Hati merupakan tempat pandang Allah sebagaimana wajah adalah tempat pandang manusia. Akan halnya anggauta zhahir yang diperintahkan Allah untuk menghiasinya dengan berbagai amal shalih, dilarang-Nya pula mengotori dengan berbagai macam kejhatan atau amal buruk lainnya. Demikian pula hati oleh Allah diperintahkan untuk dihiasi dengan berbagai amal shalih, sebagaimana tawakal, shabar, qana’ah, yakin dan sebagainya, juga dilarang untuk mengotori dengan berbagai amal buruk, sebagaimana hasad, takabur, ujub, riya. Malah dalam amal-amal hati ini, para shalihin betul-betul lebih memperhatikan dari pada amal zhahir. Sebab amal-amal zhahir itu disamping berfungsi untuk memenuhi panggilan Allah, namun juga sebagai penghapus segala kotoran dan daki yang berada dalam hati. Dengan demikian jika saja amal zhahir itu begitu banyak, maka hati seseorang pun akan bertambah bersih dan begitu dekat dengan Allah. Namun jika saja dikotori dengan berbagai amal zhahir yang buruk, maka lama-kelamaan sebuah hati juga akan buram yang berakhir dengan gelap sehingga akan sukar menerima hidayah. Lebih jelasnya sebuah amal zhahir yang akan menjadi penghapus cermin hati, itu dapat dikatakan masih melalui sebuah penghantar. Lain halnya dengan tawakal, shabar, dan amal-amal hati yang lain, sikap seperti ini merupakan penghapus cermin hati secara langsung. Dengan demikian hati akan lebih bersih dan bening jika digosok dengan penghapus yang langsung ini jika dibandingkan dengan penghapus yang masih memakai penghantar.
Keutamaan amal hati yang melebihi amal-amal anggauta badan yang lain, ini pernah disabdakan Rasulullah bahwa tidaklah iman manusia seluruh alam itu akan bisa mengungguli iman Abu Bakar, hal itu bukan karena banyaknya shalat atau pun puasanya, namun karena adanya sesuatu yang bersemayam di dalam lubuk hatinya.
Sahabat Anas bin Malik mengatakan :
“Pada suatu hari kami duduk-duduk bersama Rasulullah Saw, sejenak kemudian beliau mengatakan :
“Sebentar lagi dari jalan ini akan muncul di hadapan kalian seorang ahli surga”.
Kemudian datanglah seorang lelaki dari kaum Anshar yang mengibaskan janggutnya setelah selesai menjalankan wudhu, ia tampak menenteng dua belah terompahnya dengan tangan kiri, lantas mengucapkan salam. Namun pada keesokan harinya, Rasulullah pun mengatakan sebagaimana apa yang telah dikatakannya kemarin. Dan ternyata yang muncul tetap laki-laki itu. Dan pada hari ke tiga, Rasulullah mengatakan lagi sebagaimana ucapan yang pertama itu, dan yang muncul tetap juga lelaki tersebut. Hal ini membuat para sahabat yang lain betul-betul ingin mengetahui kehebatan lelaki tersebut dan apa rahasia di balik sabda beliau sampai tiga kali.
Setelah Rasulullah Saw. pergi, maka lelaki itu segera diikuti dari belakang oleh Abdullah bin Amru bin Ash untuk melihat dari dekat apa saja amal yang dilakukan ketika menyendiri. Maka dengan alasan ada konflik dengan ayahnya, Abdullah mengatakan kepada lelaki itu untuk menginap barang dua atau tiga malam di rumahnya.
“Adakah saudara berkenan memberi tumpangan kepada saya tiga malam saja kalau diperbolehkan.” begitu Abdullah mengatakan.
“Boleh, boleh, betapa bahagia aku mendapat teman untuk berbincang-bincang.” begitu sahut lelaki itu.
Maka Abdullah pun menginap di rumah lelaki itu selama tiga malam, dimana dapat diketahui, ternyata ia tidak pernah melakukan shalat sunnah malam, hanya saja ketika membalikkan badan di tempat tidurnya, ia terdengar berdzikir kepada Allah. Dan setelah waktu Shubuh tiba, barulah ia bangkit untuk menjalankan shalat fardhu.
Waktu tiga hari sudah cukup untuk menyingkap rahasia amal lelaki itu, namun Abdullah ternyata tidak berhasil menemukan jawabannya, malah Abdullah sendiri membilang tidak seberapa amal kebajikannya, kalau tidak boleh dikatakan meremehkan amalannya. Kemudian dengan terang-terngan Abdullah mengatakan padanya:
“Wahai saudaraku, sebenarnya antara diriku dan ayahku tidak terjadi konflik apa pun, namun selama ini aku telah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan mengenai martabatmu yang begitu tinggi di sisi Allah sehingga dirimu secara langsung dikategorikan Rasulullah sebagi penduduk surga. Hal inilah yang menggelitik hatiku untuk mengetahui lebih dalam mengenai perbagai amalmu sehingga aku menyempatkan diri untuk menginap di rumahmu dengan alasan terjadi konflik dengan ayahku. Ternyata sampai sekarang aku belum menemukan amal-amalmu yang aku anggap bernilai tinggi. Maka aku mohon hendaklah engkau berterus terang, apa kiranya amal yang telah mengantarkan dirimu pada martabat yang begitu tinggi itu ?.
Lelaki itu hanya terbengong-bengong, kemudian mengatakan :
“Dirimu telah mengetahui sendiri mengenai seluruh amaliahku dengan tanpa ada sedikit pun yang aku sembunyikan, memang hanya itu amal-amalku.” begitu jawab lelaki tersebut.
Jawaban ini telah membuat Abdullah patah arang sehingga ia bangkit untuk segera berpamitan. Namun setelah beranjak beberapa langkah, ia mengatakan :
“Amal-amalku memang sebatas apa yang telah kau lihat sendiri itu, namun selama ini aku berusaha keras agar hatiku bersih dari mengkhianati (menipu) dan mendengki mengenai kebahagiaan apa pun yang di karuniakan Allah pada sesama Muslim”. begitu sambung lelaki tersebut.
Segera saja Abdullah bin Amru menukasnya :
“Itulah berbagai amal yang telah mengantarkan dirimu pada martabat yang begitu tinggi, dimana aku merasa tidak mampu untuk melaksanakannya.”
Setelah percakapan ini, Abdullah pun melangkahkan kaki untuk pulang dengan membawa sebuah keheranan serta membenarkan mengenai ketajaman pandangan hati (bashirah) Rasulullah Saw ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar