Pada abad pertengahan begitu hebat pertentangan dunia Islam antara Timur (Baghdad) dan Barat (Andalusia) yang dipelopori oleh Ibnu Rusyd, dimana filsafat barat selalu dimentahkan oleh dunia timur yang dipelopori oleh Al-Ghazali. Maka muncullah buku Imam Ghazali yang berjudul Tahafutul Falasifah.
Namun buku ini pun diserang habis oleh Ibnu Rusyd dengan bukunya Tahafutut Tahafutil Falasifah (kebatilan buku Tahafutul Falasifah). Dimana Imam Ghazali harus bekerja keras untuk mengcounter serangan balik itu hingga terjadi polemik yang berkepanjangan. Namun karena hujjah-hujjah Imam Ghazali begitu akurat maka serangan barat itu menjadi lumpuh.
Dari imbas pertentangan itu, buku Ihya’ Ulumid Din yang terkenal itu juga menjadi sasaran, hingga seorang ulama besar dari Maroko begitu membencinya, dia bernama Abu Hasan Ali bin Hirzihim, seorang ulama yang berlidah api, ucapannya selalu ditaati publik.
Pada suatu hari dia tidak bisa menahan geramnya lagi, maka semua ulama yuniornya diseru untuk mengumpulkan seluruh naskah buku Ihya’ yang ada untuk segera dibakar di depan Masjid Agung setelah diselenggarakan shalat jum’at. Namun belum sempat maksud itu terlaksana, dimalam hari dia bermimpi memasuki sebuah masjid, dan tiba-tiba saja bertemu dengan Rasulullah Saw. yang diiringi oleh Abu Bakar dan Umar Ibn Khathab Ra. sedangkan di depan mereka, Imam Ghazali berdiri begitu hormat. Ketika itulah Imam Ghazali mengatakan:
“Ya Rasulullah! inilah orang yang namanya Ibnu Hirzihim, dia itu musuh beratku, dia pula yang memusuhi buku Ihya’ ku. Sekarang begini saja, jika saja buku Ihya’ itu mengandung banyak penyelewengan sebagaimana prediksi Ibnu Hirzihim, aku sekarang bertaubat kepada Allah. Namun jika penuh siraman dari barakah Baginda atau ajarannya sesuai dengan sunnah-sunnah Baginda, sekarang juga aku mohon baginda menghukum dia. Kemudian Imam Ghazali memberikan buku Ihya’ itu kepada Rasulullah Saw dan dibukanya lembar perlembar, lantas bersabda:
“Demi Allah, buku ini betul-betul bagus.”
Lantas Rasulullah memberikannya kepada Abu Bakar. Ia juga meneliti seluruh isinya lalu mengatakan:
“Demi Dia Yang telah mengutus engkau dengan penuh kebenaran, buku ini sungguh bagus sekali.”
Abu Bakar pun memberikannya kepada Umar Ibnu Khathab Ra. dan memuji sebagaimana tindakan Abu Bakar. Setelah itu Rasulullah menyuruh Ibnu Hirzihim bertelanjang dada untuk dicambuk sebagaimana mereka yang berbuat dusta. Maka dalam mimpi itu dideralah dia sampai lima kali cambukan cemethi. Ketika melihat kejadian tragis ini, Abu Bakar segera menghentikan cambukan itu untuk memberi pembelaan Ibnu Hirzihim dengan mengatakan:
“Ya Rasulullah, mungkin Ibnu Hirzihim hanya salah persepsi saja, hingga beranggapan bahwa buku Ihya’ itu menyalahi sunnah-sunnah baginda.”
Demi melihat pembelaan Abu Bakar ini, Imam Ghazali lantas memaafkan kesalahan Ibnu Hirzihim dan menerima argumentasi Abu Bakar.
Maka terbangunlah dia dari tidur malang itu dengan penuh kegalauan. Anehnya seluruh badannya terasa sakit sekali bekas terkena cambukan dalam mimpi itu, dan malah ada bekas-bekas guratan yang bila diraba akan terasa sakit sekali.
Dengan segera saja dia bangkit untuk memberi tahu seluruh pengikutnya mengenai peristiwa ini. Dan dia sendiri segera bertaubat kepada Allah, terutama mengenai kebenciannya terhadap Imam Ghazali, namun rasa sakit bekas cambukan itu masih berlangsung begitu lama. Akhirnya dia selalu memohon kepada Allah dan berusaha mendapat syafaat Rasulullah Saw. Hingga pada suatu malam dia bermimpi lagi melihat Rasulullah memasuki rumahnya dan mengusap punggungnya yang terkena cambukan itu. Seketika itu barulah dia sembuh dengan seizin Allah. Dan setelah mengalami peristiwa itu, dia berjanji untuk selalu mentelaah dan mengkaji buku Ihya’ hingga menjadi aktivitas yang paling utama dalam sisa umurnya.
Dari semangatnya yang membara ini, Allah akhirnya membuka pintu hati dengan makrifat yang begitu tinggi hingga dia diperhitungkan sebagai ulama besar dalam bidang tasawuf dan ilmu-ilmu yang lain.
Pada permulaannya, Imam Ghazali hanyalah sebagai ulama biasa, kiai tingkat kampung dengan sebuah masjidnya yang reot dimakan usia. Ia pula yang selalu memimpin shalat berjama’ah lima waktu beserta masyarakat dan para santrinya. Aneh, kakaknya yang bernama Ahmad, sekali pun tidak pernah ikut berjama’ah, dia merasa acuh dengan adiknya itu hingga Imam Ghazali merasa jengkel disepelekan begitu rupa.
Sempat pula Imam Ghazali mengadukan kepada ibunya agar menasihati kakaknya untuk rajin berjama’ah demi menjaga hati masyarakat kaumnya agar tidak berprasangkan bahwa keluarga Al-Ghazali dilanda keretakan atau kesenjangan. Dan setelah dinasihati sang ibu baik-baik, dia terpaksa juga ikut berjama’ah, namun ketika itulah dia melihat Al-Ghazali yang bertindak sebagai imam itu penuh cipratan darah. Segera saja dia memisahkan diri (mufaraqah) sampai pada akhirnya.
Betapa hati Imam Ghazali semakin tidak mengerti, mengapa sang kakak betul-betul tidak mau berjama’ah dengannya. Dengan hati yang masih panas dia tanya sang kakak pembandel itu :
“Mengapa kanda begitu acuh terhadap kepemimpinan dinda?.”
Tanpa diduga dia mengatakan:
“Bagaimana aku harus berjama’ah dengan seorang imam yang berlumuran darah!.”
Terpernjat Imam Ghazali mendengar jawaban ini, sebab ketika berjama’ah itu pikirannya kalut dengan permasalahan menstruasi yang dialami oleh seorang wanita asuhannya.
Keadaan menjadi terbalik, Imam Ghazali menyadari kelemahannya dan kakaknya ternyata bukan orang sembarangan. Maka dengan hormatnya dia bertanya pada sang kakak:
“Wahai kanda!, dari mana kanda mendapat ilmu setinggi itu?.”
“Oh adikku, itu dari belajarku dari seorang guru yang pekerjaan sehari-harinya mereparasi sepatu.” begitu jawab sang kakak.
“Kalau begitu tolonglah kanda kiranya sudi menunjukkan pada sang guru yang penuh berkah itu!,” pinta Al-Ghazali.
Dengan hati yang mukhlis, kakaknya pun mengantarkan Al-Ghazali pada gurunya itu. Dan setelah dipertemukan, Al-Ghazali pun menyatakan maksudnya, yaitu ingin menimba ilmu yang diridhai Allah, namun sang guru balik mengatakan:
“Pikirkanlah baik-baik, jangan-jangan saudara nanti tidak mampu melaksanakan apa yang menjadi maksudku!.”
“Insya Allah, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk selalu mengikuti apapun yang menjadi kehendak tuan guru.” jawab Al-Ghazali.
“Maaf, kebetulan anak-anak dan isteriku tidak hadir di sini hingga halaman tempat kerjaku ini begitu kotor. Sebelum ilmu yang kumiliki itu kuajarkan padamu, maaf, sekali lagi maaf, tolonglah kau bersihkan dulu halaman ini agar sedap dipandang mata,” begitu kata sang guru.
Maka Imam Ghazali segera mencari sapu, namun sampai beberapa saat tidak ditemukan pula, cangkul pun tidak tersedia, sementara sampah dihalaman tidak hanya dedaunan saja, namun malah ada beberapa onggok tahi kerbau sebesar tumpeng. Di saat itulah Imam Ghazali dengan sopannya bertanya:
“Apakah kiranya di sini ada sapu atau cangkul, wahai Tuan guru?.”
“Oh maaf, tempat jualanku ini tidak lebar, kebetulan hari ini saya tidak membawa alat-alat yang lain kecuali peralatan sepatu.
Sejenak kemudian segera saja Imam Ghazali menyingsingkan lengan bajunya dan membersihkan kotoran itu dengan kedua belah tangannya, kendati baunya menyengat, namun hatinya begitu ikhlas. Diserahkan seluruh jiwa dan raganya untuk mengabdi kepada sang guru agar ridhanya menetes dalam relung kalbu yang paling dalam.
Selesailah tugas pertama, tinggal menunggu saat-saat sang guru memberikan ilmunya. Tiba-tiba saja sang guru itu mengatakan:
“Sekarang pulanglah kau!.”
Sesingkat itu dia mengatakan hingga Imam Ghazali menyangka, boleh jadi ilmunya akan diberikan pada kesempatan yang lain. Dengan hati penuh tanda tanya, Al-Ghazali pun melangkahkan kakinya untuk pulang.
Namun ketika telah sampai di rumah, ia merasakan dalam hatinya ada sebuah pergolakan hingga menimbulkan sebuah perubahan besar, betul-betul merupakan revolusi ruhani secara total. Dimana kini dalam hatinya telah bersemayam ilmu ladunni, yaitu ilmu yang diberikan Allah dengan tanpa usaha atau belajar sebagaimana lazimnya, namun hati tiba-tiba mengerti. Itulah berkah seorang guru yang mukhlis dan diterima seorang murid yang mukhlis pula hingga buah penanya bermanfaat di dunia dan akhirat. Wal’Lahu A’lam bisshawab!.
■■■
Kamis, 07 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar