Sebuah desa di pagi itu tampak begitu asri. Masyarakat berlalu-lalang, sebagian mereka banyak yang pergi ke sawah dan ladangnya, banyak pula yang menuju ke pasar memperjualbelikan barang-barang hasil bumi mereka, anak-anak pun mulai banyak yang berangkat ke sekolah. Anehnya, di kampung itu tidak sebuah masjid atau pun tempat ibadah lain yang berada di sana, sehingga kehidupan religius di situ tampak kering. Ternyata mereka hanya asyik memburu kehidupan duniawi dengan tanpa mementingkan kehidupan yang lebih kekal lagi, yakni keabadian ukhrawi.
Sebenarnya kepincangan ruhani ini telah lama direspon oleh seorang lelaki yang menjadi warga desa itu pula, namun sampai kini ia belum bertindak secara maksimal. Kehidupan warga itu ternyata bertumpu pada sebuah pohon besar yang sering mereka puja, mereka beri sesajen dan mereka bakari menyan dan berbagai ubo rampi yang menurut keyakinan mereka sebagai prasyarat agar apa yang menjadi maksud kehidupan mereka berhasil. Kini telah terbukti bahwa kehidupan mereka bertumpu pada keyakinan yang salah, keyakinan paganisme. Padahal segala apa pun yang terwujud di persada ini, baik mengenai kehidupan, kematian, datangnya manfaat, mudharat, ekbahagiaan, penderitaan, itu semua hanya Allah yang menciptakan. Tidak ada kekuatan lain yang akan bisa menandinginya. Sedangkan jika syetan mengaku bisa mendatangkan semuanya itu, itu hanya pengakuannya saja untuk menyesatkan kehidupan manusia agar bisa dijadikan jembatan atau sahabatnya menuju neraka yang kekal abadi selamanya.
“Untuk menyelamatkan keyakinan warga desa itu, tindakan pertama,” kata lelaki tersebut, “Adalah dengan membabat habis pohon pujaan itu, sesuai dengan keyakinannya bahwa menghilangkan kemungkaran harus diprioritaskan daripada menghasilkan kemaslahatan atau kebajikan.”
Kini dengan niat yang mukhlis dia mulai mempersiapkan peralatan untuk menebang pohon. Ia sandarkan niat itu demi mengagungkan agama tauhid. Ia bulatkan tekad untuk mengajak kaumnya agar bersama-sama menuju surga Allah.
Pada suatu malam, ia pun berusaha mewujudkan maksudnya itu dengan mengajak tetangga kiri-kanan untuk bertauhid, yang kemudian baru diringi dengan berbagai ibadah sebagai bukti atas kesaksian mereka. Namun terbukti tidak mendapatkan tanggapan yang memadai, malah olokan yang sering keluar dari ucapan mereka. Hal ini malah sebagai pemicu yang kuat untuk mewujudkan maksud lelaki itu segera menebang pohon sentral paganisme atau perbuatan syirik yang menurut Allah merupakan dosa yang tidak akan bisa diampuni, berlainan dengan dosa-dosa selain syirik, yang Dia janjikan masih bisa diampuni jika dikehendaki-Nya.
Siang hari, ketika matahari sedang garang-garangnya membakar bumi, lelaki itu berangkat dengan membawa berbagai peralatan menuju ke pohon itu. Ketika di perjalanan itulah dia disapa seseorang:
“Wahai tuan, kiranya ke mana engkau hendak pergi!,” begitu sapaan itu terasa amat halus di telinga.
Dengan sopannya lelaki itu pun menjawab:
“Aku hendak menebang pohon sesembahan masyarakat. Pohon itu telah menyesatkan keyakinan masyarakat sehingga Tuhan malah dienyahkan, mencukupkan diri dengan kemauan Iblis.”
Mendapat jawaban sedemikian itu, si penanya langsung mengatakan:
“Aku sendiri adalah Iblis yang menjadi pendukung penyembahan itu, hendaklah tuan mengurungkan niat itu, sebelum tuan menemui bencana dalam kehidupan,” begitu Iblis mulai mempertakuti.
Suasana mulai memanas, sang Iblis menghendaki agar lelaki itu segera balik kucing mengurungkan niatnya, sedangkan lelaki ityu tetap ngotot mempertahankan prinsipnya. Iblis mengatakan pula:
“Biarkan saja pohon itu berdiri, asal kamu tidak ikut-ikutan menyembah, itu tidak syirik.”
Ucapan ini segera ditanggapi:
“Membiarkan kemungkaran dalam kondisi masih bisa mengubahnya adalah laksana menyepakati atas keberlangsungan kemungkaran itu sendiri. Ia sama saja dengan membiarkan dosa berlangsung dengan tanpa pihak yang memberhentikannya. Dan orang yang bisa menghentikan, namun enggan berbuat adalah sama-sama memndapatkan dosa,” begitu kilah lelaki ersebut.
Mendapat jawababan seperti ini, Iblis tampaknya hilang kesabarannya. ia banting lelaki itu, namun ternyata ia bukan lelaki sembarangan, silatnya tampak mumpuni, kini kedua pihak itu saling mengincar peluang agar segera dapat menghabisi lawannya. Setelah beberapa saat, terbukti pedang dan peralatan bekelai keduanya kini sudah tidak bisa dipergunakan lagi, patah-patah dan remuk. Maka keduanya pun sepakat untuk berduel dengan tangan kosong. kali inilah baru terbukti bahwa Iblis itu pada pihak yang keok, ia menderita luka yang cukup parah, kendati pun tidak akan menemui ajal sampai nanti datang waktu yang dijanjikan.
kalah dengan fisik, kini Iblis memutar otak yang pada biasanya sebagai senjata pamungkas untuk memperdayai manusia. Ia pun mengatakan:
“Tuan, saya mengaku kalah, untuk itu kini aku akan berusaha untuk menjadi sahabat tuan yang baik. Begini tuan, setiap aku akan sanggup untuk menyediakan kebutuhan hidup tuan, aku sanggub menjadi pelayan tuan, sanggup pula mengerjakan apa pun yang menjadi perintah tuan, terutama pada setiap pagi aku akan mepersiapkan uang untuk keperluan tuan, kendati pun tidak besar jumlahnya, hanya empat dinar tuan. Uang itu bisa tuan dapatkan setiap pagi di bawah tikar tempat tuan melaksanakan shalat Shubuh, itu setiap pagi tuan,” begitu kata Iblis. Padahal satu keping dinar saja akan sama dengan emas 12 gram lebih. Taruh saja jika satu gram seharga duaratus ribu rupiah, bukankah akan berjumlah delapan ratus ribu rupiah. Bisa-bisa malah lebih, sampai satu juta.
Mendengar tawaran Iblis sedemikian ini, lelaki itu tampak menghentikan serangannya, ia memikir-mikir, dan ujung-ujungnya ternyata ia mengatakan: “Ya,ya,ya….
Ironis memang, ternyata ketegaran iman yang menyala-nyala itu ketika berhadapan dengan uang, iman menjadi lunglai, duniawi terbukti menjadi senjata yang ampuh bagi mereka yang tidak pernah mengenal uang besar. Matanya menjadi hijau ketika berhadapan dengan duit. Dari peristiwa itu kita dapat menarik kesimpulan, mestinya dalam memperjuangkan agama Allah ini, seorang tokoh harus memikirkan pula kehidupan duniawi agar tidak silau pada pihak lain yang bergelimang dengan uang. Tidak pula berkecil hati bila pihak musuh tampak tebal kantungnya. Namun perihal ini memang amat sulit dilakukan, hanya mudah diucapkan, sehingga diakui pula oleh al-Ghazali yang mengatakan bahwa antara dunia dan akhirat adalah laksana timur dan barat. Jika Anda pergi ke barat, maka akan menjauhi belahan timur. Sebaliknya jika Anda pergi ke timur, maka akan menjauhi belahan barat. dari itu kita banyak melihat orang yang dalam agamanya, namun amat sulit kehidupannya. Sedangkan orang yang luas kehidupannya, pada lazimnya tidak mengerti urusan agama, atau kehidupan religius mereka teramat dangkal. Untuk menggabungkan keduanya, sebagaimana dalam do’a atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, memang sulitnya bukan main. Perlu siasat yang lebih cermat dan kemauan yang prima agar bisa menggapainya. Perlu pula persiapan yang matang sejak dini.
Akan halnya lelaki tadi, setelah mendapat janji Iblis, ia pun pulang dengan hati berbunga-bunga. Ia tidak memikirkan lagi, dari mana Iblis mendapatklan uang, apakah itu uang halal atau uang haram, adakah Iblis pernah bekerja membanting tulang untuk mendapatkan uang? Bukankah ia mesti mencuri dengan mengutus para tuyul bawahannya!. Ia tidak memikirkan sejauh itu, yang semua itu tersebab himpitan ekonomi.
Di pagi hari setelah menunaikan shalat Shubuh, ia pun membuka alas shalatnya, ternyata memang benar, uang dinar sebanyak empat keping bersinar menghijaukan matanya. Betapa girang lelaki itu mendapatkan uang yang selama ini pada biasanya hanya memiliki uang receh. Sejak pagi ia pun sibuk melengkapi kebutuhan rumah, dari peralatan dapur sampai perihal kecil lainnya. Kini kehidupannya mulai berubah drastis. Dari kondisi zuhud yang terasa amat menyiksa beralih kapada kehidupan konsumtif yang menjanjikan kebahagiaan sesaat. Di rumahnya mulai ada kendaraan yang nongkrong, dan segala perabot mewah pun bertengger gagah di dalamnya.
Hal ini dijalaninya dalam beberapa minggu. namun tampaknya, kini Iblis mulai jemu untuk mengirimkan uang setiap hari, ia mulai mengingkari traktat yang telah disepakati antara keduanya, karena memang tidak bermeterai. Pagi-pagi sekali, setelah melaksanakan shalat Shubuh, lelaki itu pun membuka lagi alas shalatnya, namun betapa terkejutnya, ia tidak mendapatkan lagi uang upeti yang pada biasanya ia peroleh. Amarahnya pun menggelegak, dengan sumpah serapah ia segera pergi lagi dengan membawa peralatan penebangan pohon menuju tempat sesembahan yang selama ini telah menguntungkannya pula. Dan di tengah jalan, ia pun segera dihadang Iblis dengan pertanyaan garang:
“Akan kau kemanakan langkah kakimu?”
“Kau kini sebagai penipu, uang itu sudah tidak aku temukan di bawah alas shalatku,” begitu jawab lelaki yang kini berpakaian jin belel dan tampak gaul.
Tiba-tiba saja Iblis menyerang dengan begitu cepat sehingga lelaki itu pun menghindar dari sabetan pedangnya. Keduanya kini terlibat pada pergulatan yang seru sampai persenjataan masing-masing pihak patah semuanya dengan tidak ada pihak yang terkalahkan. Namun Iblis kini tampak berlari menjauh, lelaki itu mengiranya sebagai tanda kekalahan, tetapi ternyata ia kembali bagaikan domba yang mundur untuk melibas lawannya. Lelaki itu terlengah, kini ia dapat dicekik Iblis sampai matanya terbeliak. Segera saja lelaki itu mngangkat tangannya sebagai tanda keok, sebelum nyawanya tidak tertolong. Maih dengan menahan rasa sakit, lelaki itu mengatakan: “Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?”
Dengan bangga Iblis menjawab:
“Kemenanganmu dulu, tiada lain karena niatmu yang pertama adalah ikhlas karena Allah. dalam kondisi seperti itu, siapa pun yang menghadapi kekuatanmu, tentulah akan segera sirna dan binasa. Namun kini kamu bermaksud menebang pohon itu tidak dengan motivasi yang benar, niatmu sudah melenceng jauh jika dibandngkan dengan niat terdahulu. Kini kamu keluar rumah karena uang, dengan demikian jika saja kamu mengeluarkan kekuatan apa pun yang ada pada dirimu, tidak akan mungkin kamu bisa mengalahkan aku. Akan lebih baik jika kamu sekarang segera pulang sebelum aku patahkan batang lehermu.
Mendengar ucapan Iblis ini, lelaki itu hanya tertunduk lesu. Ia pun kemudian melangkahkan kaki untuk pulang, dijalaninya kembali hidup seperti sediakala, yakni berangsur-angsur ia menjadi melarat kembali, namun dengan martabat yang berbeda. dahulu kemelaratannya dihiasi dengan kemuliaan, namun kini kemelaratannya dihinggapi kehinaan. Kali ini ia menyadari kesalahannya, namun kesalahan yang berakibat fatal, paganisme tidak mungkin lagi bisa diubahnya, peluang mendapatkan kemenangan telah berlalu, padahal pada lazimnya, sebuah kesempatan emas hanya datang sekali dalam seumur hidup, dan tidak mungkin dapat diulangi. Maka pada tubuh lelaki itu dengan kekalahan lima poin, kalah bertarung melawan Iblis, kalah dalam membenahi tauhid ummatnya, kalah pula dalam meraih kekayaan harta, juga kalah mentalitasnya, belum nanti ketika menghadap Allah yang akan memurkainya.
Allahumma, tegakkanlah tauhid kami, tegakkan agama kami dan dunia kami sebagai penghantar beribadah kepada-Mu ya Allah. Selamatkan pula jiwa kami sampai nanti bertemu dengan-Mu dalam kondisi mendapat ridha-Mu, amin.
Demikian keterangan yang dapat kami sadur dari hadits Muslim, semoga bermanfaat adanya. ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar