Jika saja dendam yang bergumpal di dalam hati Adiy bin Hatim At-Thaiy itu dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk jazirah Arab, desa-desa dan kota-kotanya, pastilah negeri itu tidak akan bisa menampung dendam kesumatnya. Dan jika saja ia dapat menghimpun seluruh kekuatan dunia untuk menghadapi Muhammad Rasulullah, tentulah ia tak akan membiarkan setiap kesempatan untuk segera menggulung kekuatannya yang semakin mencengkeram itu.
Sesungguhnya hakikat kepahitan yang selama ini telah mendera hatinya tiada lain adalah kemenangan Rasulullah Saw. pintu-pintu penduduk Makah yang kini selalu terbuka untuk beliau dan menyerahnya kabilah Hawazin sesudah pertempuran seru di Hunain. Ternyata kabilah demi kabilah kini telah berjatuhan dan takluk kepada kekuasaan agama baru – Islam – yang begitu benderang dan berkemampuan luarbiasa, tak dapat dikalahkan lagi. Apakah rahasianya. Apakah yang demikian itu karena diperjuangkan orang-orang yang tidak pernah takut mati, ataukah karena melihat kemenangan dengan optimis, ataukah pada semangat untuk mendapatkan tawanan dan harta rampasan perang. Tidak, tidak. Ini semua atau sebagiannya merupakan perihal yang nomor dua bagi suatu usaha yang sangat penting. Sesungguhnya kekuatan untuk selalu menang itu tersimpan dalam prinsip-prinsip ajaran Islam. Dan Adiy bin Hatim At-Thaiy telah mengetahui prinsip-prinsip itu. Ia mengetahui sejak menganut agama Masehi, dan membaca sebagian dari sejarah agama Masehi serta telah mendengar banyak mengenai prinsip-prinsipnya. Ia merupakan salah seorang dari orang-orang Arab yang tidak banyak, yang telah beriman kepada Nabi Isa As.
Adiy bin Hatim teringat sejak kehadiran Ali bin Abi Thalib melaksanakan tugas dari perintah Muhammad Saw. menghancurkan arca-arca yang disembah kabilah-kabilah Arab. Itulah hari yang tidak dapat dilupakan. Bukan karena teringat arca-arca yang dihancurkan itu, sebab Adiy sendiri termasuk orang yang membenci kepada berhala-berhala itu serta mencela para penyembahnya, melainkan karena pertempuran yang telah menghancurkan kaumnya sampai kalah bertekuk lutut. Orang-orangnya banyak yang ditawan dan digiring lawan, dan diantara mereka adalah saudara perempuannya.. Ia selalu membayangkan, bagaimanakah keadaan saudara perempuannya itu sebagai tawanan yang bercampur baur sesama tawanan lain dari rakyat biasa. Padahal ia berasal dari keluarga mulia dan dihormati oleh masyarakat seluruhnya. Dan nasib apakah yang akan menimpa Adiy sendiri jika ia hidup dalam pereode seperti itu. Masalah ini akan menjadi jelas. Kalau saja ia mati karena diterjang oleh badai gurun pasir yang ganas, tentulah hal ini merupakan kebetulan. Namun kalau sampai ditawan sebagaimana saudara perempuannya, nasibnya akan berjalan lain sama sekali. Andaikan saja kaum Muslimin membiarkannya hidup, apakah ia akan menyendiri dengan mempertahankan akidah masehinya yang kian hari bertambah lemah menghadapi deru dan terjangan agama yang baru yang sangat tangguh itu, sambil merasakan keputus asaan, kepahitan dan kehancuran. Ataukah ia akan memeluk Islam itu sendiri. Mustahil, mustahil…
Isterinya menanggung beban perasaan yang sama. Wajahnya tampak pucat dan masam. Dalam kebingungan itu isterinya berucap dengan sangat hati-hati:
“Apakah kanda tidak yakin bahwa Muhammad itu dalam kebenaran!”
Mendengar pertanyaan seperti ini, Adiy langsung berbahak-bahak, dan raut wajahnya seakan langsung membeku. Ia lantas mengatakan:
“Apakah oleh karena kehancuran menimpa kita dan musuh-musuh telah menguasai dan menentukan nasib kita, maka kita lantas mundur sebagai pengecut yang sangat hina, kemudian lantas berikrar bahwa Muhammad itu benar!. Mustahil dinda. Dan yang semacam ini bukan mentalitas Adiy. Sedangkan engkau sendiri sebagai isteriku telah mengetahui, siapakah aku.” begitu kata Adiy seakan menampakkan kekuatan dirinya, kendati di bilik hatinya telah timbul kebimbangan.
Isterinya tampak menarik nafas panjang, lalu dengan lunak menyampaikan pendapatnya:
“Dengan pertanyaanku tadi, aku tidak bermaksud mendapat jawaban dengan yakin, namun perlu disadari bahwa selama ini pertempuran-pertempuran semakin menghebat. Hal ini menyebabkan berbagai bahaya berkepanjangan mengancam kita. Peristiwa seperti ini secara langsung telah mendorong kita untuk berfikir dengan nalar yang jernih. Kita mesti meng-angan-angan kembali dan mengenyampingkan pandangan-pandangan yang tidak perlu.” begitu jawab isteri menggiring Adiy untuk bernalar yang bijak.
Namun Adiy seakan tak terpengaruh dengan umpan sang isteri, malah ia mengatakan:
“Sesungguhnya Adiy bin Hatim At-Thaiy merupakan figur yang tidak mudah terpengaruh oleh berbagai macam peristiwa, betapa pun hebatnya.
“Aku merupakan tuan bin tuan. Kehancuran mesti menambah jati diriku semakin ganas menerjang lawan … Demikianlah aku….. Semua orang tahu, itu,” ucap Adiy dengan berliur-liur.
Isterinya kini memahami bahwa Adiy sedang terjangkit sindrom ketakaburan, sebuah kesombongan yang tidak tangung-tanggung. Ia tidak menyadari mengenai nasib saudara perempuannya yang kini telah jatuh sebagai tawanan yang hina. Sebenarnya hatinya tidak mampu menahan gejolak yang tak tertahankan ini. Pada kesempatan yang lain isterinya pernah mendengarkan mengenai ucapan Adiy yang mengatakan :
“Ayahku punya kelebihan-kelebihan yang banyak, ia memilikinya, dimana hal itu telah mengangkat martabat hingga mencapai derajat yang begitu mulia. Kemuliaan keluarga Hatim At-Thaiy menjadi lambang yang dikenal dan disegani. Aku takkan menaruhkan kemuliaan itu di bawah terompah. Sekarang aku mesti segera pergi ke tengah-tengah pemeluk Nasrani di Siria. Lalu akan segera kembali ke sini dengan membawa balatentara untuk meraih kembali seluruh jazirah setelah membakarnya dengan nyala api yang berkobar-kobar. Disaat itulah masyarakat akan mengetahui, siapa jati diriku sebenarnya,” begitu kata Adiy berbuih-buih.
Adiy segera memerintahkan anak dan isterinya untuk berkemas-kemas berangkat dengan mengendarai onta beserta harta bendanya menuju ke utara, Siria. Ia merasa akan dapat menciptakan kemuliaan dirinya ketika ia menyeberangi lautan pasir, bukit-bukit danm lembahnya. Sebagaimana kemuliaan yang telah dicapai ayahnya. Rasa khawatir dan menyerah di ketiak Muhammad Saw, ia usir jauh-jauh. Saat itu di dalam hatinya tidak pernah terbetik, apakah hakikat perjuangan yang sedang berlangsung di kawasan negerinya. Perjuangan yang hak melawan yang batil, antara yang baik dan yang buruk yang akan segera rampung dengan tampilnya seorang klaki-laki dan nabi terakhir yang tidak pernah sombong dan selalu menapak kehidupan yang sederhana, Muhammad Rasulullah Saw. Adiy tidak berfikir bahwa dirinya telah menjadi korban lamunan yang sangat jauh bagai bumi dan langit dari masalah besar yang sebanarnya sedang ia hadapi. Ia baru tersadar setelah isterinya mengatakan:
“Apakah yang menyebabkan kanda sangat membenci Muhammad?”
Pertanyaan ini menghunjam ke relung hatinya, seakan baru pertama kali ia mendengar kalimat ganjil itu, hingga dengan penuh emosi ia menjawab:
“Aku hanya membenci orang yang kukehendaki, dan akan mencintai orang yang aku kehendaki, semua ini merupakan hak prerogatif diriku, titik!”
“Akan tetapi kanda selama ini mencintai keadilan, bukan!,” sambung isterinya seakan menohok ulu jantungnya.
“Keadilan apa yang kau maksud?,” sahut Adiy dengan sengit.
“Jika Muhammad dalam pihak yang benar, kanda wajib untuk tidak membencinya.” tukas isterinya yang membuat Adiy sesak nafas.
“Ucapan seperti itu merupakan sebuah logika yang lahirnya tampak benar, namun batinnya merupakan manipulasi. Mengapa Muhammad membawa pedangnya dan memerangi. Mengapa ia menawan orang-orang kita dan menggiringnya?,” begitu tukas Adiy dengan memelintir kumis tebalnya.
Sang isteri hanya bisa menelan ludah, lalu berkata pada Adiy dengan penuh kepercayaan:
“Apakah kanda telah melupakan mengenai perilaku orang-orang Quraisy yang telah menyiksa para pengikutnya ketika ia masih berada di Makkah dulu, dan malah banyak pula yang telah mereka bunuh. Orang Quraisy telah teah melecut putra-putrinya untuk memusuhi Muhammad atau melakukan makar untuk membunuhnya dan minimal mengusirnya. Mengerahkan orang-orang Yahudi dan kabilah-kabilah Arab yang lain untuk memusnahkannya? Mengapakah kanda marah jika saja Muhammad mengimbangi kebiadaban itu dan bukan malah menginsafi? Aku rasa Muhammad tidak pernah sekali pun mengadakan permusuhan dengan seseorang. Hanya saja ia menghendaki agar kalimat Allah itu bisa tegak dan berdiri kokoh di hati setiap orang. Selama ini orang Quraisy lah yang selalu memusuhi dan bermaksud melenyapkannya. Orang Quraisy pula yang telah melakukan kezaliman dan menabur kebencian dan permusuhan demi menolak Muhammad sebagai penghulu mereka. Dengan demikian telah sepantasnya jika saja ia menghadapi berbagai rintangan yang akan memusnahkannya itu, terutama mengenai kalimat Allah yang diharapkan dapat bersemai dalam hati setiap penduduk. Padahal Muhammad telah tampil untuk membuka jalan kepada kemerdekaan, kecintaan dan kedamaian hidup dengan nur untuk menerangi siapa saja yang mau mempergunakannya. Kini Muhammad telah membalas pada sebagian kecil terhadap mereka yang jahat dengan tindakan yang setimpal, namun masih lebih banyak yang dimaafkan. Bahkan ia dengan suka rela telah membagikan bagian harta rampasan perang kepada orang-orang yang kemarin menjadi musuhnya,” begitu sergah isterinya seakan tiada habis.
Mendengar kalimat yang bagaikan bara ini, Adiy bin Hatim merah padam mukanya. Ia segera membentak:
“Kamu ini terjangkit penyakit bengek dan sama sekali tidak sopan. Tutup mulut jalan sambal itu, hai perempuan berkepala rengat!”
Sesungguhnya pertanyaan isterinya yang bertubi-tubi itu telah membuat kepala Adiy bagaikan pecah. Ucapan itu seakan petir yang telah mebakar dirinya. Namun lama kelamaan Adiy segera menguasai emosinya dan berusaha berbikir secara benar, sehingga dalam benaknya terpenuhi berbagai pertanyaan. Apakah yang dikatakan Muhammad di dalam berbagai pesannya. Apakah tauhid itu? Bagaimana hakikat keimanan Muhammad mengenai Nabi Isa As. dan para nabi sebelumnya? Apakah hakikat Al-Qur’an dan syari’at yang dikandungnya? Apakah ajaran mengenai moral yang dibawa Islam dan peradabannya? Bagaimana hakikat hikayat-hikayat yang dituturkan Al-Qur’an dari orang-orang terdahulu? Padahal Muhammad selama ini telah melaksanakan apa-apa yang telah dipesankan Al-Qur’an melalui sikap dan tingkah laku hidupnya. Ia sendiri telah mencontohkannya sehingga menjadi tauladan bagi para sahabat dan seluruh pengikutnya. Mengapakah kehidupan Muhammad selalu serasi dan serempak dengan para pengikutnya, baik dalam keadaan suka atau pun duka? Apakah hakikat peperangan yang terus menerus melibatkannya. Mengapa banyak ayat yang selalu menggetarkan persada seakan tiada akan terhenti?
Namun sambil berpikir yang demikian itu, Adiy terus memacu laju ontanya ke utara menuju Siria, ingin sekali lekas sampai pada tujuan. Gambaran saudaranya yang ditawan masih selalu melekat dalam hatinya yang diliputi dendam, seakan melihatnya dengan mata kepala. Ia tidak mengetahui bahwa saudara perempuannya yang ditawan di dalam satu ruangan luas dekat Masjid Nabawi yang pintu-pintunya senantiasa terbuka bagi mereka yang ingin memeluk agama yang hanif itu.
Pada suatu hari ketika Rasulullah Saw. menjenguk para tawanan, saudara perempuan Adiy itu menyapanya:
“Wahai Rasulullah!, saya telah kehilangan ayah, dan tak ada seorang pun yang menjenguk saya. Berilah saya belas kasih yang engkau dapatkan dari Allah”. begitu kata perempuan itu memelas.
Mendengar kalimat itu pada mulanya Rasulullah Saw. tidak begitu memperhatikan, mengingat yang mengatakan itu merupakan seorang wanita saudara Adiy bin Hatim At-Thaiy yang gencar memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan tidak pernah menyembunyikan kebencian dan permusuhan terhadap beliau, juga terhadap kaum Muslimin seluruhnya. Perempuan itu merupakan saudara orang yang pergi ke Siria untuk untuk mengerahkan balatentara kaum Nasrani Syams menghadapi beliau dan pasukannya, untuk menyebarkan fitnah baru yang hanya Allah semata-mata yang mengetahui peranan dan pengaruhnya.
Namun perempuan itu bersikeras menyampaikan perkataannya, dan sempat menceritakan perihal ayahnya serta kemuliaan yang pernah memayungi kabilah-kabilah Arab serta menjadi teladan dalam mempertahankan harga diri dan keselamatan. Rasulullah tersenyum, lalu memerintahkan agar perempuan itu diberi pakaian layak dan perbekalan berupa uang, makanan dan kendaraan untuk dikembalikan kepada saudaranya selekas mungkin di negeri Syams.
Setelah berada di negeri Syams, Adiy bin Hatim lama menghirup udara kehidupan dan merasakan berbagai reaksi. Ketika itu mulailah ia menganalisa berbagai masalah yang terjadi di negeri itu, menemui para peramal nasib, rahib-rahib dan para pendeta. Ia melihat bagaimana orang menjalani kehidupan dan berfikir dengan wajar. Namun dirinya didapati suka mendalami berbagai lingkungan hidup dengan fikirannya yang terus bergolak sehingga menyebabkan sukar tidur dan makan tak enak. Dunia yang luas ini terasa olehnya demikian sempit dan tidak pernah mengenal kedamaian. Berbagai pertanyaan yang pernah dibidikkan isterinya kini timbul terus susul menyusul dan malah mengakar. “Mengapa kanda membenci Muhammad?” Seringkali ia merasa hina sehingga pernah secara terang-terangan mengatakan kepalanya sering pening dan hatinya selalu gelap, namun kesombongannya yang selama ini lebih menguasai dirinya sehingga selalu menghancurkan setiap keinginan yang baik. Di balik itu, saudara permpuannya selalu terbayang sehingga menjadikan panas darahnya selalu mendidihkan keringatnya. Ia lupa bahwa Muhammad Saw. selalu memperlakukan orang-orang yang memusuhinya dengan budi pekerti mulia, berbelas kasih pada mereka, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, apalagi yang anak-anak.. Para tawanan dihadapi beliau dengan rasa kebaopakan. Adapun yang pandai membaca dan menulis akan mendapat kehormatan melebihi yang lain, yaitu dijadikan guru bagi sebagian kaum Muslimin yang masih buta huruf.
Adiy bin Hatim terperanjat sekali ketika tiba-tiba saudara perempuannya yang selalu berada dalam ingatannya itu muncul di hadapannya. Ia berpakaian terhormat dan mulia, sedangkan raut wajahnya seakan menyimpan kedamaian dan kebahagiaan. Dengan segera pula Adiy mendengarkan perkataan-perkataan saudaranya yang hampir-hampir tidak dipercayai.
Pada hari berikutnya, Adiy segera bangun pagi lebih awal dari pada kebiasaannya. Raut wajahnya menampakkan kegembiraan, seakan sekujur tubuhnya bertenaga segar dengan gerakannya yang begitu gesit dan sigap. Sang isteri memandanginya dengan penuh kegembiraan, seakan sang suami kelihatan baru lahir kembali dalam menghayati hidup baru.
“Apa yang terjadi?,” gumam sang isteri.
“Aku telah menang!,” kata Adiy bin Hatim.
“Apakah yang kanda maksudkan balatentara Nasrani akan segera menyerbu dari Syams ke Madinah?,” tanya sang isteri memburu.
Seketika itu Adiy tersenyum manis dengan sikap yang tidak dibuat-buat. Senyum yang sejak beberapa tahun ini telah hilang dari wajahnya karena di telan badai peristiwa-peristiwa hitam yang menimpa dirinya. Sebuah senyum yang sebelum ini isterinya tidak pernah melihatnya. Adiy lalu mengatakan:
“Muhammad telah menyatakan dengan berdasar ilham dari Allah Yang Mahapelindung kemuliaan: “Wahai para hamba-Ku, setiap kamu tersesat kecuali yang Aku beri hidayah.”
“Adapun aku, “lanjut Adiy lagi,” wahai isteriku, aku telah menemukan jalan hidup baru yang terang. Sebelum ini hidupku selalu diliputi kegelapan, kebimbangan dan kesombongan sehingga menuai kegoncangan dan kedurhakaan. Tiba-tiba saja cahaya petunjuk telah terbit di hatiku. Aku telah mengetahui kebenaran jalan hidup baru itu, tiada lain itulah Islam. Di dunia tidak akan ada lagi sebuah kemenangan yang lebih besar dari pada kemenangan ini.”
Sementara itu Adiy pergi sebentar, kemudian muncul lagi, seakan ia berdekapan dengan mimpi indah yang sangat membahagiakan hatinya, kemudian ia mengatakan:
“Besok pagi menjelang terbit fajar, kita bergegas menemui Rasulullah Saw. Dan di bumi tercinta sana, kita akan menumpahkan air mata penyesalan seraya memeluk orang yang telah memiliki jiwa besar, itulah Muhammad bin Abdullah Shallal’lahu ‘Alaihi Wasallam ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar