Indahnya Pernikahan (Dini !)
Perlu disadari bahwa menikah merupakan sarana untuk memperkuat agama, disamping menjaga diri dari perbuatan yang tercela sehingga syetan tidak mempunyai celah lagi untuk membuat seseorang terperosok dalam dosa besar. Dari pernikahan tersebut akan mendapat karunia dan aset pahala yang tidak pernah terputuskan, itulah putra-putri yang akan menjadi kebanggaan Rasulullah nanti di hari kiamat ketika para Nabi saling membanggakan banyaknya para pengikut.
Dengan demikian dalam pernikahan itu sendiri kalau dicermati akan mengandung lima kepentingan :
Pertama, mendapatkan anak.
Dalam hal ini akan mengandung beberapa manfaat :
a. Menggapai ridha Allah
Hal ini betul-betul perlu diperhatikan, sebab jika saja maksud yang pertama ini gagal, maka keturunan manusia akan punah atau minimal menurun sebagaimana apa yang terjadi di sebagian negara Eropa yang sekarang mulai didominasi oleh ummat Islam yang berkembang pesat. Padahal negara sangat membutuhkan terhadap tenaga kerja untuk mengolah perbagai kebutuhan hidup dan berbagai kepentingan yang lain.
b. Menggapai ridha Rasulullah yang mendambakan terhadap banyaknya ummat Islam sehingga Rasulullah pernah mengatakan :
“Sebaik-baik isterimu adalah wanita yang banyak anaknya dan sayang pada suaminya”.
c. Mengharapkan do’a putra-putri yang sahalih dan shalihah setelah si orang tua itu sendiri meninggal dunia sebagaimana apa yang kita dengar dari Rasulullah dalam sebuah dadits bahwa amal anak adam itu seluruhnya akan terputus terkecuali tiga macam. Di antaranya adalah do’a anak-anak yang shalih. Namun jika ada yang menyanggah, terkadang seseorang memiliki anak yang tidak bersikap shalih ?. Sanggahan ini akan dimentahkan oleh custom (adat yang berlaku) karena pada umumnya seorang anak akan berlaku shalih, apalagi kalau mereka diberi pendidikan dan diarahkan pada pengertian agama. Dengan demikian do’a seorang mukmin itu akan tetap diperhatikan Allah, baik dari mereka yang bersikap taat atau pun yang berlaku maksiat Sehingga si orang tua tetap akan mendapat pahala, karena anak-anak mereka merupakan hasil dari usaha mereka. Sedangkan mengenai kedurhakaan anak, orang tua tidak akan terbebani diakherat nanti sebagaimana firman Allah :
Dan seseorang yang berdosa tidaklah akan memikul dosa orang lain
(Al-An’am : 164 ).
d. Jika anak-anak itu mati ketika masih kecil, mereka akan dipersiapkan Allah sebagai pemberi syafaat terhadap orang tuanya nati di hari kiamat, sebagaimana Rasulullah Saw. telah mengatakan :
Bahwasannya seorang anak itu akan menarik kedua orang tuanya menuju surga.
Dan nanti, akan dikatakan pada serang anak, “Masuklah kau ke surga”. Namun anak itu tetap berhenti di pintu surga, ia tampak begitu susah seraya menjawab, “Aku tidak sudi memasuki surga terkecuali jika kedua orang tuaku bisa menyertaiku. Maka segera dikatakan pada para malaikat,”Masukkanlah kedua orang tuanya untuk menyertainya ke dalam surga.
(Hadits dari riwayat Bahzi bin Hakim dari ayahnya dengan isnad jaiyid).
Dikisahkan bahwa An-Najihy seorang ulama yang terkenal shalih umurnya sudah berangkat tua, namun belum juga mempunyai seorang pendamping. Sebenarnya telah beberapa kali dibujuk oleh beberapa karibnya untuk segera menikah, namun dengan berbagai alasan ia tetap belum mau beranjak untuk segera mengikuti sunnah Rasul itu. Anehnya pada suatu hari ketika ia baru saja bangun dari tidur, segera saja ia bertandang ke rumah karibnya seraya mengatakan :
“Hendaknya kau sekarang mengawinkan aku dengan wanita yang kau tawarkan kemarin !”. begitu pinta An-Najihy.
Selang beberapa hari ia pun melaksanakan perkawinan yang menjadi harapan kebanyakan manusia normal itu. Sebenarnya karibnya itu menyimpan rasa heran dalam mencermati perobahan sikap An-Najihy itu, sehingga pada suatu hari ia sempatkan untuk mengutarakan keheranannya :
“Wahai An-Najihy !, mengapa pada akhirnya kau menikah juga. Bukankah selama ini kau bersikap begitu tegas menolak setiap wanita yang diajukan kepadamu ?.” begitu tanya sang karib.
“Pada suatu malam, “kata An-Najihy”, ketika aku sedang tidur bermimpi sepertinya kiamat telah tiba. Ketika itu aku bersama-sama seluruh makhluk berseba di altar hari kiamat menunggu segala keputusan yang akan aku terima. Namun di sana aku dilanda haus yang tak terperikan lagi sehingga leherku seakan putus karenanya. Nasib orang lain pun begitu pula, malah kesusahan betul-betul melanda hati setiap makhluk. Tiba-tiba saja muncul beberapa anak kecil yang menyela pada gugusan manusia dengan membawa berbagai kendi perak dan gelas-gelas mutiara yang ditutupi dengan sapu tangan indah. Tampak anak-anak itu begitu sigap dalam menyibakkan gerombolan manusia dan segera memberi minum pada orang-orang yang dipilihnya. Sialnya aku tidak termasuk yang beri minum. Maka segera saja salah seorang mereka aku kejar kemudian aku meminta minuman itu, namun apa kata anak itu :
“Engkau bukan ayahku, sebab yang aku beri minum hanya ayah dan ibuku.”
“Siapa kalian sebenarnya”. tanya An-Najihy.
“Kami merupakan anak-anak orang Islam yang mati ketika masih kecil”. sahut anak itu lagi.
“Lemaslah seluruh persendianku setelah mendengar jawaban yang menohok ulu hatiku itu. dari mana aku punya anak yang akan memberi minum diriku, padahal kawin saja belum”.begitu gerutu An-Najihy di dalam mimpinya.
“Setelah mengalami peristiwa dalam mimpi itu, aku segera bertandang ke rumahmu, wahai karib, agar aku segera mendapat pendamping hidup dan dikaruniai anak-anak yang akan menjadi aset pahala diriku yang tidak akan terputuskan”. sambung An-Najihy lagi
Si karib setelah mendapat keterangan itu hanya bisa manggut-manggut keheranan.
Kedua, menyumbat godaaan syetan dan menyalurkan syahwat ke arah yang benar, sehingga mata dan kemaluan bisa terjaga kesuciannya. Hal ini betul-betul menjadi problema yang mengganggu kejiwaan seseorang lelaki, sehingga sering kali hati selalu terbayang dengan masalah kemaluan perempuan, bahkan ketika shalat pun kadang terlintas. Padahal jika saja kata hati itu tampak pada orang lain, bah, betapa memalukan, sedangkan hati adalah sebagai tempat pandang Allah sebagaimana wajah luar merupakan tempat pandang manusia. Menyadari akan bahaya menahan pernikahan ini, Ibnu Abbas memberi tafsiran mengenai ayat :
Wamin ghaasiqin idzaa waqaba
Yakni memohon perlindungan dari kejahatan kemaluan tatkala telah ereksi. Sebab hal ini merupakan sebuah bencana yang tatkala telah bergerak, maka akal dan agama tidak akan lagi mampu menanggulanginya, kendati juga sebagai sarana meneruskan generasi, namun ternyata juga sebagai alat yang efektif bagi syetan untuk menjerumuskan seseorang dalam lembah kenistaan.
Ketiga, Memerangi hawa nafsu dan menggiring serta membiasakan diri untuk memperhatikan hak-hak keluarga, disamping bersabar berdampingan dengan anak dan isteri yang kebanyakan berperangai kurang baik serta berusaha memperbaiki kehidupan mereka dan memberi petunjuk kepada agama dan mencarikan rizki yang halal dan memperhatikan pendidikan mereka. Melaksanakan tanggung jawab semacam ini merupakan keutamaan yang luar biasa besarnya. Sebagaimana Rasulullah Saw. mengatakan :
Barang siapa melaksanakan shalat dengan baik dan menahan diri dari mengumpat seorang Muslim, namun beranak banyak dan berharta sedikit, maka ia akan memasuki surga bersamaku sebagaimana telunjuk dan jari tengah ini (bersama-sama).
(HR. Abu Ya’la dari Abu Sa’id Al-Khudry.)
Bahkan dikisahkan pula pada suatu hari banyak orang bertandang ke rumah Nabi Yunus untuk berziarah. Beliau pun begitu menyambut hangat para tamunya itu dengan berbagai hidangan yang tersedia. Hal inilah yang membuat Nabi Yunus sibuk melayani mereka sehingga harus mondar-mandir keluar masuk dari pintu ke pintu yang lain. Ketika isterinya melihat beliau tergopoh-gopoh itu, malah dengan ketusnya ia mengucapkan kalimat yang menyakitkan hati beliau. Bagaimana reaksi beliau ?. Ternyata hanya diam. Sejenak kemudian ia mengatakan kepada para tamunya :
“Wahai kaumku, janganlah kalian heran melihat perilaku isteriku yang demikian itu, sebab pada suatu kesempatan aku pernah berdo’a :
“Ya Allah, seluruh siksa yang akan Engkau timpakan padaku nanti di akherat, hendaklah Engkau tanggungkan kepadaku ketika hidup di dunia ini, jangan sampai aku mengalaminya di akherat nanti.” begitu pinta Nabi Yunus.
“Siksaanmu Aku laksanakan di dunia, yakni kau harus menikahi seorang wanita anak si fulan itu.” jawab Allah lebih lanjut.
Aku pun, “kata Nabi Yunus”, segera menikahi wanita yang ditentukan Allah itu, sehingga kalian bisa melihat sendiri bagimana perilakunya dan sikapku terhadapnya.
Keempat, menyalurkan kepuasan hati dan menyenangkan perasaan dengan cara bercumbu dan bercengkerama dengan wanita isterinya. Aktivitas yang demikian itu akan lebih memperkuat dalam beribadah, sebab pada umumnya nafsu seseorang akan cepat bosan jika dihadapkan pada peribadahan secara intensif, akan segera berlari menjauh dari berbagai hak dan kewajiban. Dengan demikian kalau nafsu itu terus ditindas dan sedikit pun tidak diberi kewenangan untuk memperturutkan kesenangannya, bisa jadi ia akan bersikap lebih menjauh dari segala kebenaran. Sedangkan bersenang-senang dengan isteri akan bisa mengendorkan saraf yang selama ini terbebani dengan berbagai tanggung jawab untuk sementara waktu, kemudian nafsu itu akan segera bangkit untuk diarahkan pada segala kewajibannya lagi. hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Ali bin Abi Thalib :
“Istirahatkanlah hati kalian pada saat-saat tertentu, sebab jika saja hati itu dipaksakan (melaksanakan berbagai tanggung jawab), ia akan buta”.
Demikian pula Rasulullah mengatakan :
“Dunia yang paling membahagiakan hatiku ada tiga macam, yakni wewangian, wanita-wanita isteriku dan penenang hatiku yaitu melaksanakan shalat.”
(Hadits dari Anas bin Malik dengan isnad jaiyid).
Kelima, Menyerahkan urusan rumah tangga pada seorang isteri, baik mengenai masak, mencuci dan membersihkan lantai dan berbagai macam hal yang lain. Sebab jika saja seorang lelaki harus mengurus semuanya itu, ia akan menyia-nyiakan sebagian banyak waktunya sehingga tidak lagi bisa menambah pengetahuan atau mengerjakan aktivitas lain yang sangat penting. Dengan demikian seorang isteri yang shalihah, ia malah akan membantu seorang suami untuk menegakkan agama dan menambahkan pahala suaminya. Rasulullah Saw. telah mengatakan :
“Aku diberi kelebihan di atas Nabi Adam dengan dua macam perkara. Pertama, isteri Nabi Adam sebagai pendukung dalam melaksanakan kemaksiatan, sedangkan para isteriku malah membantu dalam melaksanakan ibadah. Kedua, yang menggoda Nabi Adam berupa syetan kafir, sedangkan yang menyertaiku adalah syetan Muslim, dengan demikian ia tidak akan menyuruh terkecuali yang baik-baik saja.
(HR. Al-Khathib dari Ibnu Umar di dalam At-Tarikh) ◙
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar