Tersebutlah seorang yang sangat pemberani dalam membela kebenaran di zaman Khalifah Abdul Malik bin Marwan selaku khalifah yang berkedudukan di kota Damaskus. Ia tidak gentar dalam membenahi segala hal yang dirasakannya tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, kendati harus menghadapi segala rintangan dan ancaman apa pun. Ia bernama Hathith Az-Zaiyat.
Pada suatu hari ia mengadakan ceramah yang berthema amar makruf dan nahi anil munkar dengan membenahi segala penyelewengan, baik yang terjadi di masyarakat atau pun di pemerintah kerajaan. Ketika itu ia sudah dicurigai oleh para pengawal kerajaan, bila bicaranya mesti mengarah pada penghujatan penyelewengan yang berada di lingkup kerajaan Bani Umayah. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan atau tegasnya untuk membungkam kebenaran dan keadilan, seorang Panglima kerajaan yang bernama Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi segera mengirimkan mata-mata untuk mengawasi apa yang diucapkan Hatith Az-Zaiyat itu. Terbukti para informan itu mendapati Hathith sedang berpidato dengan menghujat sikap Baginda beserta kroninya yang telah bertindak menyeleweng dari aturan-aturan agama. Maka dampaknya sungguh mengerikan. Hatith segera diborgol dan diseret para informan kemudian dihadapkan pada sang Panglima untuk mempertanggungjawabkan segala ucapannya. Setelah Hatith berada di hadapan Panglima itu, segera saja ia memancing dengan pertanyaan:
“Adakah kamu yang bernama Hathith?”
“Betul, tidak salah lagi,” jawab Hathith singkat.
“Bertanyalah kepadaku,” lanjut Hajjaj bin Yusuf, “Mengenai apa pun jua. Janganlah engkau merasa takut, sebab aku telah berjanji kepada Allah ktika berada di Maqam Ibrahim sewaktu aku melaksanakan haji dahulu bahwa aku akan selalu bersikap bijaksana dalam menghadapi tiga masalah. Pertama, jika aku ditanya mengenai masalah apa pun, aku akan berusaha menjawab dengan sejujurnya. Kedua, jika aku menghadapi ujian Allah, aku akan berusaha bersabar sekuat kemampuanku. Ketiga, jika dalam keadaan bahagia, aku akan berusaha untuk memperbanyak rasa syukur kepada Allah.” Begitu Panglima itu menguraikan alasannya, seakan berusaha menyirnakan rasa khawatir Hathith. Hal inilah yang membuat Hatith lebih lapang lagi untuk menyampaikan segala perihal yang menjadi ganjalan hatinya.
“Bagaimana pendapatmu mengenai pribadi saya,” begitu tanya Pnglima Hajjaj.
“Kau merupakan musuh Allah di muka bumi-Nya. Terbukti kau merusak berbagai kemuliaan yang mestinya harus dihormati, kau juga telah bertindak ngawur membunuh hamba-hamba Allah dengan hanya berdasar sebuah prediksi dan prasangka yang belum tentu benarnya,” begitu Hathith menyampaikan pendapatnya dengan berapi-api.
“Kalau demikian, bagaimana pendapatmu mengenai Amiril Mukminin – Abdul Malik bin Marwan?,” sambung Hajjaj bin Yusuf lagi.
“Lebih-lebih Baginda sendiri. Ia merupakan figur yang lebih besar kedurhakaannya daripada diri Anda. Kalau dipikir secara bijak, Anda hanyalah merupakan bagian dari berbagai bentuk kedurhakaan Baginda Abdul Malik itu,” begitu Hatith menyampaikan uraian yang membuat Hajjaj geram karenanya.
Ternyata keberangan Hajjaj tidak sampai di situ, ia lantas memanggil para pengawal di sekitarnya untuk segera menyeret Hathith dan menyiksanya sampai mati. Maka tubuh Hathith segera menjadi bulan-bulanan para pengawal. Dan setelah berselang beberapa saat, tubuh Hathith segera di ikat beberapa tali yang di pegang para pengawal itu laksana kulit domba yang di bentangkan. Setelah itu mereka segera mengambil beberapa bambu yang ujungnya di belah-belah dan diruncingkan hingga menyerupai senjata bubu. Para pengawal itu pun menohok tubuh Hathith berkali-kali hingga banyak dagingnya yang tersangkut di ujung bambu dan darah berceceran di mana-mana. Dalam keadaan seperti ini, tidak sepenggal kalimat pun keluar dari mulut Hathith. Ia berusaha menahan penderitaan ini, dan tanpa mau mengadukan rasa sakitnya pada seorang makhluk. Dan setelah Hathith ini mendekati sakaratul maut, seorang pengawal segera mendekati Hajjaj seraya mengatakan:
“Sebentar lagi Hathith akan segera mampus, wahai Panglima.”
“Cepat bawa keluar sana!, lemparkan dia di depan pasar agar disaksikan banyak orang,” dengan muka merah padam Hajjaj yang celaka itu menyuruh segera memberesi.
Dan ketika berada di depan pasar itulah, kawan Hathith yang bernama Ja’far dan seorang lagi, segera mendekati untuk bertindak memberi pertolongan kehidupan Hathith kalau saja masih dimungkinkan.
“Hathith!, adakah aku masih bisa memberi pertolongan kepadamu,” begitu kata Ja’far dengan air mata yang tertahan agar tidak tampak oleh para pengawal Hajjaj.
“Aku sangat haus, bawakan kemari segelas air untuk membasahi kerongkonganku,” pinta Hathith kendati dalam keadaan kritis.
Kawan-kawan Hathith itu segera mengambilkan segelas air dan langsung diminumkan ke mulutnya. Namun setelah itu, ia langsung menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ketika dihitung, ia baru berumur 18 tahun.
Innaa lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Selamat jalan, wahai pembela kebenaran. Semoga masih ada pribadi-pribadi pemberani seperti dirimu yang tidak merasakan takut lagi terhadap berbagai cercaan dan celaan, sehingga sebuah kebenaran akan selalu bergaung dan di dengar oleh hamba-hamba Allah di persada.◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar