di perutnya segera tercerna. Keempat, tidur dengan muka tengkurap, ini merupakan gaya syetan.
Empat sikap yang menyebabkan akal menjadi kuat. Pertama, menahan diri dari banyak ucapan. Kedua, sering bersugi (bersiwak). Ketiga, sering berdiam dalam masjid. Keempat, memberbanyak membaca Al-Qur’an.
Berkata pula Imam Syafi’i:“Mengherankan, mengapa banyak orang memaksakan diri untuk pergi ke pemandian padahal perut mereka merasa lapar. Bukankah sikap seperti ini memperpendek umur. Begitu pula amat banyak orang yang berbekam, namun segera saja mereka makan kenyang. Bukankah hal ini menyebabkan pendeknya umur pula.”
Semoga bermanfaat adanya.



■■■

Kamis, 07 Januari 2010

Polisi dan Pemancing Ikan

“Janganlah kalian berbuat zhalim atau berulah yang merugikan orang lain!,” begitu teriak seorang polisi Bani Israel dipinggir pantai pada orang-orang yang dijumpainya, padahal matahari belum naik sepenggalah. Namun setelah didekati, ternyata dia seorang polisi yang kehilangan sebelah tangannya. Seseorang memberanikan diri untuk bertanya:
“Tuan, mengapa Tuan bertindak sebagai seorang khathib di mimbar sinagog layaknya, padahal fisik anda tampak tidak lengkap lagi. Perilaku Tuan juga tidak seperti kawan-kawan yang lain. Apakah yang mempengaruhi sikap Tuan hingga tampak lain dari pada yang lain. Tegasnya dari sikap Tuan, tampaknya Tuan merupakan seseorang yang berakhlak mulia,” tanya seorang lelaki dengan raut keheranan.
“Oh, bapak ingin tahu itu,” sahut polisi itu.
“Ya, barang kali ada pengalaman yang akan bermanfaat bagiku.” jawab lelaki tadi.
“Begini, beberapa bulan yang lalu ketika hari libur aku pergi ke tempat ini untuk memancing sebagai hiburan saja. Lama aku melepas kail namun tidak juga kuperoleh seekor ikan pun sampai hari menjelang petang.
Ketika itulah ada pemancing lain membawa ikan gabus yang agak besar. Ketika melihat dia, segera aku bangkit untuk membelinya sebagai oleh-oleh anak isteriku di rumah agar mereka tidak kecewa melihat kepergianku seharian. Namun ikan itu tidak boleh aku beli, dia tidak menjualnya, katanya juga untuk oleh-oleh anak isterinya di rumah.
Lantas kupaksa dia untuk menjual, namun tetap saja tidak mau. Akhirnya kupukul saja kepalanya kemudian kurampas ikan itu dan secepatnya aku segera berlalu. Ketika dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ikan itu terjatuh lalu segera kuambil lagi. Namun betapa sialnya, jari tanganku digigit. Sebuah gigitan yang betul-betul fatal. Segera saja tangan kutarik dari mulut ikan itu, ternyata mulutnya terkatup erat sekali hingga dengan susah payah kepala ikan itu aku congkel dengan bantuan orang sekitar.
Setelah sampai di rumah, jari itu semakin membengkak dan rasa sakitnya jangan ditanyakan lagi. Keesokan harinya malah muncul bisul yang mengandung nanah, maka segera saja aku pergi ke seorang dokter untuk berobat. Ia tertegun seraya menggeleng-gelengkan kepala kemudian mengatakan:
“Ini merupakan gigitan yang mengandung racun dimana tidak mungkin lagi disembuhkan terkecuali dengan jalan amputasi. Dan tampaknya sudah menjalar ke telapak tangan. Dengan demikian amputasi itu harus dipergelangan tangan.” begitu dokter mendiagnosa.
Maka lemaslah seluruh badanku mendengar advis dokter ini, namun demi keselamatan jiwa akhirnya terpaksa telapak tangan itu harus kupotong. Tetapi racun itu tampaknya belum berhenti berreaksi, dimana lenganku akhirnya terinveksi hingga bernanah. Betapa remuknya hatiku ketika itu. Namun dengan sekuat tenaga aku terus berusaha mencari penawar ke dokter yang lain. Ternyata hasilnya nihil, nol besar. Mereka tidak bisa memprediksi racun apa yang bersarang di lenganku itu. Akupun menyerah lagi pada dokter pertama, dia menyarankan untuk memotong lenganku sampai siku, masya Allah!.
Setelah aku pertimbangkan, dari pada nyawaku melayang, akhirnya lengan itu pun diamputasi sampai siku. Bagaimana hasilnya?, ternyata racun itu terus naik ke atas, menyerang lengan bagian atas. Aku sudah menyerah kepada nasib, namun keluargaku membawa lagi ke dokter dan terpaksa dia mengamputasi tanganku itu, namun ternyata belum sembuh pula. Butut sudah anggautaku sebelah.
Melihat keganjilan mengerikan ini, sebagian keluargaku memaksaku untuk berterus terang, bagaimana asal muasal bencana itu. Maka dengan terpaksa kuceritakan kebiadabanku itu. Setelah mendengarkan keteranganku itu, dia tampak tersentak lalu mengatakan:
“Kalau kau belum bosan hidup, segeralah minta maaf dan minta kemurahan hati pemilik ikan itu agar dia menghalalkan untukmu,” begitu saran saudaraku.
Untuk melaksanakan saran ini, maka seluruh anggota keluargaku aku kerahkan untuk menemukan si pemancing itu sampai berhari-hari dengan cara menyisir dan meneliti setiap orang yang aku sebutkan ciri-cirinya di sepanjang pantai, terutama pencarian itu harus lebih digiatkan lagi ketika hari-hari libur. Akhirnya mereka temukan juga orang itu dan segera saja aku ditandu untuk menemuinya.
Setelah aku diturunkan maka aku langsung bersimpuh di kakinya seraya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Air mataku tak mampu kutahan lagi hingga tumpah ruah membasahi kakinya. Dengan terbengong-bengong dia bertanya:
“Siapa Tuan, dan ada apa ini!.”
“Aku… aku yang merampas ikanmu dulu.” jawabku dengan menyisihkan rasa malu.
Kemudian aku kisahkan kejadian-kejadian yang menimpa diriku hingga kutunjukkan tanganku yang telah hilang itu.
Demi melihatku mengalami penderitaan yang tragis itu, tangisnya langsung meledak seraya memelukku erat-erat dan mengatakan:
“Wahai saudaraku, telah aku halalkan semua itu, ya Allah, ampunilah dia.”
Tangisku pun tak dapat kutahan lagi, suasana begitu haru dan memilukan. Kemudian aku memberanikan diri untuk bertanya:
“Wahai saudaraku, adakah kau mendo’akan buruk terhadapku ketika ikan itu aku rampas?.”
“Ketika itu aku bengatakan:”Ya Allah, dia telah berbuat semena-mena terhadapku yang lemah ini hingga merampas rizki yang telah Engkau karuniakan padaku. Hendaklah dengan segera Engkau perlihatkan kekuasaan-Mu padaku.” jawab si pemancing.
“Sekarang telah terbukti, Dia telah memperlihatkan kekuasaan-Nya. Untuk itu aku bertaubat dari seluruh perbuatan jahat yang pernah aku lakukan.” sahut sang polisi.
Peristiwa seperti itu telah sesuai dengan apa yang pernah disabdakan Rasulullah ketika mengutus Mu’adz bin Jabal untuk pergi ke negeri Yaman menjabat gubernur di sana. Beliau berpesan:
“Wahai Mu’adz, kamu akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab. Ajaklah mereka untuk mengucapkan syahadatain. Jikalau ternyata mereka taat kepadamu, maka berilah mereka pengertian bahwa Allah mewajibkan shalat fardhu lima kali sehari semalam. Dan jikalau mereka ternyata taat kepadamu untuk mengerjakan semua itu, maka berilah pengertian pula bahwa Allah mewajibkan zakat terhadap orang-orang kaya, selanjutnya didistribusikan kembali pada kaum mereka yang papa. Dan jika mereka telah mengerjakannya, maka hati-hatilah terhadap harta yang menjadi hak milik mereka. Hati-hati pula, wahai Mu’adz, jangan sampai dirimu tertimpa do’a orang yang teraniaya, sebab tidak ada lagi suatu penghalang antara do’a itu dan antara Allah.( Muttafaq ‘Alaih ).




■■■

Sang Hujjatul Islam

Pada abad pertengahan begitu hebat pertentangan dunia Islam antara Timur (Baghdad) dan Barat (Andalusia) yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd, dimana filsafat barat selalu dimentahkan oleh dunia timur yang dipelopori oleh Al-Ghazali. Maka muncullah buku Imam Ghazali yang berjudul Tahafutul Falasifah.
Namun buku ini pun diserang habis oleh Ibnu Rusyd dengan bukunya Tahafutut Tahafutil Falasifah (kebatilan buku Tahafutul Falasifah). Dimana Imam Ghazali harus bekerja keras untuk mengcounter serangan balik itu hingga terjadi polemik yang berkepanjangan. Namun karena hujjah-hujjah Imam Ghazali begitu akurat maka serangan barat itu menjadi lumpuh.
Dari imbas pertentangan itu, buku Ihya’ Ulumid Din yang terkenal itu juga menjadi sasaran, hingga seorang ulama besar dari Maroko begitu membencinya, dia bernama Abu Hasan Ali bin Hirzihim, seorang ulama yang berlidah api, ucapannya selalu ditaati publik.
Pada suatu hari dia tidak bisa menahan geramnya lagi, maka semua ulama yuniornya diseru untuk mengumpulkan seluruh naskah buku Ihya’ yang ada untuk segera dibakar di depan Masjid Agung setelah diselenggarakan shalat jum’at. Namun belum sempat maksud itu terlaksana, dimalam hari dia bermimpi memasuki sebuah masjid, dan tiba-tiba saja bertemu dengan Rasulullah Saw. yang diiringi oleh Abu Bakar dan Umar Ibn Khathab Ra. sedangkan di depan mereka, Imam Ghazali berdiri begitu hormat. Ketika itulah Imam Ghazali mengatakan:
“Ya Rasulullah! inilah orang yang namanya Ibnu Hirzihim, dia itu musuh beratku, dia pula yang memusuhi buku Ihya’ ku. Sekarang begini saja, jika saja buku Ihya’ itu mengandung banyak penyelewengan sebagaimana prediksi Ibnu Hirzihim, aku sekarang bertaubat kepada Allah. Namun jika penuh siraman dari barakah Baginda atau ajarannya sesuai dengan sunnah-sunnah Baginda, sekarang juga aku mohon baginda menghukum dia. Kemudian Imam Ghazali memberikan buku Ihya’ itu kepada Rasulullah Saw dan dibukanya lembar perlembar, lantas bersabda:
“Demi Allah, buku ini betul-betul bagus.”
Lantas Rasulullah memberikannya kepada Abu Bakar. Ia juga meneliti seluruh isinya lalu mengatakan:
“Demi Dia Yang telah mengutus engkau dengan penuh kebenaran, buku ini sungguh bagus sekali.”
Abu Bakar pun memberikannya kepada Umar Ibnu Khathab Ra. dan memuji sebagaimana tindakan Abu Bakar. Setelah itu Rasulullah menyuruh Ibnu Hirzihim bertelanjang dada untuk dicambuk sebagaimana mereka yang berbuat dusta. Maka dalam mimpi itu dideralah dia sampai lima kali cambukan cemethi. Ketika melihat kejadian tragis ini, Abu Bakar segera menghentikan cambukan itu untuk memberi pembelaan Ibnu Hirzihim dengan mengatakan:
“Ya Rasulullah, mungkin Ibnu Hirzihim hanya salah persepsi saja, hingga beranggapan bahwa buku Ihya’ itu menyalahi sunnah-sunnah baginda.”
Demi melihat pembelaan Abu Bakar ini, Imam Ghazali lantas memaafkan kesalahan Ibnu Hirzihim dan menerima argumentasi Abu Bakar.
Maka terbangunlah dia dari tidur malang itu dengan penuh kegalauan. Anehnya seluruh badannya terasa sakit sekali bekas terkena cambukan dalam mimpi itu, dan malah ada bekas-bekas guratan yang bila diraba akan terasa sakit sekali.
Dengan segera saja dia bangkit untuk memberi tahu seluruh pengikutnya mengenai peristiwa ini. Dan dia sendiri segera bertaubat kepada Allah, terutama mengenai kebenciannya terhadap Imam Ghazali, namun rasa sakit bekas cambukan itu masih berlangsung begitu lama. Akhirnya dia selalu memohon kepada Allah dan berusaha mendapat syafaat Rasulullah Saw. Hingga pada suatu malam dia bermimpi lagi melihat Rasulullah memasuki rumahnya dan mengusap punggungnya yang terkena cambukan itu. Seketika itu barulah dia sembuh dengan seizin Allah. Dan setelah mengalami peristiwa itu, dia berjanji untuk selalu mentelaah dan mengkaji buku Ihya’ hingga menjadi aktivitas yang paling utama dalam sisa umurnya.
Dari semangatnya yang membara ini, Allah akhirnya membuka pintu hati dengan makrifat yang begitu tinggi hingga dia diperhitungkan sebagai ulama besar dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu yang lain.
Pada permulaannya, Imam Ghazali hanyalah sebagai ulama biasa, kiai tingkat kampung dengan sebuah masjidnya yang reot dimakan usia. Ia pula yang selalu memimpin shalat berjama’ah lima waktu beserta masyarakat dan para santrinya. Aneh, kakaknya yang bernama Ahmad, sekali pun tidak pernah ikut berjama’ah, dia merasa acuh dengan adiknya itu hingga Imam Ghazali merasa jengkel disepelekan begitu rupa.
Sempat pula Imam Ghazali mengadukan kepada ibunya agar menasihati kakaknya untuk rajin berjama’ah demi menjaga hati masyarakat kaumnya agar tidak berprasangkan bahwa keluarga Al-Ghazali dilanda keretakan atau kesenjangan. Dan setelah dinasihati sang ibu baik-baik, dia terpaksa juga ikut berjama’ah, namun ketika itulah dia melihat Al-Ghazali yang bertindak sebagai imam itu penuh cipratan darah. Segera saja dia memisahkan diri (mufaraqah) sampai pada akhirnya.
Betapa hati Imam Ghazali semakin tidak mengerti, mengapa sang kakak betul-betul tidak mau berjama’ah dengannya. Dengan hati yang masih panas dia tanya sang kakak pembandel itu :
“Mengapa kanda begitu acuh terhadap kepemimpinan dinda?.”
Tanpa diduga dia mengatakan:
“Bagaimana aku harus berjama’ah dengan seorang imam yang berlumuran darah!.”
Terpernjat Imam Ghazali mendengar jawaban ini, sebab ketika berjama’ah itu pikirannya kalut dengan permasalahan menstruasi yang dialami oleh seorang wanita asuhannya.
Keadaan menjadi terbalik, Imam Ghazali menyadari kelemahannya dan kakaknya ternyata bukan orang sembarangan. Maka dengan hormatnya dia bertanya pada sang kakak:
“Wahai kanda!, dari mana kanda mendapat ilmu setinggi itu?.”
“Oh adikku, itu dari belajarku dari seorang guru yang pekerjaan sehari-harinya mereparasi sepatu.” begitu jawab sang kakak.
“Kalau begitu tolonglah kanda kiranya sudi menunjukkan pada sang guru yang penuh berkah itu!,” pinta Al-Ghazali.
Dengan hati yang mukhlis, kakaknya pun mengantarkan Al-Ghazali pada gurunya itu. Dan setelah dipertemukan, Al-Ghazali pun menyatakan maksudnya, yaitu ingin menimba ilmu yang diridhai Allah, namun sang guru balik mengatakan:
“Pikirkanlah baik-baik, jangan-jangan saudara nanti tidak mampu melaksanakan apa yang menjadi maksudku!.”
“Insya Allah, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu mengikuti apapun yang menjadi kehendak tuan guru.” jawab Al-Ghazali.
“Maaf, kebetulan anak-anak dan isteriku tidak hadir di sini hingga halaman tempat kerjaku ini begitu kotor. Sebelum ilmu yang kumiliki itu kuajarkan padamu, maaf, sekali lagi maaf, tolonglah kau bersihkan dulu halaman ini agar sedap dipandang mata,” begitu kata sang guru.
Maka Imam Ghazali segera mencari sapu, namun sampai beberapa saat tidak ditemukan pula, cangkul pun tidak tersedia, sementara sampah dihalaman tidak hanya dedaunan saja, namun malah ada beberapa onggok tahi kerbau sebesar tumpeng. Di saat itulah Imam Ghazali dengan sopannya bertanya:
“Apakah kiranya di sini ada sapu atau cangkul, wahai Tuan guru?.”
“Oh maaf, tempat jualanku ini tidak lebar, kebetulan hari ini saya tidak membawa alat-alat yang lain kecuali peralatan sepatu.
Sejenak kemudian segera saja Imam Ghazali menyingsingkan lengan bajunya dan membersihkan kotoran itu dengan kedua belah tangannya, kendati baunya menyengat, namun hatinya begitu ikhlas. Diserahkan seluruh jiwa dan raganya untuk mengabdi kepada sang guru agar ridhanya menetes dalam relung kalbu yang paling dalam.
Selesailah tugas pertama, tinggal menunggu saat-saat sang guru memberikan ilmunya. Tiba-tiba saja sang guru itu mengatakan:
“Sekarang pulanglah kau!.”
Sesingkat itu dia mengatakan hingga Imam Ghazali menyangka, boleh jadi ilmunya akan diberikan pada kesempatan yang lain. Dengan hati penuh tanda tanya, Al-Ghazali pun melangkahkan kakinya untuk pulang.
Namun ketika telah sampai di rumah, ia merasakan dalam hatinya ada sebuah pergolakan hingga menimbulkan sebuah perubahan besar, betul-betul merupakan revolusi ruhani secara total. Dimana kini dalam hatinya telah bersemayam ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan Allah dengan tanpa usaha atau belajar sebagaimana lazimnya, namun hati tiba-tiba mengerti. Itulah berkah seorang guru yang mukhlis dan diterima seorang murid yang mukhlis pula hingga buah penanya bermanfaat di dunia dan akhirat. Wal’Lahu A’lam bisshawab!.


■■■

Harapan Iblis yang Pupus

Diriwayatkan bahwa jika Allah ridha terhadap seorang hamba, maka Dia akan mengutus seorang malaikat seraya mengatakan:
“Wahai Malaikat Maut, datangkanlah hamba itu kepada-Ku. Ia akan segera aku istirahatkan dari segala penderitaannya. Cukuplah bagi-Ku mengenai segala amal kebajikannya. Ia telah Aku beri ujian, dan ternyata ia dalam keadaan sebagaimana apa yang Aku suka.”
Malaikat Maut itu lantas segera turun disertai lima ratus malaikat yang lain dengan membawa bunga-bunga yang masih bertangkai dan pokok-pokok za’faran. Setiap seorang dari para malaikat itu akan memberi kegembiraan dengan suatu ucapan yang berlainan.
Mereka lantas berbanjar untuk menyambut keluarnya ruh dari hamba tersebut dengan berbagai bunga bertangkai itu. Ketika Iblis menyaksikan pemandangan seperti ini, ia langsung menaruhkan tangannya di atas kepala (tanda susah) seraya berteriak keras. Maka para pengikutnya segera bertanya:
“Wahai penghulu kami, adakah Tuan terkena sebuah musibah?.”
“Adakah kalian tidak melihat mengenai berbagai karunia yang diberikan Allah kepada hamba ini. Kalau demikian, bagaimana usaha kalian untuk menjerumuskannya?,” begitu keluh Iblis.
“Sebenarnya kami telah berusaha sekuat tenaga, namun bagaimana lagi, ia ternyata begitu ketat penjagaannya terhadap berbagai upaya kami.”
(HR. Ibnu Abid Dunia dalam kitab Al-Maut dari Tamim Ad-Dariy)


■■■

Melihat Iblis Telanjang

Dikisahkan pula dari Ahmad bin Abil Hawari:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat seorang bidadari yang begitu cantik. Belum pernah aku melihat wanita secantik itu. Wajahnya menyinarkan berkas cahaya yang menyilaukan. Pada kesempatan itu aku bertanya kepadanya:
“Mengapa wajahmu begitu cantik bermandikan cahaya,” begitu tanyaku.
“Adakah kau ingat,” jawab si cantik, “Ketika kau menangis karena ingat dan takut kepada Allah.”
“Ya, aku ingat!,” sahut Ahmad.
“Air matamu yang membasahi lantai itu telah aku seka dengan tanganku kemudian aku usapkan ke wajahku. Itulah yang menyebabkan aku menjadi begitu cantik,” begitu jawab wanita tersebut.
Abu sa’id Al-Kharraz mengatakan:
“Aku bermimpi melihat Iblis sedang meloncat mendekati diriku. Segera saja aku mengambil sebuah tongkat untuk memukul dan mengusirnya. Namun setelah beberapa kali aku pukul, ternyata ia tidak beranjak sedikit pun dari hadapanku. Ketika itulah sebuah suara mengatakan:
`“Sesungguhnya Iblis tidaklah takut kepada sebuah tongkat, namun ia akan takut kepada nur iman yang bersemayam di hati.”
Begitu pula Al-Masuhi pernah melihat Iblis di dalam mimpi dalam keadaan telanjang bulat di sebuah jalan. Maka segera saja Al-Masuhi mengatakan:
“Adakah kau tidak malu dilihat banyak orang!.”
“Buat apa aku harus malu,” jawab Iblis, “Kepada manusia-manusia jelek. Sebab jika saja mereka termasuk manusia yang diperhitungkan, aku tidak akan berani mempermainkan mereka, baik ketika pagi atau pun sore sebagaimana anak-anak kecil bermain dengan bola. Namun manusia yang baik adalah pribadi-pribadi selain orang yang kau katakan itu. Mereka telah berhasil membuat diriku menderita.” begitu kata Iblis seraya menunjuk pada sebuah golongan ahli tasawuf.
Lagi, pada suatu hari Ayub As-Sayakhtani mendengar kabar kematian seseorang yang terkenal kedurhakaannya. Segera saja ia menyelinap dan bersembunyi di rumah. Ia tidak mau untuk melaksanakan shalat janazah, apalagi memimpinnya. Biarlah orang lain yang melaksanakan semua itu.
Maka pada malam berikutnya, kawan Ayub bermimpi melihat kondisi mayat tersebut:
“Bagaimana perlakuan Allah terhadap dirimu?,” begitu tanya kawan Ayub.
“Aku telah mendapat ampunan dan kasih sayang Allah,” jawab si mayat.
Sejenak kemudian mayat itu mengatakan lagi:
“Katakan sebuah ayat kepada Ayub,” lanjut sang mayat, “Jika saja kalian memiliki berbagai simpanan rahmat (harta) Tuhanku, kalian akan menahan saja (dari bersedekah) karena takut akan habis (Al-Isra’:100).
Ayat tersebut jelas merupakan kritikan pedas pada Ayub, sehingga setelah bangun pagi, kawan Ayub ini segera memberi kabar kepadanya mengenai perihal mimpi yang dialamainya. Maka Ayub berjanji, ia tidak akan mengulangi lagi terhadap sikap seperti itu.
Abu Ayub Ad-Daqiqi mengatakan:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat seorang lelaki yang berkulit kemerah-merahan dan cukup tinggi. Segera saja aku bertanya pada orang-orang sekitar.
“Siapa dia?.”
“Dia merupakan pribadi agung, Uwais Al-Qarani. Mau apa?”. begitu sebuah jawaban aku dengar.
Segera saja aku mendekati Uwais seraya aku katakan:
“Tuan, berilah nasihat diriku, dimana aku akan mengambil manfaat darinya!.” pintaku.
Namun dengan segera wajahnya tampak masam ketika menghadapi diriku. Aku tidak patah arang. Dan segera aku katakan lagi:
“Tuan, aku memohon petunjuk kepadamu agar mendapat sebuah manfaat.” begitu desakku lagi.
“Segeralah kau mendulang berbagai rahmat Allah jika saja ketika itu Dia tampak mencintaimu. Takutlah kepada Allah ketika kau berbuat maksiat. Dan jangan sekali-kali kau berputus asa terhadap rahmat-Nya kendati kau telah berlaku durhaka.” begitu nasihat yang aku dapat. Kemudian ia pun beranjak pergi meneruskan perjalanannya.
Seorang sahabat Atabah Al-Ghulam mengatakan:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat Atabah. Maka segera saja aku tanyakan:
“Bagaimana tindakan Allah terhadap dirimu?”.
“Aku telah mendapat ampunan dan dimasukkan ke surga-Nya tersebab sebuah do’a yang tertulis di tembok rumahmu itu.”
“Setelah aku bangun,” kata sahabat Atabah, “Maka segera saja aku lihat, apa yang tertulis di tembokku itu. Padahal selama ini aku tidak begitu memperhatikan. Dan ternyata memang tertulis dengan jelas sebuah do’a:
“Wahai Yang menunjukkan mereka yang tersesat. Wahai Yang berbelas kasih kepada orang durhaka. Wahai pemberi ampun mereka yang bersalah, berilah ampunan hamba-Mu yang sangat takut kepada-Mu, begitu pula kesalahan ummat Islam keseluruhannya. Jadikanlah kami termasuk golongan mereka yang hidup dengan mendapat rizki-Mu, yakni mereka yang telah Engkau beri nikmat, baik itu dari golongan nabi, shiddiqin atau para syuhada’ dan orang-orang shalih. Amin, perkenankanlah do’a kami, wahai Tuhan seru sekalian alam.”
Musa bin Hammad mengatakan:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat Syeikh Sufyan Ats-Tsauri telah berada dalam surga. Ia meloncat dari satu pohon kurma yang begitu indah kepada pohon kurma yang lain, bahkan dari satu pohon ke pohon yang lain layaknya seekor burung. Maka segera saja aku bertanya kepadanya:
“Wahai Abu Abdillah, dengan amal apa engkau bisa menggapai martabat setinggi ini?.”
“Itu semua tersebab wara’(menjauhi haram, makruh dan syubhat).” begitu jawab beliau.
“Kalau demikian, dimana Ali bin Ashim sekarang ini?,” tanyaku lebih lanjut.
“Dia merupakan pribadi yang begitu agung sehingga sekarang dia tampak bagaikan sebuah bintang kejora yang berkedip-kedip, sangat tinggi,” begitu jawab Syeikh Sufyan.

■■■

Mimpi-mimpi Orang Shalih

Rasulullah Saw telah mengatakan:
Mimpi baik itu termasuk satu bagian dari empat puluh enam kenabian.
Bersabda pula:
Barang siapa bermimpi melihatku maka ia betul-betul telah melihatku, sebab syetan tidaklah akan bisa untuk menerupai diriku. (Muttafaq Alaih).
Pada suatu malam, Umar bin Khathab bermimpi melihat Rasulullah Saw, namun ketika itu beliau tidak mempedulikan kepada Umar, tidak pula mau menghadap kepadanya. Kondisi yang demikian ini betul-betul menjadikan kegusaran hati Umar Ra.
“Maka segera saja aku menanyakan penyebab semua itu,” begitu kata Umar.
“Wahai Rasulullah, apa kesalahanku,” tanya Umar lebih lanjut.
Rasulullah segera menghadap dan mengatakan:
“Bukankah kau telah mencium isterimu ketika berpuasa!,” begitu sergah Rasulullah dengan sinis.
Setelah peristiwa itu, Umar mengatakan:
“Demi Allah, yang diri Umar berada di tangan-Nya, aku selamanya tidak akan mencium lagi terhadap isteriku ketika sedang berpuasa.”
Begitu pun Abbas bin Abdul Muthalib mengatakan:
“Aku telah mengikat tali persaudaraan dengan Abu Lahab sehingga bagaikan saudara yang begitu dekat. Namun setelah ia meninggal dunia, Allah mengabarkan kondisi dirinya yang selalu mendapat siksa (melalui surah Al-Lahab), hal ini telah membuat hatiku begitu susah. Segera saja aku memohon kepada Allah untuk diperlihatkan kepadanya di dalam mimpi.
Permohonan ini aku panjatkan sampai setahun. Maka pada suatu malam aku melihatnya dalam keadaan terbakar api yang menjilat-jilat. Ketika itulah aku bertanya mengenai keadaannya.
“Aku telah memasuki neraka,” jawab Abu Lahab, “Dan mendapat siksaan begitu berat. Adzab itu tidak pernah berhenti terkecuali pada hari Senin, sehari semalam penuh.”
“Mengapa demikian,” tanya Abbas.
“Tiada lain karena jasaku, yakni pada malam ketika Muhammad dilahirkan, maka Umaimah, seorang anak perempuanku memberi kabar mengenai kelahirannya. Kabar ini betul-betul membuat hatiku berbahagia sehingga seketika itu pula seorang sahaya perempuanku aku merdekakan. Inilah yang menjadi penyebab dihentikannya siksaan pada setiap Senin sehari semalam penuh,” begitu jawab Abu Lahab dalam mimpi.
Dikisahkan lagi oleh Umar bin Abdul aziz:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat Rasulullah Saw. Sedangkan Abu Bakar dan Umar ketika itu duduk di samping beliau. Segera saja aku mengucapkan salam pada beliau lantas mengambil tempat duduk di samping beliau pula. Sejenak kemudian Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah pun datang. Keduanya segera dimasukkan ke sebuah rumah oleh beliau. Namun daun pintunya tampak terbuka sehingga dengan jelas aku dapat melihat aktivitas mereka.
Anehnya tiba-tiba Ali dengan gembira keluar dari rumah itu seraya mengatakan:
“Demi Tuhan Ka’bah, Dia telah memberi keputusan yang berpihak kepadaku.”
Herannya, Mu’awiyah juga segera keluar dengan gembira dan bergegas mengikuti langkah Ali seraya mengatakan:
“Demi Tuhan Ka’bah, Dia telah memberi ampunan kepadaku.”
Mengherankan!.
Lagi, pada suatu malam Ibnu Abbas tiba-tiba terjaga dengan terkejut seraya membaca istirja’ seraya mengatakan bahwa Husein bin Ali terbunuh. Padahal ketika itu Husein masih segar bugar dan tidak terdapat indikasi nyawanya akan terancam. Hal inilah yang membuat para sahabat Ibnu Abbas mengingkari impiannya itu. Maka dengan tegas Ibnu Abbas mengatakan:
“Aku telah melihat Rasulullah dalam mimpi membawa sebuah bejana dari kaca yang penuh dengan darah. Ketika itu beliu mengatakan kepadaku:
“Wahai Ibnu Abbas, adakah kau belum mengerti terhadap perbuatan ummatku setelah aku wafat. Mereka telah membunuh cucuku, Husein. Dalam bejana ini adalah darahnya, ditambah darah para pengiringnya, saya akan mengadukan kepada Allah!.” begitu kata Rasulullah.
Ternyata setelah dua puluh empat hari kemudian, mimpi itu menjadi kenyataan, dimana hari terbunuhnya adalah persis sebagaimana hari mimpi ibnu Abbas itu berlangsung.
Dikisahkan pula oleh Manshur bin Ismail:
“Pada suatu malam aku bermimpi melihat Abdullah bin Bazzar. Maka pada kesempatan itu aku bertanya:
“Bagaimana tindakan Allah kepadamu, wahai Abdullah?.”
“Dia telah menyuruhku berdiri di hadapan-Nya, kemudian aku diberi ampunan mengenai berbagai dosa yang aku ikrarkan, terkecuali satu dosa saja, dimana aku sangat malu untuk berikrar dan mengaku di hadapan-Nya. Setelah aku berkelit itulah, Dia langsung menghukumku dengan berdiri di tempat yang panas sehingga seluruh daging di wajahku luruh semuanya,” begitu tutur Abdullah.
“Apa dosa yang satu itu?,” tanya Manshur kemudian.
“Aku pernah melihat,” jawab Abdullah, “Seorang pemuda yang begitu tampan (amrad), dimana aku sangat tertarik kepadanya. Hal ini yang menjadikan malu diriku ketika telah berada di hadapan Allah.”
Abu Ja’far Ash-Shaidalani mengatakan:
“Pada suatu malam aku melihat Rasulullah Saw dalam mimpi. Ketika itu beliau berada di sekeliling para fuqara’ shahabatnya. Namun tiba-tiba saja ketika itu langit tampak terkuak, kemudian terlihat dua malaikat yang turun, kemudian salah satunya membawa sebuah bejana, dan yang lain membawa kendi.
Setelah sampai di bumi, bejana itu ditaruhkan di hadapan Rasulullah Saw. Dan dengan segera beliau membasuh kedua belah tangan beliau sendiri. Lantas menyuruh agar para shahabat membasuh tangannya masing-masing. Baru kemudian bejana itu ditaruhkan di hadapanku. Tiba-tiba saja salah satu dari kedua malaikat itu mengatakan:
“Jangan kau tuangkan air bejana itu untuk membasuh tangan Abu Ja’far, sebab dia tidaklah termasuk golongan mereka.”
Hal ini yang membuat diriku terkejut alang kepalang. Maka segera saja aku mengatakan:
“Wahai Rasulullah, bukankah pada suatu hadits telah diriwayatkan bahwa engkau telah mengatakan:
“Seseorang (nanti di hari kiamat) akan dikumpulkan beserta mereka yang dicintainya.”
“Memang benar itu!,” begitu jawab Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, aku mencintaimu dan mencintai para fuqara’ shahabatmu itu, ”begitu kalimat itu aku ucapkan dengan memelas.
“Kalau begitu tuangkanlah air bejana itu ke tangannya, wahai malaikat. Sebab dia termasuk mereka!,” begitu sambung Rasulullah.


■■■

Menambah Bobot kebajikan

Ayub As-Sakhtayani mengatakan bahwa memurnikan niat dengan ikhlas, bagi seorang yang beramal adalah lebih berat dari pada mengerjakan amal itu sendiri. Malah sebagian auliya’ berkirim surat kepada kawannya dengan mengatakan:“Ikhlaskan niat dalam menghadapi berbagai amal, dengan demikian amal sedikit saja akan bisa mencukupi dirimu.”
Sehubungan dengan keterangan itu, seorang ahli tasawuf mengatakan:
“Sejak tiga puluh tahun yang lalu aku selalu shalat dengan berjamaah di sebuah masjid. Selama itu pula aku mesti menempati shaf paling depan. Namun pada suatu kali aku datang agak terlambat sehingga aku harus menempati shaf yang kedua.
Kondisi seperti ini yang membuat nafsuku merasa malu dilihat orang. Tumben tidak seperti biasanya. Dengan demikian yang menjadikan nafsuku selalu ceria, ternyata sebuah amal yang selalu dilihat orang itu. Setelah aku menyadari semuanya, segera saja nafsuku aku beri pelajaran sehingga kembali tegak untuk beramal karena Allah.”
Sebagian ulama yang telah mati terlihat dalam mimpi, maka seorang muridnya mengatakan:
“Bagaimana kondisi berbagai amal kebajikan yang telah Tuan lakukan ketika hidup?,” begitu tanya sang murid.
“Seluruh amal yang aku lakukan dengan ikhlas karena Allah, semuanya aku temukan pahalanya sehingga mengenai biji delima yang pernah aku pungut dari jalan, begitu pula mengenai seekor kucingku yang mati. Semua itu dalam timbangan amal kebajikan.
Sebaliknya ketika dalam kopyahku terselip benang sutera, aku temukan pula dalam timbangan amal buruk. Herannya seekor keledaiku yang telah mati, padahal aku beli dengan harga seratus dinar, binatang itu tidak tampak mengandung pahala. Hal ini yang menjadikan aku tidak habis pikir, kucing saja dimasukkan amal kebajikan, mengapa keledai yang cukup mahal itu tidak tertuliskan pahalanya sama sekali?.” Dalam keadaan menggerutu itulah aku mendengar sebuah suara:
“Sebenarnya keledaimu itu telah ditempatkan secara benar, sebab ketika hewan itu mati bertepatan kau tidak berada di tempat, maka seseorang memberi kabar kepadamu mengenai kematiannya. Namun yang kau ucapkan malah kalimat yang tidak baik. “Semoga mendapat laknat Allah”, itu yang keluar dari lisanmu dulu. Padahal jika saja kau mengucapkan, “Aku jadikan ke jalan Allah,” tentulah akan mendapat pahala.
Itulah renik-renik posisi sebuah niat yang bersemayam dalam hati, sehingga akan membawa implikasi besar, baik mengenai keberadaan pahala atau siksa.

■■■

Bertemu Nabi Khadhir

Dikisahkan pula dari sebagian ulama Arifin bahwa:
“Pada suatu ketika aku sangat mengharapkan untuk bisa bertemu dengan Nabi Khadhir. Hal ini yang menjadikan hatiku seakan memendam kerinduan yang tiada tara sehingga aku panjatkan do’a kepada Allah agar aku dipertemukannya.
Tiada lain aku bermaksud agar beliau memberi pelajaran kepadaku terhadap suatu masalah yang selama ini betul-betul menjadi ganjalan hatiku. Terbukti beberapa waktu kemudian aku bisa berjumpa dengan beliau. Ketika itu tidak ada maksud apa pun terkecuali ucapanku:
“Wahai Abul Abbas, berilah aku pelajaran, dimana jika aku ucapkan maka diriku segera tidak akan dikenal masyarakat lagi, apalagi mengenal kebajikanku atau tegakku dalam melaksanakan perintah agama”. begitu pintaku.
“Katakan sebuah do’a,” kata Nabi Khadhir, “Julurkanlah tirai-Mu kepadaku, tutupkan pula hijab-Mu pada diriku. Jadikanlah aku dalam simpanan alam ghaib-Mu serta sekatlah daku dari seluruh hati para makhluk-Mu”. begitu do’a yang diajarkan kepadaku.
“Setelah itu beliau menghilang dan tidak tampak lagi, sedangkan kegundahan hatiku juga berangsur sirna. Namun do’a yang diajarkan itu setiap hari aku baca berulang-ulang”. begitu kata ulama ‘arifin tersebut.
“Selang beberapa waktu,”kata seorang murid ulama itu, “kondisi sang guru itu betul-betul dihinakan oleh masyarakat, bahkan orang-orang kafir dzimmi berani pula menghinakannya begitu rupa. Seringkali anak-anak meledek dan mengikuti dari belakang dengan membawa berbagai benda untuk mengganggu. Ia sudah dianggap tidak waras lagi. Namun memang apa yang dicari sang guru tiada lain agar hatinya bisa tenang, nafsunya tidak bergejolak dan jiwanya tidak pongah, kendati fisiknya harus mengalami kehinaan dan dihinakan orang. Demikianlah kebanyakan para auliya’ Allah itu dalam menyikapi karakusan nafsunya.


■■■

Para Auliya’ Allah

Sebuah keceriaan (uns) bersama Allah itu jika saja bisa kekal dan kuat intensitasnya, dalam arti tidak bercampur lagi dengan kebingungan atau masih disisipi rasa takut dan terhalang, maka sikap seperti itu akan bisa membuahkan reaksi yang positif dengan penuh kegembiraan yang berpengaruh pada ucapan dan perbuatan atau pada bisikan ketika berdo’a.
Namun kadang juga menimbulkan reaksi yang tampak negatif sehingga bisa dipandang sebagai perbuatan ‘kurang ajar’atau tidak takut lagi kepada Allah. Pada biasanya sikap yang demikian itu dibiarkan saja oleh Allah ketika seseorang telah dirasa mencapai martabat yang sedemikian itu. Sebaliknya bagi figur yang tidak dizinkan menempati martabat seperti itu, sikap tersebut kadang malah bisa menyeret pada kekafiran, tidak jarang pula bisa mencelakakan dirinya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari beberapa rumah papan yang berada di Bashrah habis dilanda kebakaran, namun herannya ada satu rumah yang yang terletak di tengah-tengah terlihat masih utuh, sedikit pun tidak terjilat api. Abu Musa yang ketika itu menjadi Gubernur diberi tahu mengenai musibah mengenaskan ini. Segera saja ia memanggil orang yang telah tua pemilik rumah yang selamat itu.
“Mengapa hanya rumahmu yang bisa selamat?,” begitu tanya Abu Musa dengan heran.
“Aku telah bersumpah kepada Allah, hendaknya rumah ini jangan sampai terbakar,”begitu jawab orang tua tersebut.
Maka Abu Musa segera mengatakan:“Saya pernah mendengar Rasulullah Saw mengatakan bahwa pada ummatku akan ada suatu kaum yang rambutnmya tampak kusut, pakaiannya pun dekil, namun jika saja bersumpah kepada Allah, Dia akan segera memperkenakannya.” (HR. Ibnu Abid Dunia dalam kitab Auliya’).
Pernah pula pada suatu hari Abu Hafsh ketika berjalan bertemu seorang penduduk desa yang kebingungan.
“Mengapa kau tampak kebingungan,” begitu sapa Abu Hafsh.
“Aku sedang kehilangan keledai satu-satunya, padahal aku tidak punya harta apa pun selain binatang itu,” sahut orang desa tersebut.
Segera saja Abu Hafsh menghentikan langkah kemudian memanjatkan do’a:
“Ya Allah, demi kemulian-Mu, kakiku tidak akan aku langkahkan sebelum Engkau kembalikan keledai orang ini.”
Seketika itu pula keledai tersebut tampak dari kejauhan, kemudian dihela oleh pemiliknya. Dan dengan langkah biasa, Abu Hafsh pun meneruskan perjalanannya.
Begitu pula ketika Bani Israel dilanda kemarau dalam jangka tujuh tahun, maka mereka berbondong-bomdong kepada Nabi Musa agar sudi memohonkan hujan. Maka keluarlah beliau bersama kaumnya menuju sebuah tempat lapang untuk memanjatkan do’a yang dimaksud. Namun ketika di perjalanan, beliau mendapatkan wahyu:
“Bagaimana Aku akan memperkenankan do’a kalian yang bergelimang dengan berbagai dosa sehingga hati kalian begitu gelap. Kalian berdo’a dengan tanpa sebuah keyakinan, malah sikap kalian seakan tidak takut lagi dengan berbagai siksa-Ku. Untuk itu kembalilah kalian. Carilah seorang hamba yang bernama Barkhu. Suruhlah ia keluar untuk memohon hujan, Aku akan segera memperkenankannya!,” begitu bunyi wahyu
Nabi Musa As. segera menyebar informasi untuk menemukan orang tersebut, namun sampai beberapa lama belum ditemukan juga. Dan pada suatu hari ketika Nabi Musa sedang berjalan, beliau tiba-tiba saja bertemu dengan orang hitam yang keningnya masih berdebu bekas melakukan sujud. Ia memakai kain yang diikatkan begitu saja di lehernya. Nabi Musa langsung bisa mengenalinya dengan bantuan bisikan Allah. Lantas beliau mengucapkan salam.
“Siapa nama Anda?,” begitu Nabi Musa membuka sebuah dialog.
“Namaku sangat singkat, Barkhu,” sahut orang hitam itu.
“Anda telah beberapa lama aku cari untuk memohonkan hujan Bani Israel yang selama ini kekeringan. Untuk itu kau segera aku minta memanjatkan do’a sekarang juga,” begitu pinta Nabi Musa.
Segera saja Barkhu menjauh dari Nabi Musa, kemudian menengadahkan kedua belah tangannya seraya mengucapkan:
“Ya Allah, ketiadaan hujan ini tidaklah pantas jika dibangsakan kepada perbuatan-Mu, tidak pula pantas jika disebutkan sebagai kemurahan-Mu. Adakah mata air-Mu telah kering, atau kini angin selalu membangkang memperturutkan perintah-Mu. Atau apakah memang telah habis simpanan rizki yang berada di samping-Mu, atau sekarang ini murka-Mu telah begitu memuncak terhadap mereka yang selalu berbuat durhaka. Bukankah Engkau begitu Pemberi ampun sebelum Engkau menciptakan mereka yang berlaku salah itu. Engkau telah menciptakan rahmat dan belas kasih, dan Engkau sendiri telah memerintahkan untuk selalu bersikap belas kasih. Atau Engkau memang sengaja memperllihatkan kepada kami mengenai keengganan-Mu itu. Atau Engkau sendiri yang takut jika saja kehilangan belas kasih sehingga segera mengirimkan siksaan!?.”
Sejenak kemudian awan segera beriringan dan kilat bersahutan kemudian turun hujan begitu lebatnya sehingga Bani Israel basah kuyup karenanya. Seketika itu juga Allah menumbuhkan rerumputan begitu lebat sehingga mencapai lutut.
Setelah mengetahui keberhasilan permohonannya ini, Barkhu segera beranjak untuk menemui Nabi Musa.
“Bagaimana do’a yang aku panjatkan tadi, wahai Nabi Musa?. Dimana ketika itu aku memberanikan diri untuk mengungkit-ungkit Allah dan mencerca-Nya.” begitu kata Barkhu kepada Nabi Musa.
Mendengar perkataan Barkhu yang tampak kurang ajar ini, hampir-hampir saja Nabi Musa meninju mukanya. Namun segera saja beliau menerima wahyu.
“Biarkanlah Barkhu, wahai Musa. Ia setiap hari memang sering membuat Aku tertawa sampai tiga kali.”
Sikap-sikap aneh tersebut pada biasanya hanyalah dimiliki mereka yang memang telah dekat dengan Allah sehingga hatinya selalu diliputi rasa uns (bahagia), namun orang lain tidak akan etis juga tidak akan mampu menirunya. Malah menurut Al-Junaidi, kadang mereka itu ketika menyepi mengeluarkan berbagai kalimat yang akan bisa dituduh kafir menurut ukuran orang awam.


■■■

Do’a Abdullah Bin Jahsy

Telah maklum bahwa perang Uhud (tahun ke tiga Hijriah) merupakan upaya balas dendam kafir Quraisy yang terkalahkan ketika di medan Badar. Ketika itu prajurit Rasulullah berjumlah seribu melawan tiga ribu tentara Quraisy yang tertata rapi.
Dikisahkan oleh Ishaq bin Sa’ad bin Abi Waqash bahwa menjelang perang Uhud terjadi, seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Jahsy mengatakan kepada ayah Ishaq, yakni Sa’ad bin Abi Waqash:
“Wahai Sa’ad, mari kita berdo’a kepada Allah agar kita dapat menggapai syahid di medan ini!,” begitu ajak Abdullah.
Maka keduanya lantas mencari tempat yang agak sunyi, kemudian Abdullah berdo’a dengan sangat khusyu’.
“Wahai Tuhanku, aku bersumpah dengan asma-Mu, jika saja aku besuk bertemu dengan musuh, maka hadapkanlah kepadaku orang yang begitu kekar, sigap dalam menyerang dan tangkas dalam bergerak. Aku akan segera menyerbunya dengan niat yang ikhlas karena-Mu, kendati hidungku harus terpotong atau telingaku harus terpangkas bahkan kendati perutku harus terburai. Hal ini aku maksudkan jika saja Engkau nanti di altar kiamat memanggilku seraya menanyakan:
“Wahai Abdullah, siapa yang memotong hidung dan telingamu serta yang membuat perutmu terburai?”.
“Maka akan segera aku jawab:“Wahai Tuhan, itu semua demi membela agama-Mu.”
Dengan jawaban seperti itu,” kata Abdullah, “Harapanku akan segera mendapat jawaban dari-Mu:
“Benar, memang betul kau berbuat demikian itu hanya ikhlas karena Aku dan demi membela Rasul-Ku.”
“Selanjutnya aku,” sambung Abdullah lagi, “Akan mendapat kebahagiaan yang abadi selamanya.”
Dan ketika perang telah berkecamuk sampai menjelang matahari tenggelam, sepasang telinga dan daging hidung tampak tersangkut di sebuah tali sebagai pertanda do’a mukhlis yang diperkenankan Allah.
Ats-Tsauri dan Bisyr Al-Hafi mengatakan:“Membenci kematian merupakan tanda bahwa hati seseorang masih terhinggapi keraguan terhadap akhirat. Sebab seorang kekasih, dalam kondisi bagaimana pun tidak akan menghindar bertemu dengan Dia Yang dikasihinya.”


■■■

Kesendirian Seorang Rahib

Dikisahkan oleh Abdul Wahid bin Zaid bahwa pada suatu hari ia menjumpai seorang Rahib yang bertepatan berada di sebuah gereja. Pada kesempatan itulah ia mengutarakan berbagai pertanyaan:
“Wahai Rahib, mengapa tuan lebih suka menyendiri?.”
“Jika saja kau telah merasakan kenikmatan dalam menyendiri, dirimu malah akan berkeluh kesah ketika tidak dapat mengalaminya. Kesendirian merupakan modal utama untuk beribadah kepada Allah,” jawab Rahib dengan begitu sopan.
“Apa saja yang bisa Tuan peroleh dalam kesendirian itu?,” tanya Abdul Wahid lebih lanjut.
“Minimal aku bisa beristirahat dari pengaruh buruk orang lain, dan terjauh dari sikap dibuat-buat agar tampak baik, juga terlepas dari kekhawatiran menyinggung perasaan mereka ketika berbicara dan mereka tidak akan bisa lagi menyakiti hatiku.” begitu tukas Rahib.
“Wahai Rahib, bilakah seseorang akan bisa merasakan kelezatan bersama Allah SWT.?” tanya Abdul Wahid lagi.
“Seseorang akan bisa merasakan itu ketika cintanya kepada Allah betul-betul telah bersih dari hal lain yang akan mengeruhkannya, dan ditunjang dengan berbagai ibadah yang ikhlas karena Dia saja,”sahut rahib lagi.
“Kapan sebuah hati bisa menjadi bersih seperti yang Tuan maksudkan itu, padahal martabat seperti itu akan sangat sulit untuk dicapai?,” tanya Abdul Wahid lebih lanjut.
“Jika saja berbagai kemauan bisa terkumpulkan menjadi satu sehingga mengerucut menjadi satu kemauan saja, yakni kemauan untuk membaktikan diri kepada-Nya, itu saja,” begitu jawab rahib terakhir.
Abdul Wahid pun tampak puas, kemudian berpamitan untuk meneruskan perjalanannya.


■■■

Ilham Kepada Seorang Shiddiqin

Pada suatu hari seorang Shiddiqin mendapatkan ilham dari Allah SWT yang mengatakan:
“Sebenarnya Aku memiliki hamba-hamba pilihan yang selalu menyintai-Ku, Aku pun menyintai mereka. Mereka juga selalu merindukan Aku, demikian pula Aku juga merindukan mereka. Mereka selalu ingat kepada-Ku, dan Aku juga selalu ingat kepada mereka. Juga selalu memandang Aku, dan Aku pun selalu memandang mereka. Dengan demikian jika saja kalian menapak jalan mereka, maka Aku akan segera menyintai kalian. Namun jika saja kalian beralih dari jalan yang mereka telusuri, Aku akan memurkai kalian”.
“Wahai Tuhanku, bagaimana tanda-tanda dan ciri-ciri mereka, aku akan segera menyusul mereka?.” begitu tanya shiddiqin tadi.
“Mereka selalu meneliti bayang-bayang matahari di siang hari (untuk mengetahui waktu shalat) sebagaimana seorang penggembala yang selalu memperhatikan kawanan dombanya.
Mereka akan segera kembali menghadap-Ku ketika matahari telah tenggelam sebagaimana burung-burung kembali ke sarang mereka. Dan ketika malam telah gelap, dimana selimut telah ditutupkan, dan di saat sepasang kekasih telah beradu di tempat tidurnya, para shiddiqin itu malah mamancangkan telapak kakinya dan menghamparkan wajahnya menghadap Aku.
Banyak pula dari mereka yang berbisik dengan kalam-Ku. Mereka juga selalu bergelayut dengan berbagai kenikmatan-Ku (spiritual). Maka dari mereka banyak yang menjerit histeris, banyak pula yang menangis dan mengaduh mengadukan segala keluh kesahnya kepada-Ku.
Ada pula yang berdiri, yang duduk, yang ruku’ dan yang sujud. Kalau sikap mereka itu sudah mencapai titik klimaks, maka Aku segera memberi mereka minimal tiga kenikmatan. Pertama, Aku sirami hati mereka dengan nur-Ku sehingga mereka bisa memberi kabar mengenai apa pun yang telah Aku beritakan kepada mereka. Kedua, jika saja seluruh langit dan bumi beserta segala isinya itu berada di timbangan amal kebajikan mereka, semua itu masih Aku anggap belum seberapa. Ketiga, Aku selalu menghadap pada mereka. Dengan demikian apa saja yang menjadi kehendak mereka, seluruhnya akan Aku penuhi.


■■■

Wahyu Kepada Nabi Daud As.

Pada suatu hari Abu Darda’ mengatakan kepada Ka’ab Al-Ahbar:
“Beritakan kepadaku mengenai suatu ayat dalam Taurat yang sangat penting menurut pandanganmu, wahai Ka’ab?.”
“Allah telah mengatakan,” kata Ka’ab Al-Ahbar, “Telah lama orang-orang abrar menahan kerinduan untuk berjumpa dengan-Ku, padahal Aku sendiri sangat merindukan untuk bertemu dengan mereka.”
Di balik lembaran kitab itu pun tertulis:“Barang siapa mencari Aku, maka dia akan menemukan-Ku. Namun barang siapa mencari selain Aku, maka sekali-kali ia tidak akan bisa menemukan Aku.
Wahai Daud, sampaikan kepada penduduk bumi bahwa Aku adalah kekasih mereka yang menyintai-Ku, dan menjadi teman duduk mereka yang mendekati Aku, juga akan membahagiakan mereka yang selalu ingat kepada-Ku, dan menjadi pendamping mereka yang dekat dengan-Ku.
Aku pun akan memperturutkan mereka yang menurut terhadap kehendak-Ku. Jika saja seorang hamba menyintai-Ku kemudian memantapkan kecintaan itu dalam hatinya, niscaya akan Aku terima sepenuhnya. Ia akan Aku cintai dengan kecintaan yang tidak akan didahului oleh seorang makhluk-Ku jua.
Barang siapa mencari Aku dengan sungguh-sungguh, ia akan menemukan Aku. Dengan demikian, wahai penduduk bumi, buanglah apa pun yang menjadikan kalian tertipu, kemudian mendekatlah kepada-Ku, gapailah kemuliaan yang telah Aku sediakan, berkawanlah dengan-Ku dan mendekatlah kepada-Ku, sehingga Aku akan segera menyintai kalian.
Ketahuilah bahwa Aku telah menciptakan para kekasih-Ku itu dari bahan tanah yang telah bercampur dengan bahan milik Ibrahim Khalilullah, milik Musa Kalimullah dan milik Muhammad Shafiyyullah, kemudian Aku ciptakan pula mereka yang selalu merindukan-Ku dari nur-Ku sendiri. Dengan demikian mereka akan selalu ceria dengan keagungan-Ku.



■■■

Harimau Budiman

Abu Hamzah Al-Khurasani mengisahkan bahwa pada suatu tahun ia berkehendak untuk melaksanakan haji. Maka berangkatlah ia dari rumahnya dengan tanpa seorang teman. Sialnya ketika telah jauh dari negerinya, ia terperosok ke dalam sumur lama yang sudah tidak terpakai lagi. Segera saja hati berontak untuk segera meminta tolong, namun lagi-lagi timbul keraguan dalam hatinya, ‘kepada siapa harus minta tolong’ karena memang berada di tengah-tengah hutan yang sangat sepi.
Anehnya ketika itu segera datang dua orang yang telah siap membawa selonjor bambu dan sebilah papan untuk menutup sumur itu dengan alasan agar tidak mencelakakan orang yang melintasi kawasan tersebut. Betapa kecut hati Abu Hamzah, dimana ia tidak sempat lagi untuk berteriak. Maka kini ia hanya mengeram saja di sumur itu menunggu nasib yang akan menentukan kehidupannya. Sekarang ia hanya berharap belas kasihan Allah dan berkeyakinan bahwa Dia lebih dekat dari pada kedua lelaki tersebut.
Sejenak kemudian tiba-tiba tutup sumur itu tersingkap, kemudian ada kelebatan yang menjulurkan kakinya ke dalam sumur itu. Sepertinya bayangan itu mengatakan dengan suara yang agak samar:
“Cepat, bergelayutlah pada kakiku!.”
Segera saja Abu Hamzah bergelayut pada kaki tersebut. Dan setelah berada di luar, ternyata bayangan tersebut seekor harimau yang cukup besar. Sayup-sayup terdengar pula sebuah suara yang mengatakan:
“Wahai Abu Hamzah, kau telah Aku selamatkan dari kehancuran kendati dirimu pada akhirnya akan hancur juga.”


■■■

Mendapatkan Sahaya Hadiah

Banan merupakan pribadi yang cukup sibuk dalam mengurus aktivitas dan keperluannya sehari-hari, sehingga ia sangat membutuhkan seorang pelayan yang akan mencukupi kesibukan rumah tangganya.
Maka ia segera mencari dana ke beberapa muridnya. Dan setelah dana itu terkumpulkan, segera saja ia menyuruh murid-murid itu untuk menghadang sebuah kafilah yang biasanya mesti membawa sahaya yang akan diperjual belikan. Seminggu kemudian memang kafilah itu datang dengan membawa beberapa sahaya.
Kemudian para murid itu bersepakat menentukan pilihan terhadap seorang sahaya wanita yang akan dibeli untuk memenuhi kepentingan sang guru. Kafilah malah mengatakan:
“Memang sahaya ini akan sangat layak jika Syeikh Banan yang meiliki.”
Segera saja para murid Banan mendekati pemilik sahaya itu seraya menanyakan harganya. Namun betapa terkejutnya si pemilik mengatakan bahwa sahaya itu tidak dijual. Para murid Banan segera mendesak agar sahaya itu dijual kepadanya kendati dengan harga lebih tinggi. Namun si pemilik malah mengatakan:
“Sahaya ini tidak dijual, namun dari rumahku di Samarkand memang isteriku telah berniat untuk menghadiahkan kepada Syeikh Banan.”
Melihat peristiwa seperti ini, para hadirin betul-betul merasa takjub, namun segera saja sahaya itu dibawa ke rumah Banan Al-Hammal.
Dalam kalimat hikmah dikatakan bahwa barang siapa sibuk melayani kepentingan Allah dengan berbagai ibadah, maka Allah pun akan segera memperhatikan kepentingan kehidupannya. Dan barang siapa merasa takut dan hormat kepada Allah, maka segala sesuatu akan merasa takut dan hormat terhadapnya. Apa yang dialami Syeikh Banan tadi tidak jauh dari sinyalemen ini.


■■■
Ayah yang Durhaka


.
P
ada suatu hari seorang lelaki membawa anaknya menghadap Khalifah Umar bin Khathab. Ia mengadukan tentang sikap anaknya yang selalu berbuat durhaka kepadanya, dan selanjutnya mengharapkan berbagai nasihat untuk memperbaikinya. Namun anak itu ternyata lebih duhulu bertanya kepada sang Khalifah.
“Wahai Khalifah, apakah seorang anak mempunyai berbagai hak yang harus dipenuhi oleh seorang ayah.”begitu anak tesebut mengadu.
“Hak seorang anak,” jawab Khalifah, “Yang harus dipenuhi seorang ayah antara lain memberi nama yang bagus, baik menurut pandangan agama atau masyarakat. Yang kedua, mendidik dan mengajari mengenai perihal agamanya. Ketiga, menciptakan suasana yang kondusif mengenai hubungan segitiga antara seorang ayah dengan anak dan ibunya. Itulah yang perlu diperhatikan.”
“Wahai Amiril Mukminin, ayah saya tidak berusaha membuat kondisi yang sedemikian itu. Pertama, aku diberi nama bukan dengan nama yang baik sehingga menimbulkan kesan buruk bagi kehidupanku. Kedua, suasana rumah tangga kami tidaklah harmonis, sebab ibuku merupakan seorang yang tidak mengerti agama, namun dibiarkan saja oleh ayahku. Ketiga, aku sendiri tidak pernah diajari Al-Qur’an oleh ayahku kendati hanya sepotong huruf.” begitu sang anak mengadukan.
Setelah mendengar jawaban sang anak ini, Khalifah segera mengatakan kepada sang ayah:
“Anda datang kepadaku untuk mengadukan perihal anakmu yang durhaka itu. Namun ternyata sebelum anak itu berbuat durhaka kepadamu, Anda sendiri telah terlebih dahulu berbuat durhaka kepadanya. Anda telah berbuat jahat terhadapnya sebelum anakmu berbuat jahat terhadapmu, camkanlah!,” begitu Khalifah malah memojokkan sang ayah.
Betapa penting memperhatikan pendidikan seorang anak, mengingat Rasulullah sendiri telah mengatakan bahwa anak merupakan sebuah aset pahala bagi orang tua yang tidak terputuskan, khususnya mengenai do’a mereka.
Dengan demikian berbagai amal baik yang dilakukan seorang anak akan bermanfaat juga bagi seorang ayah. Dan sebaliknya berbagai kejahatan anak, pada akhirnya orang tua juga akan menanggung akibatnya. Hal ini akan sejalan pula jika kita mencermati firman Allah yang mengatakan bahwa setiap seseorang itu akan menanggung sendiri segala akibat perbuatannya, orang lain tidak. Sebab anak pada hakikatnya adalah hasil kerja orang tua. Sehingga orang tua akan menanggung pula terhadap berbagai kebajikan atau keburukan yang dilakukan seorang anak.


■■■

Nasehat Ibnu Samak

Pada suatu hari Ibnu Samak bertandang ke sebuah istana kerajaan dengan membawa kendi yang masih terisi air minum. Dan setelah ia bertemu dengan khalifah, maka segera saja khalifah itu meminta agar Ibnu Samak sudi memberi nasehat agar kehidupan Baginda selalu menapak ridha Allah. Namun Ibnu Samak malah mengajukan sebuah pertanyaan:
“Jika saja Baginda terserang haus menghebat, padahal tidak lagi ditemukan air sedikitpun kecuali air yang saya bawa ini. Adakah Baginda akan mau membelinya dengan seluruh harta Baginda?.”
Setelah sejenak berfikir, Baginda pun lantas mengatakan:“Ya, terpaksa saya akan membeli kendati dengan seluruh hartaku.”
“Kalau sampai terpaksa sehingga air itu tidak terbeli kecuali dengan menyerahkan seluruh kerajaan Baginda. Adakah hal itu akan sanggup Baginda lakukan?.” begitu kejar Ibnu Samak lagi.
“Kalau keadaannya memang memaksa, ya terpaksa saya lakukan.” begitu jawab baginda diplomatis.
“Kalau begitu, Baginda jangan merasa puas dengan kerajaan yang harganya ternyata tidak lebih dari sekendi air ini.” begitu jawaban Ibnu Samak sehingga Baginda semakin tak berdaya.


■■■






















.

Pasien Dokter dan Dokter Pasien

Ketika Syeikh Bisyr Al-Harits sedang sakit, maka karibnya yang menjadi dokter, yakni Abdur Rahman segera menjenguknya untuk mengadakan terapi seperlunya. Pada kesempatan itu Abdur Rahman merayu agar Bisyr makan dengan cukup, sebab ketika diperiksa tampaknya ia kekurangan darah.
“Sebutkanlah makanan yang kau sukai, wahai Bisyr, aku akan segera membelikannya. Jangan-jangan kalau saya yang menentukannya, kau akan selalu menolak?,” begitu sang dokter menawarkan jasanya.
“Katakan saja makanan yang menurutmu paling aku sukai,” sahut Bisyr lebih lanjut.
“Kau harus secara terus menerus meminum sukanjabin (STMJ) dan ditambah jambu monyet atau jambu ragi!,” begitu saran dokter.
“Kau mengerti mengenai buah lain yang bisa menggantikan sukanjabin?,” tanya Bisyr.
“Aku saja mengetahui, mengapa kau seorang dokter tidak tahu,” tukas Bisyr lagi.
“Apa itu?,” tanya dokter penasaran.
“Buah andewi (handaba) dicampur dengan cuka?.”
“Hebat juga pengetahuanmu,” begitu puji sang dokter.
“Kau mengerti buah lain yang bisa menggantikan jambu monyet?,” tanya Bisyr lebih lanjut.
“Tidak, mungkin belum,” sahut sang dokter lebih terpana lagi.
“Aku tahu itu!,” sambung Bisyr.
“Coba sebutkan!,” pinta sang dokter.
“Buah kharnub Syam,” sahut Bisyr lagi.
“Kau tahu buah lain yang menggantikan jambu ragi?,” cecar Bisyr lagi.
Kali ini sang dokter hanya menggelengkan kepala.
“Aku tahu itu,” sahut Bisyr semakin membuat tak berdaya sang dokter.
“Apa, sebutkan!.” pinta sang dokter kendati sudah tidak bernyali.
“Kacang Arab dicampur dengan susu sapi,” sahut Bisyr lagi.
“Ternyata kau lebih mengerti ketimbang saya, namun mengapa sejak tadi kau bertanya terus. Padahal saat ini bukan waktunya ujian ilmu kedokteran,” begitu sang dokter menukas dengan agak jengkel.
Mendapat jawaban ini, Bisyr hanya tersenyum.


■■■

Si Juling Menantang Tuhan

Nabi Musa As merupakan seorang Nabi yang termasuk jajaran Ulul ‘Azmi dan bergelar pula dengan Kalimul’Lah. Nabi yang pernah diwawancarai Allah secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril atau mediator yang lain.
Dalam sekali kesempatan, pernah beliau dituduh berbuat zina oleh Qarun berhubung beliau mengumumkan kewajiban zakat. Pernah pula dituduh pelirnya besar sebelah karena tidak mau beramai-ramai mandi bersama laki-laki dan perempuan dengan telanjang.
Namun ditepis oleh Allah dengan cara pakaian beliau dibawa lari oleh batu yang menjadi tempat menaruh pakaiannya ketika mandi. Kemudian batu itu pun dikejarnya, namun anehnya arah lari batu itu menuju keramaian hingga banyak orang tahu bahwa Nabi Musa bukan termasuk orang yang cacat.
Batu itu pula yang akhirnya membalas budi bertandang di hadapan Nabi Musa ketika kaumnya kehausan di padang Taih. Lantas Allah menyuruh beliau untuk memukul batu tersebut hingga memancar dua belas mata air.
Seorang Nabi yang betul-betul telah kenyang penderitaan dan begitu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan sehingga ketika Rasulullah Saw. membagi harta ghanimah dimana ada sementara pihak yang mengatakan bahwa pembagian beliau tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan Allah. Maka beliau tersentak dengan rona wajah merah padam, namun segera saja teringat pada Nabi Musa As hingga beliau bersabda seraya menekan gemuruh dadanya:
“Semoga rahmat Allah tetap terlimpahkan pada Nabi Musa, dia lebih banyak disakiti oleh kaumnya namun tetap bersabar.”
Di dalam Al-Qur’an sendiri sering kita menjumpai, bagaimana cara kaum Nabi Musa memanggil beliau, biasanya langsung saja menyebut nama “ya Musa” tidak dengan “ ya Nabiyal’Lah atau ya Rasulal’Lah” Hal ini sebagai petunjuk bahwa kaum Nabi Musa tidak begitu mengacuhkan, tidak pula respek terhadap kredibilitas seorang Nabi, padahal beliau bukanlah figur yang lemah bahkan sangat-sangat tegas. Sebagai seorang manusia, Nabi Musa sampai pernah meratap:“Wahai kaumku, mengapa kalian seringkali menyakitiku padahal kalian telah mengerti bahwa diriku ini merupakan utusan Allah.”
Penjelasan ini tidak bermaksud menggiring pikiran kita untuk mengkultus individukan seseorang, namun secara proporsional kita wajib menghormat figur yang dihormati Allah ( wa man yu’adhdhim sya’airal’Lah ), dimana para Nabi Allah itu sendiri termasuk tanda agungnya agama Allah.
Itulah sikap Bani Israil, sebuah kaum yang sering berbuat onar, bukan sekarang saja, sejak dahulu memang demikian perilakunya hingga ketika telah sampai klimaksnya, Allah pun mengirim bencana yang memporak porandakan mereka.
Namun sekali-kali kita tidak boleh bertopang dagu membiarkan kebiadaban mereka dengan hanya mengandalkan atau menunggu saja Allah berbuat. Itu bukan tawakal namanya, namun lebih pantas disebut malas.
Sebaliknya mereka pula yang paling besar menerima karunia Allah dimana banyak sekali para Nabi yang diutus dari kalangan mereka.
Daerah Timur Tengah kebanyakan merupakan kawasan kering dan padang pasir tandus yang sering kita dengar bala keparan melanda daerah tersebut hingga menelan beribu-ribu korban.
Tersebutlah dalam suatu kisah bahwa Bani Israil tertimpa kekeringan yang panjang, langit seolah-olah hamparan merah jingga dan bumi beralih fungsi bagaikan logam penghantar panas ketika tidak pernah tersiram hujan. Dalam kondisi seperti ini seluruh penduduk mengadukan perihalnya kepada Nabi Musa agar beliau memohon hujan kepada Allah SWT. Demi melihat kaumnya yang tertimpa bala itu, Nabi Musa menyuruh mereka untuk keluar rumah, pergi bersama menuju sebuah bukit dan berkumpul disana.
Mereka segera menurut apa yang telah diperintahkan Nabinya itu, hingga bukit itu pun tampak bagaikan hamparan manusia. Namun tiba-tiba saja Nabi Musa mengumandangkan maklumat:
“Barang siapa yang pernah berbuat dosa tiga kali selama hidupnya, hendaklah sekarang juga segera pulang!.”
Seluruh yang hadir tersentak kaget alang kepalang padahal keringat pun belum kering, dan dengan menggerutu akhirnya sebagian besar dari mereka pun beranjak pulang, dimana memang Nabi Musa juga segera mengusir hingga hanya tinggal beberapa kelompok kecil yang kebanyakan mereka terdiri dari para rahib.
Kemudian Nabi Musa meneruskan maklumatnya lagi:
“Barang siapa yang pernah berbuat dosa dua kali selama hidupnya, hendaklah segera pulang sekarang juga.”
Demi mendengar maklumat ini, manusia yang tinggal sedikit itu pun beranjak pulang kendati hati mereka betul-betul kebingungan, tidak mengerti apa yang berada di benak Nabi Musa. Kali ini pengikut Nabi Musa tinggal lima atau sepuluh orang dengan perasan kecut.
“Sekarang, barang siapa yang pernah berbuat dosa sekali saja dalam hidupnya, saya minta dengan tidak hormat supaya segera pulang,” serunya lagi.
Maka seluruh pengikutnya tadi dengan hanya bisa tolah-toleh akhirnya juga pulang kecuali seorang laki-laki juling, hilang sebelah bola matanya, dia Barkhu namanya.
“Mengapa kau tidak ikut pulang, tidakkah kau mendengar ucapanku tadi!,” begitu hardik Nabi Musa.
“Apakah kau belum pernah berbuat dosa!,” cecar Nabi Musa lagi.
Akhirnya dengan tenang Barkhu itu pun menjawab:
“Aku pernah melakukan suatu perbuatan, namun belum jelas benar bagiku, apakah termasuk dosa atau tidak.”
“Apa itu, segera sebutkan!,” desak Nabi Musa lagi.
“Pada suatu hari aku melintasi suatu jalan perkampungan dimana ada sebuah rumah yang pintunya terkuak. Ketika itulah mataku yang telah hilang ini melirik bayangan sosok tubuh, namun aku sendiri belum mengetahui, apakah sosok itu merupakan seorang wanita atau pria. Di saat itulah hatiku mengatakan kepada mata yang jalang ini:
“Kau merupakan bagian tubuhku, mengapa kau rakus benar untuk berbuat kesalahan, sekarang kau harus lepas dariku.” Maka segera saja jariku ini aku masukkan ke dalam rongga mata kemudian aku tarik sedemikian rupa hingga bola mata itu terlepas. Maka jika saja lirikanku tadi sudah merupakan maksiat, sekarang juga aku akan pulang wahai Kalimullah,” demikian Barkhu beralasan.
“Lirikanmu itu belum termasuk dosa, sekarang cukup kamu saja yang memohon hujan kepada Allah,” begitu desak Nabi Musa.
Dengan segera Barkhu berdo’a dengan Nabi Musa yang mengamini dari belakang, maka terdengarlah dia berkata:
“Quddus – Quddus, wahai Yang Maha Suci, sebenarnya apa yang ada disisi-Mu tidak akan pernah habis, simpanan karunia-Mu juga tidak pernah sirna, tidak pula Engkau bisa dituduh pelit. Apakah Engkau belum tahu kondisi kami, sekarang juga Engkau harus, ya harus menurunkan hujan pada mereka.”
Demi mendengar do’a Barkhu yang kasar ini, hampir saja Nabi Musa lepas kendali menumpahkan kemarahannya, dan Barkhu pun akan ditinju. Namun sejenak kemudian dilihatnya awan beriringan dan kilat bersahutan, hingga belum sampai di rumah, kedua pembesar itu telah basah kuyup terguyur hujan.
Memang dalam kondisi tertentu, seseorang yang betul-betul telah dekat kepada Allah, acapkali memperlakukan Allah sebagaimana karibnya sendiri hingga keluar ucapan yang tidak layak menurut pandangan orang lain sebagaimana ucapan Barkhu tadi. Demikian Imam Ghazali menjelaskan dalam Ihya’nya.



■■■