Makkah pernah terserang paceklik yang dahsyat sehingga bala kelaparan meraja lela, pencuripun berkeliaran memangsa apa saja yang kiranya bisa mengganjal perut mereka. Namun ada gerombolan yang begitu ditakuti penduduk. Dalam sekali menjarah, mereka pasti membawa hasil yang begitu besar. Mereka begitu ganas, hingga siapa saja yang menghalangi maksudnya, pastilah mereka akan membabatnya. Untuk menghadapi kedurjanaan ini, seluruh penduduk disekitar Makkah bersepakat selalu mengadakan penjagaan secara ketat dan tidak lupa mengkoordinir ronda malam dengan membawa senjata apa saja untuk menghadapi segala kemungkinan, demi menjaga harta benda yang dapat sebagai bekal akherat itu. Parahnya lagi kerusuhan itu bertepatan dengan musim haji yang telah tiba.
Pada kondisi seperti itu, tersebutlah seorang lelaki separoh baya dari daerah lain. Ia terkenal dengan ilmu dan ibadahnya, dimana dia masih mempunyai seorang ibu yang telah tua. Lelaki itu Atsim namanya. Sebenarnya pada tahun lalu dia telah menunaikan ibadah haji yang menjadi rukun baginya, namun karena belum puas saja, tahun berikutnya ingin menunaikan haji lagi sebagai amal sunnahnya. Dengan usaha yang begitu keras akhirnya dia bisa mengumpulkan bekal yang akan mencukupi kepergiaannya kali ini. Dan setelah mempersiapkan segalanya, tidak lupa dia memohon izin pada ibunya. Namun betapa terperanjatnya, ternyata si ibu tidak memberi izin. Hal ini tiada lain karena si ibu tadi membutuhkan sekali terhadap bantuan Atsim sebagai putra satu-satunya dan memang seolah-olah tak sanggup lagi menghadapi kesibukan sehari-hari tanpa bantuan anaknya itu. Dengan demikian jika saja Atsim itu pergi, jelas dia tersia-sia dimana kondisinya memang sudah renta. Namun Atsim tampaknya memaksakan diri hingga bertekad tetap pergi tanpa seizin ibunya lagi.
Demi mengetahui kepergian Atsim ini, ibu tadi betul-betul menderita lahir dan batin.
“ Atsim hanya seorang anakku satu-satunya dan menjadi gantungan hidupku, begitu tega dia meninggalkan aku. Apakah dia tidak ingat perut ini sebagai tempat berlindungnya. Mengapa secepat itu Atsim berobah.” begitu gerutu sang ibu.
Semakin hari hati ibu itu semakin terbakar kerinduan hingga pada suatu saat sudah tidak tahan lagi menghadapi kenyataan ini, akhirnya rindu itu berobah menjadi marah dimana ditumpahkan dengan sebuah do’a :
“ Ya Allah, perlihatkan pada Atsim yang durhaka itu kekuasaanMu.”
Do’a yang hanya sekejap, namun dari ucapan seorang ibu.
Maka pada suatu hari ketika Atsim ditengah perjalanan, seperti biasanya jika memasuki waktu malam, dia akan beristirahat dan mencari tempat untuk singggah dan melepaskan lelah dimana perjalanan itu diteruskan lagi ketika hari sudah pagi. Dengan hati yang lega, akhirnya Atsim memasuki sebuah masjid disuatu desa yang banyak pencurinya tadi. Begitu masuk, dia segera melakukan shalat seperlunya kemudian merebahkan diri untuk melepas lelah. Belum berselang lama tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk, ternyata masyarakat sedang mengejar pencuri yang memasuki suatu rumah penduduk. Sialnya pencuri itu menyelinap memasuki masjid hingga penduduk pun mengejar kesana. Namun ketika pencuri itu melihat bahwa didalam masjid itu ada orang, karena takut tertangkap maka segera saja dia berlari lagi entah kemana. Dan ketika para penduduk telah sampai di masjid, mereka mendapati Atsim yang sedang kebingungan. Tanpa dikomando, segera saja mereka menangkap Atsim ramai-ramai dan langsung dipukuli bertubi-tubi, untung saja tidak sampai mati. Esoknya dia pun diserahkan pada polisi untuk diproses verbal oleh hakim kerajaan. Beberapa hari kemudian setelah para hakim mempertimbangkan dan melihat pula dampak trauma masyarakat atas kebiadaban para pencuri dan perampok, maka Atsim dijatuhi hukuman potong tangan dan kaki serta dicongkel kedua belah matanya. Atsim pun memprotes dan mengajukan replik atas keputusan itu, namun publik malah mengatakan :
“ Mana pencuri mau mengaku.”
Maka hukuman itupun dilaksanakan oleh seorang algojo dibarengi suara gemuruh publik yang mengatakan :
“ Rasakan siksaan dari ulah perbuatanmu.”
Dalam kondisi ini Atsim pun menyadari bahwa bencana ini sebagai balasan menyakiti orang tuanya. Dan seketika itu pula dia membalas dengan berteriak :
“ Kalian jangan berkata begitu namun berkatalah : “ Inilah balasan orang yang ingin melakukan thawaf namun tidak mendapat izin dari orang tuanya.”
Lama kelamaan suara gegap gempita itu hilang, menyusul ada sebuah tangis yang panjang. Selidik punya selidik ternyata ada orang yang tahu bahwa Atsim itu merupakan seorang guru terhormat, tidak mungkin akan mencuri sebagaimana yang dituduhkasn selama ini, dan ternyata tangis itu berasal dari seorang muridnya.
Demi mengetahui persoalan ini, masyarakat betul-betul menyesal, dan banyak yang berlinang air mata ketika melihat kondisi Atsim yang seolah tidak bisa lagi diharapkan bisa hidup. Kemudian sang murid itu pun ditanya mereka mengenai alamat dan asal-usul Syeikh Atsim. Dan setelah mendapat penjelasan seperlunya, mereka segera saja membawa Syeikh Atsim itu ketempat asalnya untuk dipertemukan dengan sang ibu dan keluarga yang lain jikalau ada. Setelah kendaraan yang ditumpangi Syeikh Atsim itu telah sampai didepan rumah ibunya, mereka hanya menaruhnya didepan pintu, dimana dari arah rumah itu terdengar sang ibu berdo’a :
“ Ya Allah, jika saja Engkau menimpakan bencana pada anakku maka kembalikanlah dia padaku hingga aku melihat sendiri.”
Dengan samar-samar Syeikh Atsim mendengar suara ibunya, namun tidak mengerti kalau suara itu dari ibunya, sebaliknya ibunya juga tidak mengerti kalau yang berada didepan pintu itu anaknya. Dengan suara terputus-putus dia mengatakan :
“ Bu, saya seorang musafir yang kehabisan bekal, dengan kemurahan hati ibu hendaknya ibu memberiku makan dan minum sekedarnya.” begitu Syeikh Atsim mengiba.
“ Masuklah melalui pintu.” kata ibunya.
“ Aku sudah tidak punya kaki lagi, ibu.” sahut Syeikh Atsim.
“ Kalau begitu julurkan tanganmu dimuka pintu.” pinta sang ibu.
“ Aku juga sudah tidak mempunyai tangan.” jawab Syeikh Atsim.
“ Jika aku harus menyuapi kamu, itu akan termasuk kemaksiatan sebab kita berlainan mahram.” sergah sang ibu.
“ Ibu jangan khawatir, aku sudah tidak bisa melihat.” sambung Syeikh Atsim lagi.
Sang ibu terpaksa mendekati Syeikh Atsim dengan membawa sepiring makanan dan segelas air dingin. Namun begitu dia keluar dari pintu, maka langsung saja memeluk Syeikh Atsim erat sekali. Begitu pula Syeikh Atsim langsung mengerti bahwa wanita itu ibunya. Tangis dan rintihan menjadi satu, dunia seakan kiamat. Dan Atsim berusaha meraba kaki sang ibu untuk bersimpuh dibawahnya. Dan setelah berhasil, dia tempelkan mukanya dikaki sang ibu seraya mengatakan :
“ Aku anakmu yang durhaka, ibu !.”
Hati seorang ibu pun runtuh dan luluh lantak, seakan tidak mampu untuk meneruskan hidupnya lagi, maka ibu itu berdo’a pula :
“ Ya, Allah, jalan hidup kami begitu berliku dimana berakhir dengan kesengsaraan. Cukup sudah penderitaan ini. Sekarang juga aku bermohon padaMu agar kami segera Engkau panggil.”
Belum sampai do’a itu selesai, keduanya telah menghembuskan nafas yang terakhir.
Rabu, 30 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar