Dikisahkan bahwa suatu hari, Ibrahim bin Adham melintas di pasar Bashrah, lalu orang-orang berkumpul mengerumuninya seraya mengatakan, “Wahai Abu Ishaq, apa sebab do’a kami tidak pernah dikabulkan.?” Dengan penuh kebijaksanaan beliau mengutarakan berbagai penyebab do’a tidak pernah terkabulkan, terutama karena hati telah mati oleh sepuluh perkara: padahal dalam diri manusia ini ada sebuah hati yang berfungsi sebagai pusat dan tempat bersemayam empat sifat khusus bagi manusia. Yaitu sifat sabu’iyah, bahimiyah, syaithaniyah dan rabbaniyah. Sehingga ketika seseorang dalam keadaan marah yang memuncak, ia akan bertindak sebagaimana hewan galak (sabu’iyah), baik itu berupa permusuhan, pendendam, mudah bertindak untuk menyiksa pada orang lain, gampang memaki dan lain-lain. Dan ketika dikuasai oleh syahwat, maka ia akan bertindak laksana hewan ternak (bahimiyah), baik berupa rakus, tamak, pengumbar libido seks dan lain sebagainya, persis perilaku babi.
Kemudian ketika dikuasai oleh sifat rabbaniyah, maka seseorang akan bertindak sebagaimana Tuhan. Ia akan senang sekali memakai gelar, berkuasa, memprioritaskan kepentingan pribadi, menyendiri dalam mengurusi berbagai kepentingan, tidak mau menghamba, mengaku berilmu tinggi, bahkan ingin tinggi sendiri dan lain-lain. Dan ketika melihat bahwa dalam diri manusia itu terdapat kecerdasan yang ditopang dengan syahwat dan pemarah tadi, maka di situ pula penetrasi sifat syaithaniyah mengkristal. Dengan sikap itu seseorang sering mengupayakan sebuah keburukan agar tanmpak menjadi baik. Bahkan mengerahkan segala cara dan upaya untuk mencapai sebuah tujuan dengan bujuk rayu. Itulah representasi dari sifat syetan.
Dengan demikian dalam hati itu seakan bertengger anjing galak yang menjadio refleksi sifat sabu’iyah. Bersemayam pula seekor babi yang menggambarkan sifat bahimiyah. Malah bercengkeram pula sosok syetan dan seorang hakim. Babi itu akan terus menarik memperturutkan syahwat, rakus dan segala jenis kemunkaran. Sedangkan anjing akan menyeret seseoranmg untuk segera marah dan bertindak zalim. Sedangkan syetan akan selalu menggerakkan kedua hewan itu agar bertindak sesuai dengan instinct masing-masing.
Sedangkan akal yang akan bertindak sebagai hakim yang selalu menghadang kebrutalan syetan dan mengekang kerakusan babi dan meredam kemarahan anjing tadi. Dengan demikian jika saja akal mampu bertindak dan mengatasi keburukan tiga sifat itu, maka kerajaan yang berada di seluruh tubuh ini akan bisa berjaya dan akan manapak pada jalan yang lurus. Namun jkika saja akal ternyata lumpuh dan tidak mampu lagi mencegah keburukan tiga sifat tadi, maka dapat dipastika kemuliaan tubuh akan segera hancur. Kehancurannya bukan terbatas di dunia ini saja, namun akan dibawa sampai di akherat nanti, kekal abadi selama-lamanya. Kehidupan manusia semacam ini seakan selalu menghamba kepada anjing dan babi, bahkan menyerahkan bulat-bulat untuk beribadah kepadanya. Inilah kondisi sebagian banyak manusia jika kehidupannya hanya untuk memuaskan kepentingan perut, kemaluan dan mengungguli mereka yang dianggap sebagai musuh. Ironis sekali jika saja orang semacam ini begitu membenci pada para penyembah patung dan berhala, padahal jika saja mata hatinya bisa melihat dengan jelas, maka ia sendiri sebenaranya selalu menjadi pengikut setia dan penyembah anjing dan babi. Ia selalu memperturutkan apa yang menjadi kemauan keduanya. Dan akan segera bangkit jika mendapatkan perintah untuk mempertuurutkan syhwat dan kemauan keduanya. Padahal jika saja seseorang mampu mengarahkan anjingnya masing-masing, maka dari situ akan timbul berbagai sifat yang amat mulia, sebagaimana pemberani, dermawan, sabar, bijaksana, pemurah dan lain-lain.
Bahkan jika mampu mengendalikan babi-babi tadi, maka akan muncul berbagai sifat amat terpuji, sebagaimana qana’ah, tenang, zuhud, wara, takwa, mempunyai rasa malu, dan suka memberi pertolongan. Dimana sifat-sifat ini jika saja secara terus-menerus berada dalam hati, maka sebuah hati akan menjadi begitu terang bercahaya. Begitu amat dekat dengan Allah SWT.
Kemudian jika saja berbagai sifat tercela tadi dibiarkan, maka semakin lama hati akan menjadi keruh dan berlanjut menjadi kerak dan daki yang akan sulit untuk dibersdihkan. Sebagaimana sinyalemen dalam firman: Sekali-kali tidak. Sebenarnya apa yang selau mereka lakukan itu menjadi daki bagi hati mereka (Al-Muthaffifin: 14)
Sepuluh perkara yanmg menyebabkan hati menjadi mati, menurut Syeikh Ibrahim bin Adham adalah: Pertama, kalian mengenal Allah tetapi tidak menunaikan hak-Nya. Kedua, kalian mengaku cinta Rasulullah Saw tetapi meninggalkan sunnahnya. Ketiga, kalian membaca al-Qur’an tetapi tidak mengamalkannya. Keempat, kalian memakan nikmat-nikmat Allah SWT tetapi tidak pernah pandai mensyukurinya. Kelima, kalian mengatakan bahwa syetan itu adalah musuh kalian tetapi tidak pernah berani menentangnya. Keenam, kalian katakan bahwa surga itu adalah hak (benar adanya) tetapi tidak pernah beramal untuk menggapainya. Ketujuh, kalian katakan bahwa neraka itu dalah hak (benar adanya) tetapi tidak mau lari darinya. Kedelapan, kalian katakan bahwa kematian itu adalah hak (benar adanya) tetapi tidak pernah menyiapkan diri untuknya. Kesembilan, kalian bangun dari tidur lantas sibuk memperbincangkan aib orang lain tetapi lupa dengan aib sendiri. Kesepuluh, kalian kubur orang-orang yang meninggal dunia di kalangan kalian tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari mereka.”
Itulah perihal yang menyebabkan hati tertutup hidayah, sehingga dalam kondisi demikian itui jika seseorang memanjatkan do’a, ia tidak pernah didengar Allah, bahkan tidak mendapatkan murkanya saja sudah untung besar. ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar