Sebuah keceriaan (uns) bersama Allah itu jika saja bisa kekal dan kuat intensitasnya, dalam arti tidak bercampur lagi dengan kebingungan atau masih disisipi rasa takut dan terhalang, maka sikap seperti itu akan bisa membuahkan reaksi yang positif dengan penuh kegembiraan yang berpengaruh pada ucapan dan perbuatan atau pada bisikan ketika berdo’a.
Namun kadang juga menimbulkan reaksi yang tampak negatif sehingga bisa dipandang sebagai perbuatan ‘kurang ajar’atau tidak takut lagi kepada Allah. Pada biasanya sikap yang demikian itu dibiarkan saja oleh Allah ketika seseorang telah dirasa mencapai martabat yang sedemikian itu. Sebaliknya bagi figur yang tidak dizinkan menempati martabat seperti itu, sikap tersebut kadang malah bisa menyeret pada kekafiran, tidak jarang pula bisa mencelakakan dirinya.
Dikisahkan bahwa pada suatu hari beberapa rumah papan yang berada di Bashrah habis dilanda kebakaran, namun herannya ada satu rumah yang yang terletak di tengah-tengah terlihat masih utuh, sedikit pun tidak terjilat api. Abu Musa yang ketika itu menjadi Gubernur diberi tahu mengenai musibah mengenaskan ini. Segera saja ia memanggil orang yang telah tua pemilik rumah yang selamat itu.
“Mengapa hanya rumahmu yang bisa selamat?,” begitu tanya Abu Musa dengan heran.
“Aku telah bersumpah kepada Allah, hendaknya rumah ini jangan sampai terbakar,”begitu jawab orang tua tersebut.
Maka Abu Musa segera mengatakan:“Saya pernah mendengar Rasulullah Saw mengatakan bahwa pada ummatku akan ada suatu kaum yang rambutnmya tampak kusut, pakaiannya pun dekil, namun jika saja bersumpah kepada Allah, Dia akan segera memperkenakannya.” (HR. Ibnu Abid Dunia dalam kitab Auliya’).
Pernah pula pada suatu hari Abu Hafsh ketika berjalan bertemu seorang penduduk desa yang kebingungan.
“Mengapa kau tampak kebingungan,” begitu sapa Abu Hafsh.
“Aku sedang kehilangan keledai satu-satunya, padahal aku tidak punya harta apa pun selain binatang itu,” sahut orang desa tersebut.
Segera saja Abu Hafsh menghentikan langkah kemudian memanjatkan do’a:
“Ya Allah, demi kemulian-Mu, kakiku tidak akan aku langkahkan sebelum Engkau kembalikan keledai orang ini.”
Seketika itu pula keledai tersebut tampak dari kejauhan, kemudian dihela oleh pemiliknya. Dan dengan langkah biasa, Abu Hafsh pun meneruskan perjalanannya.
Begitu pula ketika Bani Israel dilanda kemarau dalam jangka tujuh tahun, maka mereka berbondong-bomdong kepada Nabi Musa agar sudi memohonkan hujan. Maka keluarlah beliau bersama kaumnya menuju sebuah tempat lapang untuk memanjatkan do’a yang dimaksud. Namun ketika di perjalanan, beliau mendapatkan wahyu:
“Bagaimana Aku akan memperkenankan do’a kalian yang bergelimang dengan berbagai dosa sehingga hati kalian begitu gelap. Kalian berdo’a dengan tanpa sebuah keyakinan, malah sikap kalian seakan tidak takut lagi dengan berbagai siksa-Ku. Untuk itu kembalilah kalian. Carilah seorang hamba yang bernama Barkhu. Suruhlah ia keluar untuk memohon hujan, Aku akan segera memperkenankannya!,” begitu bunyi wahyu
Nabi Musa As. segera menyebar informasi untuk menemukan orang tersebut, namun sampai beberapa lama belum ditemukan juga. Dan pada suatu hari ketika Nabi Musa sedang berjalan, beliau tiba-tiba saja bertemu dengan orang hitam yang keningnya masih berdebu bekas melakukan sujud. Ia memakai kain yang diikatkan begitu saja di lehernya. Nabi Musa langsung bisa mengenalinya dengan bantuan bisikan Allah. Lantas beliau mengucapkan salam.
“Siapa nama Anda?,” begitu Nabi Musa membuka sebuah dialog.
“Namaku sangat singkat, Barkhu,” sahut orang hitam itu.
“Anda telah beberapa lama aku cari untuk memohonkan hujan Bani Israel yang selama ini kekeringan. Untuk itu kau segera aku minta memanjatkan do’a sekarang juga,” begitu pinta Nabi Musa.
Segera saja Barkhu menjauh dari Nabi Musa, kemudian menengadahkan kedua belah tangannya seraya mengucapkan:
“Ya Allah, ketiadaan hujan ini tidaklah pantas jika dibangsakan kepada perbuatan-Mu, tidak pula pantas jika disebutkan sebagai kemurahan-Mu. Adakah mata air-Mu telah kering, atau kini angin selalu membangkang memperturutkan perintah-Mu. Atau apakah memang telah habis simpanan rizki yang berada di samping-Mu, atau sekarang ini murka-Mu telah begitu memuncak terhadap mereka yang selalu berbuat durhaka. Bukankah Engkau begitu Pemberi ampun sebelum Engkau menciptakan mereka yang berlaku salah itu. Engkau telah menciptakan rahmat dan belas kasih, dan Engkau sendiri telah memerintahkan untuk selalu bersikap belas kasih. Atau Engkau memang sengaja memperllihatkan kepada kami mengenai keengganan-Mu itu. Atau Engkau sendiri yang takut jika saja kehilangan belas kasih sehingga segera mengirimkan siksaan!?.”
Sejenak kemudian awan segera beriringan dan kilat bersahutan kemudian turun hujan begitu lebatnya sehingga Bani Israel basah kuyup karenanya. Seketika itu juga Allah menumbuhkan rerumputan begitu lebat sehingga mencapai lutut.
Setelah mengetahui keberhasilan permohonannya ini, Barkhu segera beranjak untuk menemui Nabi Musa.
“Bagaimana do’a yang aku panjatkan tadi, wahai Nabi Musa?. Dimana ketika itu aku memberanikan diri untuk mengungkit-ungkit Allah dan mencerca-Nya.” begitu kata Barkhu kepada Nabi Musa.
Mendengar perkataan Barkhu yang tampak kurang ajar ini, hampir-hampir saja Nabi Musa meninju mukanya. Namun segera saja beliau menerima wahyu.
“Biarkanlah Barkhu, wahai Musa. Ia setiap hari memang sering membuat Aku tertawa sampai tiga kali.”
Sikap-sikap aneh tersebut pada biasanya hanyalah dimiliki mereka yang memang telah dekat dengan Allah sehingga hatinya selalu diliputi rasa uns (bahagia), namun orang lain tidak akan etis juga tidak akan mampu menirunya. Malah menurut Al-Junaidi, kadang mereka itu ketika menyepi mengeluarkan berbagai kalimat yang akan bisa dituduh kafir menurut ukuran orang awam.
■■■
Kamis, 07 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar