Berhaji di Rumah
Shalat Isya' baru saja ditunaikan. Namun kali ini suasana tampak hening, kendati pun masih banyak orang yang berthawaf mengelilingi Rumah Allah yang permulaan di bangun di muka persada ini. Itulah bangunan yang berhasil dibina oleh Nabiyullah Ibrahim dan Isma'il Alaihimas Salam, Ka'bah yang amat dimuliakan Allah. Rasulullah Saw bersabda bahwa:
Shalat di masjidku ini (Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat di masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram. Sedangkan shalat di Masjidil Haram adalah lebih utama daripada shalat di masjidku ini terpaut seratus shalat.
(HR. Ahmad dan ditashhih Ibnu Hibban dari Abdullah bin Zubair Ra).
Artinya, shalat di Masjidil Haram akan mengandung pahala seratus ribu pahala, jika dibandingkan dengan shalat di masjid yang lain, selain Masjid Nabawi. Begitu mulianya sebuah ibadah di sana, pantas saja jika Ka'bah tidak pernah sepi dari orang yanmg berthawaf dan melaksanakan shalat.
Pada sebuah kesempatan, pernah Abdullah bin Mubarak melaksanakan ibadah haji, namun baru saja thawaf dilaksanakan, beliau pun tertidur di Masjidil Haram. Tidurnya kali ini amat berlainan dari kebiasaannya, di mana ia telah bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit yang saling berbisik. Satunya mengatakan kepada yang lain:
"Berapa banyak orang-orang yang berhaji pada tahun ini?"
"Enam ratus ribu," jawab sang kawan.
Lantas ia bertanya lagi: "Adakah haji mereka diterima keseluruhan?”
"Tidak seorang pun yang diterima, hanya ada seorang tukang sepatu dari sebuah desa di Damsyik bernama Muwaffaq, dia tidak dapat berhaji, tetapi diterima hajinya sehingga semua yang haji pada tahun itu diterima berkat haji Muwaffaq," sergah malaikat kedua sangat mengejutkan.
Begitu Abdullah bin Mubarak mendengar percakapannya ini, ia langsung terbangun dengan gemetar. Dan setelah prosesi ibadah hajinya durasakan cukup, ia segera berangkat ke kampung di Damsyik yang alamatnya sangat jelas, sebagaimana petunjuk dalam mimpi itu. Kini ia mencari orang yang bernama Muwaffaq. Dengan susah payah dan bertanya ke sana kemari, pada akhirnya ia sampai di rumah orang yang bernama Muwaffaq. Diketuknya pintu rumah yang bersahaja itu, kemudian keluar seorang lelaki dan segera ia bertanya.
Adakah benar ini rumah tuan Muwaffaq?," tanya Abdullah dengan meyakinkan kebimbangan dirinya.
"Oh, tidak salah lagi, memang ini rumahnya, dan saya sendiri yang bernama Muwaffaq," sahut Muwaffaq melegakan.
Keduanya pun memasuki rumah dan Abdullah mendapatkan makanan dan minuman yang begitu cepat disajikan tuan rumah. Setelah keduanya berbincang-bincang ringan sehingga menjurus permasalahan ibadah haji, ketika itulah Abdullah mendapat kesempatan menanyakan perihal yang selama ini menjadi ganjalan hati dan belum terurai. Diutarakan pula mengenai sebuah mimpi yang baru saja dialaminya ketika tertidur di Masjidil Haram yang mengatakan bahwa seluruh haji ummat manusia bisa diterima Allah berkat kemuliaan Muwaffaq.
Mendapat keterangan ini, Muwaffaq tampak terkejut, ia merasa terlalu berharga diposisikan sedemikain rupa dalam mimpi Abdullah. Namun berhubung Abdullah merupakan seorang ulama besar, Muwaffaq tampak tidak bisa menganggap angin lalu terhadap mimpi yang dialami tamunya itu. Lama Muwaffaq berfikir, adakah dirinya layak menyandang - katakanlah sebagai pemberi syafaat ibadah - Ia tampak menguraikan satu persatu, ibadah mana yang kiranya layak diperhitungkan lebih, baik menurut ukuran dirinya atau ukuran syari'at. Pada akhirnya, hanya dengan mengira-ngira, ia mengatakan:
"Tadinya aku ingin berhaji, namun aku rasa tidak mampu melaksanakannya karena memang kondisiku tidak memungkinkan. Tetapi mendadak aku mendapat uang tiga ratus diirham dari pekerjaanku membuat dan menambal sepatu. Tersebab uang itulah aku berniat haji pada tahun ini, kendati pun isteriku dalam kondisi hamil.
Anehnya, pada suatu hari aku mencium aroma masakan daging dari rumah tetangga sebelahku ini. Begitu hidungku mengendus aroma itu, hatiku seakan tidak tahan untuk menelusuri, dari mana asal aroma tersebut. Setelah beberapa saat aku menginfestigasi, terbukti sumber aroma itu dari tungku dapur tetanggaku yang sudah menjanda. Aku pun segera bertandang ke sana dengan tanpa malu. Entah, ketika itu seolah tubuhku terdorong oelh kekuatan, yang aku sendiri tidak begitu menyadari. Setelah aku sampai di rumah janda itu, juga dengan tanpa malu aku mengatakan:”
"Alangkah mulianya jika hari ini ibu memberiku beberapa kerat daging yang sudah masak dan amat mengundang selera itu, aku amat menginginkannya," begitu pintaku amat lugas.
Namun dengan amat mengejutkan, wanita itu mengatakan, "Kali ini aku terpaksa membuka rahsiaku. Bagini tuan Muwaffaq, sebenarnya anak-anak yatimku sudah tiga hari tidak menelan makanan apa pun, dari itu aku keluar mencari makanan untuk mereka. Ketika di perjalanan aku bertemu dengan bangkai keledai yang tampaknya baru saja mati. Segera saja potong sebagian tubuhnya untuk aku masak. Dengan demikian makanan itu halal bagi kami, namun haram untuk makanan bagi tuan."
Mendapat jawaban ini, perasaan hatiku seolah diaduk, kasihan campur malu, mengapa aku memiliki tetangga yang kelaparan, sedangkan perutku sendiri tidak pernah kelaparan barang sesaat. Pantaskah aku membiarkan sesama Muslim menderita, sedangkan aku tidak tanggap pada kondisinya. Dalam keadaan sedemikian itu aku segera kembali ke rumah dan mengambil uang tiga ratus dirham, lantas aku serahkan kepada janda tetanggaku itu agar dengan segera ia dapat membeli bahan-bahan makanan untuk keperluan anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya. Selanjutnya Muwaffaq dengan terkekeh dan muka masam mengatakan: "Hajiku tidak di Makah, namun di depan pintu rumahku.”
Itulah kisah yang mengandung tuntunan yang amat mengesankan. Terbukti sebuah amal yang tampak ringan namun ternyata pahalanya melebihi ibadah haji, utamanya membantu pihak yang kelaparan dan menanggung anak-anak yatim.
Rasulullah pernah ditanya, "Ya Rasullah tunjukkanlah kepadaku amal perbuatan yang bila aku amalkan akan bisa menyebabkan masuk surga.”
“Jadilah kamu orang yang baik,” jawab Rasulullah.
Orang itu bertanya lagi, "Ya Rasulullah, bagaimanakah akan aku bisa mengetahui bahwa aku telah berbuat baik?”
“Tanyakan pada tetanggamu, bila mereka berkata engkau baik maka engkau benar-benar baik, dan bila mereka berkata engkau jahat, maka engkau pun orang jahat.”
Dalam Al-Qawa’id Al-Ahkam karya Syeikh Izzuddin Ibnu Abdis Salam, diutarakan bahwa memberi nilai lebih terhadap amal yang tampak sedikit tadi, itu sah-sah saja jika melihat besarnya karunia Allah. Bahkan juga bisa terjadi pada dua amal yang sama bentuknya, tetapi yang satu lebih banyak pahalanya dibandingkan dengan yang lain. Sebagai misal, yaitu karunia Allah yang dilimpahkan kepada ummat Islam yang pahalanya melebihi ummat sebelumnya, terutama dari Ahli Kitab. Periksa pula perbedaan pahala yang terdapat pada amal fardhu dan amal sunnah. Yang demikian itu tiada lain hanya karena karunia Allah semata.
Secara lahiriah, beribadah di malam Qadar adalah seperti beribadah di malam Ramadhan yang lain, namun di malam Qadar ampunan Allah begitu melimpah, bahkan keutamaannya melebihi seribu bulan, kendati pun bentuk ibadah di malam Qadar itu serupa persis dengan ibadah di malam yang lain. Contoh lagi, shalat di masjid Nabawi dan Masjidil Haram akan lebih utama daripada beribadah di masjid selain keduanya. Dengan adanya nash-nash seperti ini menjadi jelas bahwa Allah pada even-even tertentu telah mencurahkan karunia-Nya melebihi dalam kondisi normal. Dengan istilah yang lain dapat dikatakan "Itulah karunia Allah yang bertalian dengan situasi dan kondisi tertentu," sebagaimana Allah melipatgandakan amal di masjid Madinah terpaut seratus seribu kali dibandingkan ketika berada di masjid yang lain, kendati kualitas dan kuantitas amal itu sama persis dengan amal yang berada di luarnya. Periksa hadits:
Perumpamaan kalian (ummat Islam) dan perumpamaan dua Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) seperti seseorang yang menyewa pekerja. Ia mengatakan: Siapa yang mau bekerja untukku dari pagi sampai tengah hari dengan upah satu qirath!. Maka bekerjalah ummat Yahudi. Ia mengatakan lagi: Siapa yang mau bekerja untukku dari tengah hari sampai 'Ashar dengan upah satu qirath!. Maka bekerjalah ummat Nasrani. Kemudian ia mengatakan lagi: Siapa yang mau bekerja untukku dari 'Ashar sampai terbenam matahari dengan upah dua qirath!. Maka mereka itu kalian (ummat Islam). Mendengar tawaran ini marahlah orang Yahudi dan Nasrani seraya bergumam: Mengapa kami yang lebih banyak kerjanya namun lebih sedikit upahnya. Maka tuan tadi pun mengatakan: Adakah aku mengurangi barang sedikit pun dari upah kalian itu?
Hadits Ibnu Umar ibnu Umar ini jelas sebagai indikasi terhadap amal yang sangat sedikit yang berlipat-lipat pahalanya. Malah dalam hadits yang lain dijelaskan mengenai amal yang pahalanya tidak diukur lagi dengan berat atau sukarnya ketika mengerjakan. Periksa hadits:
Iman itu bercabang enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat La ilaha illal'Lah" dan yang paling rendah adalah menyingkirkan kotoran dari jalan. ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar