Jumat, 01 Januari 2010

Berlumuran Tinja

Ketika malam hari telah tiba, Shaleh bin Al-Ma’mun bertandang ke rumah Syeikh Harits Al-Muhasibi untuk bersilatur rahim sebagaimana kebiasaan orang-orang shaleh yang begitu memperhatikan persahabatan. Pada kesempatan itu Shaleh mengatakan:
“Wahai Abu Abdillah, bagaimana kronologi gelar (Al-Muhasibi) yang tuan sandang itu, adakah engkau selalu melaksanakan muhasabah dan menimbang amal kebajikan atau keburukan yang telah engkau lakukan?”
‘Ya, dulu memang begitu, namun sekarang seluruh amalku aku usahakan untuk selalu tertutup. Sikap demikian itu bukan tanpa sebab. Aku teringat ketika pada suatu malam di saat membaca suatu ayat dari Al-Qur’an, dari relung hatiku yang paling dalam timbul suatu bisikan untuk selalu menyembunyikan dan menyamarkan makna yang aku baca, sehingga nafsuku sendiri aku tekan untuk tidak bisa mendengarkannya.. Jika saja tidak timbul keceriaan dalam hatiku, tentu saja makna-makna yang terkandung dalam ayat tersebut tidak akan aku tampakkan sampai sekarang.
Pada suatu malam, datanglah seorang pemuda yang begitu tampan dengan aroma mewangi yang begitu semerbak. Pemuda itu lantas mengucapkan salam kepadaku, kemudian duduk menghadapku.
“Siapa anda, wahai hamba Allah,” tanya Harits Al-Muhasibi.
“Aku merupakan salah seorang pengembara yang selalu bertandang pada mereka yang rajin beribadah dalam mihrab-mihrab mereka. Tetapi tampaknya diri tuan terlihat tidak serajin mereka yang aku temui, padahal tuan terkenal juga sebagai ahli ibadah. Kalau demikian apa amal lain di balik penampilanmu yang tampak biasa itu”. tanya pemuda itu lebih lanjut.
“Tiada lain aku berusaha untuk selalu menutupi terhadap berbagai musibah yang menimpaku. Kedua, aku selau berusaha agar dalam hidup ini bertambah ilmuku dari perbagai peristiwa yang aku ambil ibrahnya,” sahut Al-Muhasibi lagi.
Tiba-tiba pemuda itu menjerit histeris dengan mengatakan:
“Wahai mengherankan, selama ini dari belahan bumi sebelah timur sampai ke barat belum pernah aku temukan figur yang sikapnya seperti apa yang kau lakukan itu.”
Pada kesempatan itulah, Al-Muhasibi menambahkan ilmu-ilmu yang dia miliki dengan mengatakan:
“Sesungguhnya orang yang selalu memperhatikan amal hatinya, ia akan berusaha untuk menyembunyikan pengalaman-pengalaman spiritualnya, ditutupinya pula segala sirri yang mereka temui, malah sering berdo’a kepada Allah agar selalu ditutupi oleh-Nya.”
Mendengar keterangan ini,” kata Al-Muhasibi, “Pemuda itu langsung berteriak dan pingsan tak sadarkan diri. Kondisi yang demikian itu berlangsung sampai dua hari, dimana pada hari kedua ia tersadar dengan berlumuran tinja di pakaian yang dia kenakan. Dengan demikian aku mengetahui bahwa dia memang betul-betul hilang akalnya. Ketika itulah aku mengambil pakaian baru sebagai ganti pakaian yang terkena najis itu, dan aku suruh agar dia segera mandi dan meng qadha shalat yang telah dia tinggalkan.
Namun setelah dia mandi dan melaksanakan shalat, ia langsung berpamitan meneruskan perjalanannya.
“Wahai pemuda, kau mau kemana lagi,” tanya Al-Muhasibi.
“Bangkitlah tuan untuk pergi bersamaku,” begitu ajaknya singkat.
Aku pun,” kata Al-Muhasibi lebih lanjut, “segera bangkit memperturutkan kehendaknya. Lama kami menelusuri perjalanan. Ternyata yang dituju tiada lain istana kerajaan Al-Makmun yang megah itu. Setelah kami mendapatkan izin pengawal, kami segera memasuki istana dan mendapatkan Baginda sedang duduk di singgasananya. Ketika itu aku segera menjauh dari pemuda itu, dimana di perjalanan tadi ia telah mengatakan akan memberi nasihat kepada Baginbda sampai tuntas, tas… tas…
Dan ketika aku duduk,” kata Al-Muhasibi lagi, “pemuda itu langgsung mencecar Baginda dengan berbagai nasihat yang memanaskan. Diantara yang aku dengar ia mengatakan:
“Wahai penguasa zalim, aku ikut terseret menjadi zalim jika tidak berani mengatakan bahwa diri Baginda itu zalim. Aku memohon ampunan kepada Allah, dimana selama ini belum sempat mengatakan semua itu pada diri Baginda, dan seterusnya…
Sejenak kemudian, pemuda itu bermaksud keluar istana, namun Baginda segera menghentikan dengan sebuah pertanyaan:
“Siapa kau?”
“Aku salah seorang pengembara, dimana selama ini aku telah berusaha sekuat kemampuan agar amal-amalku bisa sejajar dengar orang-orang shiddiqin terdahulu, namun tampaknya mereka tetap tidak terkejar oleh seluruh amalku. Demi mengejar martabat mereka, aku segera mengambil terobosan dengan memberanikan diri untuk menyampaikan beberapa penggal kalimat itu kepada Baginda.” begitu pemuda itu berkilah.
Merah padam Al-Makmun dibuatnya, sehingga Baginda segera menitahkan kepada para algojo untuk segera memenggal lehernya. Dengan mata telanjang, aku menyaksikan kepala pemuda itu menggelinding di altar istana. Sejenak kemudian beberapa orang asing sudah tampak berdatangan untuk menyeret bangkai pemuda itu untuk dikuburkan. Sesudah itu aku sudah tidak lagi mendengar beritanya.
Setelah kejadian ini, betul-betul aku dihinggapi trauma berkepanjangan. Sebuah peristiwa seakan di alam mimpi. Untuk meredakan kegundahan, pada malam harinya aku pergi ke masjid dekat kuburan pemuda itu. Suasana malam pun begitu sepi, sehingga kantukku tak tertahankan lagi. Tiba-tiba datang mimpiku, dimana aku melihat para bidadari yang begitu jelita sedang mengelilingi pemuda itu. Ketika itu ia mengatakan:
“Wahai Harits Al-Muhasibi, demi Allah engkau termasuk mereka yang menyembunyikan berbagai musibah yang menimpa dan selalu taat kepada Tuhan serta menutupi pengalaman spiritualnya agar tidak menguap terlanda penyakit hati.”
“Di mana orang-orang semacam itu sekarang berada?,” tanya Al-Muhasibi dalam mimpi tersebut.
“Lihat, sekarang mereka menjemputmu,” sahut pemuda itu lagi.
Aku segera menoleh, dan tampak sebuah rombongan yang manaiki kuda menuju ke arahku. Maka segera saja mereka aku tanya:
“Siapa kalian?”
“Kami merupakan golongan yang selalu menutupi musibah yang menimpa. Pemuda itu telah menghayati apa yang kau ucapkan sehingga merasakan dirinya tidak berharga lagi ketika mengetahui martabat yang kau sandang. Segera saja ia keluar untuk melaksanakan amar makruf dan nahi anil munkar sehingga sekarang ia dikumpulkan Allah bersama kami,” begitu kalimat yang didengar Al-Muhasibi dalam mimpi.
Semoga di persada ini selalu bermunculan mereka yang giat melaksanakan amar makruf dan nahi anil munkar agar penduduknya mendapat ridha Allah dan berbahagia di dunia dan akhirat ◙

Tidak ada komentar:

Posting Komentar