Rasulullah Saw mengatakan bahwa kebenaran akan mengakibatkan adanya kebajikan. Sedangkan kebajikan akan mendorong seseorang untuk memasuki surga. Dan jika saja seseorang itu selalu berusaha untuk bersikap benar (shidiq), maka ia akan ditulis di sisi Allah sebagai figur yang selalu meniti kebenaran.
Sebaliknya dusta akan mengakibatkan adanya kejahatan. Sedangkan kejahatan akan menarik seseorang memasuki neraka. Dan jika sahja seseorang sering bertindak dusta maka ia akan di tulis di sisi Allah sebagai pendusta (Muttafaq Alaih).
Kita telah menyadari pula bahwa termasuk sebuah sifat yang wajib disandang oleh seorang Rasul adalah shidiq. Dengan demikian apa yang telah disampaikan beliau, baik berupa Al-Qur’an atau As-Sunnah, semuanya dapat dipertanggung jawabkan validitasnya.
Mengenai As-Sunnah, dikarenakan pembukuannya terjadi jauh setelah Rasulullah itu sendiri wafat, maka para ahli hadits begitu cermat meneliti para perawi dan sanadnya. Hal ini dimaksudkan agar sebuah berita yang didapatkan dari Rasulullah betul-betul dijamin keabsahannya. Namun dikarenakan para perawi itu daya ingatnya berbeda-beda, atau sikap kehidupannya juga berlainan, maka timbullah berbagai tingkatan hadits, baik mengenai shahih, hasan, dha’if, matruk atau pun maudhu’dan lain-lain.
Di sini sifat shidiq (benar) betul-betul menjadi acuan dan dapat menentukan derajat sebuah hadits. Akibatnya para ulama begitu sangat hati-hati jika saja didapatkan pribadi-pribadi yang terjangkiti lawan shidiq itu sendiri, yakni kadzib (pembohong), sebuah sifat yang mengakibatkan hadits yang diriwayatkan seseorang atau bahkan kredidibilitas keilmuan seseorang dapat diragukan.
Bahkan merambah kepada hukum positif yang ditindak lanjuti dengan adanya jarh wa ta’dil di muka hakim ketika seseorang akan dijadikan saksi. Dengan demikian dampak di masyarakat pun tampak positif, banyak pribadi yang akan menjauhi kebohongan khawatir nama baiknya akan rusak jika saja bertindak dusta.
Namun dalam kondisi tertentu, untuk menghindari dusta itu sering seseorang harus membuat terobosan lain agar tidak dengan vulgar dituduh sebagai pembohong. Itulah yang dinamakan tauriyah.
Dikisahkan dari sebagian ulama bahwa pada suatu hari seorang raja yang terkenal zalim mencari-cari ulama tersebut. Untuk menghindari pertemuannya, maka ulama itu mengatakan kepada isterinya:
“Wahai dinda, nanti jika saja Baginda itu datang mencariku, maka segeralah dinda keluar rumah dengan membawa ranting kayu, kemudian segeralah kau buat lingkaran di tanah dengan ranting tersebut. Lantas taruhkan ujung ranting itu di dalam lingkaran seraya kau katakan, “Suamiku tidak berada di sini.” Baginda jelas akan menyangka bahwa saya tidak ada di rumah. Padahal maksud dinda, aku tidak ada dalam lingkaran itu, mana mungkin akan muat, paham!.”
“Ya, aku memahami.”jawab sang isteri.
“Itulah yang dinamakan tauriyah, yakni suatu tindakan yang sekilas tampak benar, namun mempunyai tujuan lain demi menghindari kebohongan. Hal ini akan diperbolehkan jika mengandung kemashlahatan, wahai isteriku,” begitu kata sang suami.
■■■
Senin, 04 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar