Dikisahkan pula dari sebagian ulama Arifin bahwa:
“Pada suatu ketika aku sangat mengharapkan untuk bisa bertemu dengan Nabi Khadhir. Hal ini yang menjadikan hatiku seakan memendam kerinduan yang tiada tara sehingga aku panjatkan do’a kepada Allah agar aku dipertemukannya.
Tiada lain aku bermaksud agar beliau memberi pelajaran kepadaku terhadap suatu masalah yang selama ini betul-betul menjadi ganjalan hatiku. Terbukti beberapa waktu kemudian aku bisa berjumpa dengan beliau. Ketika itu tidak ada maksud apa pun terkecuali ucapanku:
“Wahai Abul Abbas, berilah aku pelajaran, dimana jika aku ucapkan maka diriku segera tidak akan dikenal masyarakat lagi, apalagi mengenal kebajikanku atau tegakku dalam melaksanakan perintah agama”. begitu pintaku.
“Katakan sebuah do’a,” kata Nabi Khadhir, “Julurkanlah tirai-Mu kepadaku, tutupkan pula hijab-Mu pada diriku. Jadikanlah aku dalam simpanan alam ghaib-Mu serta sekatlah daku dari seluruh hati para makhluk-Mu”. begitu do’a yang diajarkan kepadaku.
“Setelah itu beliau menghilang dan tidak tampak lagi, sedangkan kegundahan hatiku juga berangsur sirna. Namun do’a yang diajarkan itu setiap hari aku baca berulang-ulang”. begitu kata ulama ‘arifin tersebut.
“Selang beberapa waktu,”kata seorang murid ulama itu, “kondisi sang guru itu betul-betul dihinakan oleh masyarakat, bahkan orang-orang kafir dzimmi berani pula menghinakannya begitu rupa. Seringkali anak-anak meledek dan mengikuti dari belakang dengan membawa berbagai benda untuk mengganggu. Ia sudah dianggap tidak waras lagi. Namun memang apa yang dicari sang guru tiada lain agar hatinya bisa tenang, nafsunya tidak bergejolak dan jiwanya tidak pongah, kendati fisiknya harus mengalami kehinaan dan dihinakan orang. Demikianlah kebanyakan para auliya’ Allah itu dalam menyikapi karakusan nafsunya.
■■■
Kamis, 07 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar