Dikisahkan bahwa menjelang kematian Muhammad bin Aslam Ath-Thusi, seorang pelayannya yang bernama Abu Abdillah mendekat di tempat ia berbaring. Ketika itulah ia mengatakan kepada Abu Abdillah:
“Wahai Abu Abdillah, aku memberi kabar gembira kepadamu mengenai sikap baik Allah terhadapku akhir-akhir ini. Allah rasanya telah memberi karunia besar teradapku, terutama di akhir hayat ini aku tidak punya lagi sekeping dirham pun yang aku simpan yang kelak akan menjadi beban hisabku nanti.
Dengan demikian Allah memang telah mengetahui kelemahanku bahwa diriku memang tidak akan mampu menghadapi hisab. Karena belas kasihan-Nya, Dia tidak memberi kesempatan kepadaku untuk memiliki harta yang akan aku wariskan. Sekarang,” sambung Muhammad lagi, “Tutuplah daun pintu itu agar tidak lagi ada orang yang mengunjungi diriku sampai aku wafat nanti.
Mengertilah bahwa menjelang kepergianku dari dunia sekarang ini, aku tidaklah memiliki warisan apa pun terkecuali baju luar, selimutku dan tempat air wudhuku ini, disamping beberapa kitab yang tidak sampai memberatkan orang yang membawanya.
Adapun uang tiga puluh dirham ini adalah milik anakku yang didapatkan dari pemberian saudaranya, dimana aku sendiri belum mengerti, apakah uang ini betul-betul halal bagiku atau tidak. Mengingat Rasulullah Saw. pernah bersabda terhadap seorang sahabatnya:
“Kamu dan harta-hartamu adalah milik ayahmu.”
Bersabda pula:
“Sebaik-baik harta yang dimakan seseorang adalah hasil keringatnya sendiri.”
Padahal anak merupakan hasil kerja dan hasil jerih payah bapaknya. Dengan demikian jika aku telah mati hendaknya uang itu sebagiannya kau belikan kafan. Namun jika cukup dengan harga sepuluh dirham, kau jangan membeli yang seharga lima belas dirham.
Aku berpesan pula agar selimutku ini engkau tutupkan ke seluruh tubuhku, sedangkan baju luarku ini hendaknya kau ikutkan pula sebagai kafan. Dan mengenai tempat airku, hendaklah segera kau sedekahkan kepada orang miskin agar dipergunakan sebagai tempat air wudhu.”
Setelah empat hari berlalu, Muhammad bin Aslam pun wafat. Namun yang mengherankan, mengapa diriku yang menerima pesan-pesan terakhirnya itu, padahal masih banyak orang yang lebih dekat dengannya.
Maka ketika janazah telah diberangkatkan dari rumah duka, banyak sekali para wanita yang menyambut dengan penghormatan terakhir. Bahkan aku mendengar mereka mengatakan:
“Wahai sekalian manusia, inilah seorang ‘alim yang meninggal dunia dengan tanpa meninggalkan warisan apa pun terkecuali selimut dan baju luar yang menjadi kafannya. Tidak sebagaimana layaknya para ulama sekarang, mereka biasanya sibuk mengurus kepentingan perut. Bahkan begitu menggelar ilmu di masyarakat, dalam jangka dua atau tiga tahun sudah bisa meraup berbagai kapling tanah dan menumpuk harta.”
Selamat jalan figur zuhud asing. Asing di mata para manusia, namun begitu dekat dalam pandangan Allah. Semoga kami mampu menyintai figur-figur sepertimu.
Senin, 04 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar