Abdul Malik bin Marwan merupakan jajaran Khalifah dari bani Umayah yang termasuk berhasil dalam menjalankan roda kerajaan yang berkedudukan di Damaskus. Ia memerrintah antara tahun 65 H sampai tahun 86 H. atau tahun 685 sampai 705 M. Dengan demikian tampuk kerajaan telah dipegangnya selama kurang lebih 20 tahun.
Pada suatu hari ketika di musim haji tiba, Baginda sedang duduk di atas singgasananya, sedangkan di sekitarnya berkumpul beberapa kepala kabilah yang ingin ber-ramah tamah dengannya. Sebenarnya ketika itu Baginda juga bertepatan melaksanakan ibadah haji. Sejenak kemudian datanglah Syeikh ‘Atha’ bin Rabah dan langsung berkumpul dengan para kepala suku itu. Namun segera saja Baginda memanggil orang tua itu. Baginda begitu hormat padanya, terbukti ia langsung berdiri dan mempersilahkan Syeikh ‘Atha’ duduk bersanding di dekat Baginda. Ketika itu pula Baginda mengatakan:
“Wahai Abu Muhammad (Syeikh ‘Atha’), apa hajat dan kebutuhanmu yang perlu aku penuhi. Katakanlah sekarang juga, aku akan langsung bertidak menutup seluruh hajatmu,” begitu tawaran Abdul Malik sangat menggiurkan para pendengar.
“Wahai Amiril Mukminin,” Syeikh ‘Atha’ mulai berbicara, “Bertakwalah, takutlah kepada Allah. Sekarang ini Baginda sedang berpijak di Tanah Haram Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian aku wasiatkan, hendaklah Baginda merawat kawasan itu dengan memakmurkan agama-Nya. demikian pula hendaklah menjaga kehormatan anak-anak kaum Muhajirin dan Anshar. Adanya Baginda mendapat kesempatan duduk di singgasana kerajaan, itu tiada lain karena jasa-jasa mereka terdahulu. Demikian pula hendaklah para tentara dan prajurit selalu diperhatikan kehidupannya, mereka merupakan benteng-benteng hidup bagi masyarakat Islam itu sendiri. Perhatikan pula perihal kehidupan masyarakat Islam pada umumnya, sebab Baginda akan ditanya Allah mengenai kesejahteraan mereka. Janganlah kiranya Baginda menghalangi atau menutup pintu terhadap orang yang melaporkan urusannya di depan Baginda.”
Mendapat nasihat panjang lebar yang seakan menjatuhkan kredibilitas Baginda di hadapan para kepala suku ini, Baginda hanya menjawab: “Ya, ya … akan aku laksanakan semua itu.”
Kemudian Baginda segera bangkit meraih lengan Syeikh ‘Atha’ seraya mengatakan:
“Wahai Abu Muhammad!, ternyata yang engkau mintakan tadi, seluruhnya merupakan kebutuhan orang lain, dalam arti bukan hajatmu sendiri. Dan semua itu akan segera aku laksanakan. Namun aku sekarang menanyakan hajatmu yang akan segera aku penuhi, katakanlah!,” begitu Abdul Malik mendesak lagi.
“Diriku tidak membutuhkan bantuan seorang makhluk,” sergah Syeikh ‘Atha’ sangat singkat hingga mengejutkan Baginda. Belum lagi Baginda sempat melanjutkan kalimatnya, Syeikh ‘Atha’ sudah keburu beranjak pergi hingga Baginda hanya mampu menggigit jari. Sejenak kemudian Baginda mengatakan:
“Demi Allah, demikianlah sikap mereka yang masih memiliki harga diri”.
Dikisahkan pula bahwa Syeikh Ibnu Abi Syamlah merupakan seorang yang terkenal ‘alim dan cerdas pula akalnya. Pada suatu hari ia menemui Baginda Abdul Malik untuk berbincang-bincang seperlunya. Pada kesempatan itulah Baginda mengatakan:
“Berilah nasihat diriku, kendati hanya beberapa penggal kalimat”.
“Mengenai apa, aku harus memberi nasihat ?. Padahal setiap ucapan yang keluar dari sebuah mulut, pastilah akan mengandung resiko nanti di hari kemudian, terkecuali kalimat yang membela kepentingan agama Allah,” begitu sergah Ibnu Abi Syamlah balik.
Ketika mendengar jawaban ini, air mata Baginda langsung bercucuran seraya mengatakan:
“Memang pribadi-pribadi yang saleh, sejak dahulu akan selalu saling memberi nasihat antar mereka.”
Mendapat jawaban seperti ini, Ibnu Abi Syamlah seakan mendapat kesempatan, sehingga ia melanjutkan ucapannya:
“Wahai Baginda, sesungguhnya manusia ketika nanti berada di altar hari kiamat tidak akan bisa terlepas merasakan pahit getir dan beratnya menghadapi murka Allah. Namun kondisi yang demikian itu masih bisa disiasati, yakni dengan melaksanakan berbagai amal yang menyebabkan ridha Allah, dimana hal itu mestilah dengan mengebiri hawa nafsu.”
Mendengar keterangan demikian ini, Baginda bertambah seru tangisnya. Sejenak kemudian Baginda mengatakan:
“Sudah pasti, aku akan selalu berusasaha mengingat untaian kalimat-kalimat tuan tadi selama hayat masih dikandung badan.”
Begitulah tindakan seorang ulama dalam memberi nasihat, kendati terhadap penguasa yang begitu terhormat. Tindakan seperti ini akan menjadikan sebuah negara dan kekuasaan mendapatkan ridha Allah, sehingga cita-cita aatinaa fid dun-ya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa adzaban Naari akan mudah tergapai, amin. ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar