Kamis, 31 Desember 2009

Kritikan pada Gubernur

Kritikan pada Gubernur


Umar bin Abi Hubairah merupakan seorang gubernur yang diangkat oleh Baginda Yazid bin Muawiyah untuk daerah Irak dan sekitarnya. Pada suatu hari ia mengumpulkan seluruh Fuqaha’ dan Qurra’ Bashrah, Kufah, Madinah dan Siria. Dengan demikian para ulama yang berkumpul begitu banyak. Setiap seorang yang datang mendapat sambutan yang begitu hangat. Dan pada perhelatan itu tampak hadir pula seorang ulama yang terkenal, dia adalah Syeikh Amir Asy-Sya’bi. Pada kesempatan itulah Ibnu Abi Hubairah segera bertanya mengenai berbagai hal, baik mengenai urusan pemerintahan yang sesuai dengan tuntunan syari’at atau pun masalah kemasyarakatan. Dan terbukti setiap pertanyaan yang diajukan selalu dapat dijawab dengan cantik oleh Asy-Sya’bi. Sejenak kemudian, sang Gubernur pun menemui Syeikh Abu Sa’id seraya mengutarakan berbagai pertanyaan yang tidak terhitung pula. Dan mendapat jawaban yang tangkas pula darinya. Ketika itulah Ibnu Abi Hubairah mengatakan:
“Sungguh dua ulama ini termasuk dua pembesar yang tiada taranya di daerah masing-masing. Asy-Sya’bi merupakan pembesar daerah Kufah, sedangkan Abu Sa’id pembesar Bashrah,” begitu Ibnu Abi Hubairah memuji keduanya.
Namun beberapa saat kemudian, Gubernur itu memanggil seorang pengawalnya, kemudian ia memerintahkan agar seluruh hadirin dimohon keluar istana sebentar, karena Gubernur hendak mengadakan tatap muka secara khusus dengan Asy-Sya’bi dan Abu Sa’id. Para hadirin pun segera keluar dari istana. Pada kesempatan itu Ibnu Abi Hubairah segera menyampaikan keluhannya:
“Wahai Abu Amar (Asy-Sya’bi), saya merupakan orang kepercayaan Baginda Yazid bin Muawiyah untuk mengawasi daerah Irak dan menyelenggarakan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian aku wajib taat pada pemerintahan pusat. Padahal di sisi lain, aku juga dituntut untuk menyantuni dan memperhatikan kepentingan seluruh rakyat di wilayahku. Yang menjadi beban pikiranku, saat ini aku sedang menguasai harta benda dari berbagai sektor yang aku simpan dalam Baitul Maal. Maksudku jika nanti telah sampai saat rakyat berhajat kepadanya, harta itu akan segera aku distribusikan kepada mereka. Namun belum sampai maksud itu terlaksana, Baginda Yazid segera memanggilku dan menyarankan agar harta itu tidak perlu di kembalikan pada rakyat. Mendapat teguran seperti itu aku tidak mampu untuk menolaknya atau meluluskan kehendaknya. Adakah saya akan terkena dosa jika harta itu aku berikan saja kepada pemerintahan pusat. Padahal maksud hati sangat besar dalam memperhatikan nasib rakyat?,” begitu pertanyaan yang diajukan sang Gubernur.
“Semoga sikapmu mendapat ridha Allah!. Wahai Ibnu Abi Hubairah, Baginda adalah semisal orang tua kita. Dalam arti terkadang mereka bertindak benar, namun tidak jarang juga bertindak salah,” begitu jawab Asy-Sya’bi seakan memberi angin segar pada Gubernur sehingga wajahnya tampak berbinar kegirangan.
“Kalau demikian, aku ucapkan Alhamdulillah. Aku begitu puas dengan jawaban ini,” sambung Gubernur lagi. Kemudian menoleh pada pada Syeikh Abu Sa’id seraya mengatakan:
“Kalau pendapatmu bagaimana, Wahai Syeikh!”
“Telah aku dengar seluruh keluhanmu tadi. Mestinya nasib rakyat yang wajib engkau perhatikan lebih dahulu, dan mereka harus engkau jaga ketenteramannya semaksimal mungkin, sebab aku telah mendengar seorang sahabat yang bernama Abdurrahman bin Samurah mengatakan: “Rasulullah Saw, telah bersabda:
“Barang siapa mengurusi kepentingan rakyat, kemudian ia tidak memperhatikan keluhan dan nasib mereka, Allah akan mengharamkan dirinya memasuki surga.”
“Wahai Ibnu Abi Hubairah,” lanjut Abu Sa’id lagi, “Hak Allah adalah lebih wajib diperhatikan daripada kepentingan Amiril Mukminin. Demikian pula perintah Allah lebih wajib ditaati. Namun tidak perlu adanya taat macam apa pun terhadap makhluk yang menggiring hamba untuk berbuat maksiat kepada Sang Khalik. Cobalah Anda cermati lebih dalam lagi, adakah surat Amiril Mukminin yang telah Anda terima itu sejalan dengan Kitabullah! Jika saja tidak berlawanan, intruksi Baginda melalui surat itu boleh engkau laksanakan. Dan jika berseberangan, segeralah Anda membuangnya jauh-jauh.
Wahai Ibnu Abi Hubairah, bertakwalah kepada Allah, sebab kita tidak terlalu lama berada di atas bumi ini, tegasnya Malaikat utusan Allah segera akan menjemput nyawa kita sehingga anda mau tidak mau akan melepaskan kekuasaan yang kini Anda nikmati menuju rumah abadi. Dengan demikian akan lebih baik anda segera melepaskan segala kekuasaan dan keduniaan Anda. Dan segera tekun beramal untuk kebahagiaan abadi diri anda sendiri.
“Wahai Ibnu Abi Hubairah, Allah akan begitu mudah menghalangi segala ancaman buruk Baginda Yazid bin Mu’awiyah terhadap Anda. Namun siapa yang akan menghalangi ancaman Allah terhadap Yazid. Dengan demikian mestinya kekuasaan Allah harus dipandang di atas segala-galanya. Apalagi jika saja Allah menimpakan siksaan kepada kita, sudah pasti tiada seorang pun yang akan mampu menanggulanginya. Sekarang Anda aku peringatkan mengenai murka Allah yang kelak akan menimpa mereka yang durhaka,” begitu Abu Sa’id menasihati panjang lebar. Namun tampaknya Ibnu Abi Hubairah belum merasa puas, sehingga ia masih mengutarakan pendapatnya lagi.
“Wahai Abu Sa’id,” sergah Ibnu Abi Hubairah lagi, “hendaklah Anda menaruh kasihan terhadap diri Anda sendiri. Lebih tegasnya janganlah mencerca lagi terhadap Amiril Mukminin. Sebab dalam kondisi bagaimana pun, Baginda termasuk figur yang cukup luas ilmunya dan berhikmah cukup dalam, serta memiliki kredibilitas yang mengagumkan. Sampai kini aku masih berkeyakinan bahwa pribadi Baginda itu memang pantas untuk diberi kekuasaan yang tinggi, terbukti Allah berkenan memberi karunia kekuasaan besar pada Baginda. Terutama niat dan kemuliaan Baginda itu telah selayaknya jika dibalas Allah dengan kemegahan kerajaannya.
Dalam menanggulangi ucapan Gubernur ini, Abu Sa’id tidak kalah sengitnya dalam mengutarakan tangkisan.
“Wahai Ibnu Abi Hubairah!, hendaknya kau sadari bahwa hisab Allah akan segera menimpamu. Siksaan atau kemarahan yang kau timpakan pada mereka yang tidak bersalah akan segera dibalaskan Allah. Dia akan selalu mengintai perbutan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian akan lebih baik jika dirimu selalu dekat pada mereka yang sering memberi nasihat agar amal-amalmu menjadi baik, serta mendorong kemauanmu untuk lebih giat memikirkan akhirat daripada berdampingan dengan sosok yang selalu membiusmu mengenai keduniaan dan memberikan angan-angan muluk yang tidak berkesudahan,” begitu sergah Abu Sa’id.
Seketika itu Ibnu Abi Hubairah segera bangkit meninggalkan Abu Sa’id dan Asy-Sya’bi dengan muka merah padam. Segera saja Asy-Sya’bi mengatakan pada Abu Sa’id:
“Wahai Abu Sa’id, Anda telah membuat murka hati Gubernur dan membuat panas hatinya. Dengan demikian, besar kemungkinan ia tidak akan mau memberi sumbangan apa pun terhadap kita, padahal tujuan kita ke sini tidak lain agar mendapatkan maksud itu.”
“Pergilah kau, minggat .. !,” begitu kata Abu sa’id secara kasar kepada Asy-Sya’bi.
Namun sejenak kemudian Ibnu Abi Hubairah segera kembali menemui Abu Sa’id lagi dengan membawa kantung yang penuh dengan dinar. Dan ternyata seluruhnya dihadiahkan pada Abu Sa’id. Sedangka aku,” kata Asy-Syabi, “dibiarkan saja tanpa diberi hadiah sepeser pun. Memang telah sepantasnya jika Abu Sa’id diperlakukan begitu hormat, sedangkan aku memang layak pula jika tidak diperhatikan. Aku sadari yang demikian itu, mengingat martabat Abu Sa’id begitu tinggi. Aku belum pernah melihat seorang ulama yang begitu kharismatik selain Abu Sai’d. Ia semisal kuda Arab yang begitu tangkas yang berada di tengah-tengah kawanan kuda malas sehingga Abu Sa’id merupakan idola yang selalu tampil ke depan dengan diplomasinya yang begitu cekatan dalam menghadapi siapa pun. Sedangkan pada biasanya yang kami ucapkan hanya, “Demi toleransi, demi menjaga perasaan, demi … demi.. kian..
Setelah menyaksikan percakapan Abu Sa’id yang tegas itu, aku segera pulang dengan menyimpan sebuah ungkapan dalam hati, “Aku takkan berdekatan lagi dengan para penguasa, aku tak mampu berbuat semisal Abu Sa’id. Salah-salah malah aku sendiri yang celaka.” ◙

Tidak ada komentar:

Posting Komentar