Selasa, 05 Januari 2010

Ketika Rabi’ Kehilangan Kuda

Dikisahkan bahwa ketika seorang Abid yang sedang menjalankan ibadah haji di Makkah, pada suatu malam ia tertidur bersama seorang karib yang tampak membawa bekal uang dirham yang cukup banyak yang ditaruhkan dalam sebuah kantung. Namun tanpa di duga, setelah sang karib itu tidur pulas, seorang yang bernama Malih mengambil kantung si karib itu dengan maksud meledek saja.
Dan ketika bangun pagi setelah menyadari bahwa kantungnya raib, si karib segera menuduh bahwa Abid-lah yang mengambilnya. Mendapat tuduhan seperti itu, segera saja Abid meng-iyakan. Selanjutnya si karib segera diajak untuk bertandang ke rumah Abid. Dan segera saja Abid mengambilkan uang untuk diberikan kepada karib tersebut sesuai jumlah yang telah hilang.
Seminggu kemudian, Malih baru mengatakan bahwa yang mengambil kantung karib adalah dirinya dengan maksud hanya meledek dan bercengkerama, kini semuanya telah dikembalikan lagi. Betapa malu hati si karib dibuat demikian itu, sebab ia telah salah sasaran menuduh, malah mendapat uang buta segala. Untuk itu si karib segera meminta maaf pada Abid seraya mengembalikan uang yang telah diterimanya seminggu yang lalu. Namun anehnya, Abid tidak mau menerimanya kendati telah dipaksa begitu rupa, malah mengatakan:
“Demi Allah aku telah ikhlas memberikan uang tersebut, ambillah, semua itu telah aku halalkan. Dan aku tidak akan mencabut kembali harta benda yang telah aku sedekahkan ke jalan Allah.”
Hati sang karib pun seakan teriris mendapat jawaban seperti ini. Namun Abid segera mengambil tindakan tepat, dipanggilnya seorang anak lelaki, kemudian ia menyuruhnya untuk mengirim dan membagikan uang tersebut kepada orang-orang miskin Makkah sehingga seluruh uang itu tandas dalam sekejap.
Dikisahkan pula dari Rabi’ bin Khaitsam bahwa pada suatu pagi ia telah kehilangan kuda ketika menjalankan shalat Shubuh, padahal harga kuda itu mencapai dua puluh ribu dirham. Sebenarnya Rabi’ mengerti ketika si pencuri menjalankan aksinya itu, namun ia tidak mau memutus shalatnya untuk segera mengejarnya. Dan setelah masyarakat mengetahui atas musibah yang dideritanya, mereka berbondong-bondong menuju rumah Rabi’ menyatakan ikut bersedih dan berbela sungkawa. Segera saja mereka diberi tahu oleh Rabi’ sendiri bahwa sebenarnya ia mengerti atas ulah pencuri itu.
“Mengapa Tuan tidak segera mengusirnya agar harta benda Tuan terselamatkan?,” begitu mereka seakan menyalahkan sikap Rabi’.
“Aku sedang mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dari pada kudaku yang hilang tersebut, tidak lain adalah shalat,” begitu jawab Rabi’ kendati dipandang aneh.
Demi mendengar penuturan Rabi’ ini, masyarakat begitu murka terhadap pencuri licik yang menjalankan aksinya ketika tuan rumah sedang beribadah kepada Allah. Mereka mengucapkan sumpah serapah dan mendo’akan agar sang maling selalu sial dalam hidupnya.
Mendengar perkataan mereka itu, Rabi’ segera menyahut:
“Biarlah, kalian jangan berdo’a jelek begitu, akan lebih baik jika do’a yang kalian ucapkan itu membawa kebahagiaan si maling tersebut, sebab kuda itu telah aku sedekahkan saja kepadanya.”
Mendengar jawaban Rabi’ seperti ini, masyarakat tambah melongo bagaikan kerbau dicucuk pantatnya.

■■■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar