Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Sebuah ungkapan yang dipandang oleh Islam bukan sebagai lipstik pemanis bibir saja namun perlu dihayati dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan diarahkan untuk mencari ridha Allah. Dengan demikian akan dicatat sebagai amal yang mengandung kebajikan di sisi Allah. Persaudaraan yang sangat kental itulah yang telah mengikat hati generasi permulaan Islam, yakni antara kaum Muhajirin dan Anshar sehingga berupa ummatan wahidan, ummat yang satu. Berdiri sama tinggi dan duduk pun sama rendah, seiring sejalan dalam kebahagiaan dan penderitaan, tidak ada lagi pembatas dan jurang pemisah antara the have dan the have not, seluruhnya bahu membahu dalam menjunjung tinggi agama Allah.. Bukan sebuah generasasi yang ketika seorang tetangga telah bisa menjangkau mobil, tetangga lainnya segera disingkirkan dari peredaran. Juga bukan pribadi yang ketika merk teve yang dimiliki lebih unggul, kemudian hatinya dirayapi sikap congkak, sedangkan jiwa-jiwa mereka ternyata kosong dari nilai-nilai agama.
Persaudaraan adalah cerminan kekuatan Islam itu sendiri, sebagaimana apa yang telah diungkapkan oleh Rasulullah Saw. dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan At-Tirmidzi :
“Mereka yang berkasih sayang karena Allah akan berada di sebuah tiang yakut merah, dimana di bagian atas tiang itu bertengger tujuh puluh ribu istana. Para penghuni istana itu dengan ceria selalu melihat para penduduk surga, sedangkan cahaya ketampanan mereka akan menyinari penduduk surga itu sendiri sebagaimana matahari menyinari penduduk dunia. Ketika itulah para penduduk surga mengatakan :
“Marilah kita berangkat menemui orang-orang yang ketika hidupnya saling berkasih sayang karena Allah. Maka seketika itu pula sinar ketampanan penghuni istana tersebut menyinari para penduduk surga itu bagaikan matahari. Penduduk istana itu mengenakan pakaian sutera hijau. Sedangkan di kening mereka bertuliskan :
“Orang yang berkasih sayang karena Allah”.
Rasulullah Saw. mengatakan pula :
“Barang siapa dikehendaki Allah beroleh kebaikan, maka ia diberi Allah seorang kawan yang baik, dimana ketika ia lupa, maka kawan itu akan segera memperingatkan. Dan ketika ia ingat, maka kawan itu akan membantu untuk mengerjakannya.”
Berkata Abu Idris Al-Khaulany kepada Mu’adz :
“Wahai Mu’adz, aku sangat menyintaimu hanya karena Allah semata”.
“Bahagialah wahai Abu Idris, sebab saya telah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan :
“Nanti ketika hari kiamat telah tiba, di sekitar Arsy akan dipasang kursi-kursi yang berderet untuk sebuah golongan yang wajahnya tampak sebagai rembulan di malam purnama. Mereka tidak pernah merasa takut ketika orang-orang lain dilanda ketakutan. Mereka merupakan para kekasih Allah yang tidak pernah merasa takut, tidak pernah pula dihinggapi keresahan”
Salah seorang sahabat bertanya :
“Siapa mereka itu, wahai Rasulullah ?”.
“Mereka adalah orang-orang yang saling mengikat kasih sayang hanya karena Allah semata”.(Hadits shahih riwayat Al-Hakim).
Begitu pun Nabi Isa As. pernah mengatakan :
“Berkasih sayanglah kalian hanya karena Allah dengan jalan membenci para pelaku maksiat. Mendekatlah kalian kepada-Nya dengan cara menjauhkan diri dari pelaku maksiat itu. Kejarlah ridha Allah dengan cara membenci mereka”.
Para pengikut Nabi Isa kemudian menanyakan :
“Kalau demikian, kami harus berkawan dengan siapa ?”.
“Berkawanlah kepada mereka yang ketika kau melihat sosok tubuhnya segera akan mendorong untuk ingat Allah, dan mereka yang ucapannya selalu menambah amal kebajikanmu, atau mereka yang amal perbuatannya selalu mendorong hatimu untuk lebih menyintai akherat.”
Abdullah bin Umar Ra. pernah mengatakan :
“Demi Allah, jika saja saya selalu berpuasa di siang hari dengan tidak pernah berbuka, dan selalu shalat sunnah di malam hari sehingga tidak pernah tidur, dan selalu mendermakan harta ke jalan Allah dengan begitu ikhlas, kemudian ajal menjemputku dalam kedaan aku tidak pernah menyayangi pada orang-orang yang tekun beribadah, atau tidak pernah membenci mereka yang sering melakukan kedurhakaan, maka semua peribadahanku itu tidak akan memberi manfaat sedikit pun kepadaku”.
Begitu pula Al-Fudhail mengatakan :
“Aneh, banyak orang yang begitu gandrung memasuki surga Firdaus dan bisa bersebelahan dengan Allah SWT serta bersandingan dengan para Rasul, Nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Namun ironisnya amal apa yang mereka persiapkan untuk meraih semua itu. Syahwat apa pula yang telah berhasil mereka tinggalkan. Dan kemarahan mana yang telah berhasil mereka tangguhkan. Kemudian persaudaraan apa yang telah berhasil mereka pertautkan, dan kesalahan yang mana pula yang telah usai mereka maafkan. Dan musuh Allah mana yang telah berhasil mereka jauhkan atau pun kawan kekasih Allah mana yang telah berhasil mereka dekatkan !, aneh”.
Namun dalam berkasih sayang dan menyintai seseorang hanya karena Allah itu adakalanya dengan sepenuh hati, ada pula yang hanya ala kadarnya, dan bahkan hanya sebagai pemanis di bibir saja. Dengan demikian jika isi hati itu dicurahkan untuk menyintai seorang sahabat, maka sedikit pun tidak akan ada lagi sebuah kepentingan yang masih terselip untuk diri sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan sikap Abu Bakar kepada Rasulullah Saw. Seluruh jiwa raganya, harta bendanya dan keluarganya telah digadaikan untuk kepentingan Rasulullah. Seorang puterinya telah diserahkan kepada Rasulullah, itulah Ummul Mukminin ‘Aisyah Ra. Seluruh hartanya tandas untuk kepentingan perjuangan Rasulullah. Tersebutlah dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar Ra. mengatakan :
“Pada suatu kesempatan Rasulullah sedang duduk bersama Abu Bakar yang hanya mengenakan sehelai kain yang diikatkan begitu saja sampai batas dadanya. Sejenak kemudian Jibril pun datang seraya membacakan salam dari Allah. Namun Jibril segera membuka percakapan dengan mengatakan :
“Wahai Rasulullah, mengapa aku lihat Abu Bakar hanya mengenakan sehelai kain yang diikatkan sampai batas dadanya ?” begitu Jibril merasa heran.
“Itu semua tersebab dia telah menyedekahkan seluruh hartanya ke jalan Allah, wahai Jibril”.
“Kalau demikian, bacakan salam Allah kepadanya. Kemudian katakan :
“Allah telah mengatakan kepadamu, wahai Abu Bakar. Adakah kau ridha terhadap Allah dalam keadaan papa begitu, ataukah kau menggerutu ?”.
Sejenak kemudian, Rasulullah pun menengok ke arah Abu Bakar seraya mengatakan :
“Wahai Abu Bakar, sosok yang di dekatku ini adalah Jibril yang menyampaikan salam dari Allah untukmu. Namun Allah bertanya kepadamu : “Adakah kau ridha kepada Allah dalam keadaan papa seperti ini, ataukah selalu menggerutu ?”.
Mendapat pertanyaan seperti ini, air mata Abu Bakar tidak bisa ditahan lagi, ia hanya bisa menangis begitu panjang, dimana setelah agak reda, ia mengatakan :
“Adakah saya patut untuk mengatakan bahwa saya menggerutu kepada Allah, bahkan saya sangat ridha kepada Allah dalam menghadapi semua ini, saya sangat ridha, wahai Rasulullah … !”. begitu kata Abu Bakar dengan air mata yang bertambah deras.
Dengan demikian jika seseorang itu menyayangi pada figur yang lebih terhormat, baik itu seorang ulama, guru atau pun ahli ibadah, hendaklah kecintaannya itu diarahkan hanya ikhlas karena Allah. Dengan demikian ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan intensitas kasih sayangnya.
Semoga kita diberi kemampuan untuk besikap seperti itu ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar