Para ulama salaf sangat intensif dalam membenahi keadaan masyarakat, terutama mereka yang memegang kendali pemerintahan itu sendiri. Hal ini tiada lain karena mereka berprinsip bahwa jika saja para pejabat itu bersikap adil, tidak korup dan bertindak jujur, maka dapat dipastikan negeri akan tenteram dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh penduduk.
Seorang ulama yang terkenal sebagai pendiri suatu Madzhab yang pernah berkembang pesat di Iraq dan sekitarnya, yakni Syeikh Sufyan Ats-Tsauri, mengatakan:
“Pada suatu hari aku dipanggil oleh baginda Abu Ja’far Al-Manshur selaku khalifah Abbasiyah yang amat terkenal itu untuk bertandang di khemahnya ketika melaksanakan wuquf di Mina. Setelah kami bertatap muka dan berbasa-basi seperlunya, Baginda pun menawarkan jasanya:
“Hendaklah tuan mengutarakan hajat dan kebutuhan apa pun kepadaku, mumpung aku memiliki kesempatan untuk memenuhi berbagai kepentingan yang menjadi tanggung jawabku”. begitu kata Baginda.
“Wahai Baginda!,” kata Ats-Tsauri, “bahwasannya Baginda mendapat kesempatan duduk di singgasana kerajaan itu, tiada lain adalah berkat kerja keras kaum Muhajirin dan Anshar yang siang malam tidak henti-hentinya mengangkat senjata demi kejayaan agama Allah ini. Padahal putra-putri mereka sendiri banyak yang mati kelaparan karena memang kehidupan mereka sangat mengenaskan. Untuk itu Baginda hendaklah lebih takut kepada Allah, kemudian santunilah mereka dan perhatikan kehidupan mereka dengan baik.”
Mendapat jawaban seperti ini Baginda tersentak kaget, kemudian janggutnya langsung menekur ke bawah. Sejenak kemudian ia mendongakkan kepala seraya mengatakan:
“Aku katakan pada tuan, hendaklah tuan sudi mengutarakan kebutuhan tuan sendiri kepadaku!” begitu desak Baginda lagi.
“Pada suatu kesempatan,” kata Ats-Tsari lagi, “Umar bin Khathab Ra. melaksanakan ibadah haji. Ketika itu pula ia mengatakan kepada bendaharanya:
“Berapa uang yang sudah kau belanjakan untuk kepentingan haji ini?,” tanya Umar.
“Sudah tujuh belas dirham, wahai Amiril Mukminin,” jawab si bendahara Umar.
“Betapa ironis sekali, wahai Al-Manshur,” lanjut Ats-Tsauri, “Kau begitu banyak membawa harta-harta ummat Islam ketika melaksanakan haji sehingga beberapa onta tampak menanggung beban yang begitu berat.
“Lantas bagaimana mengenai tawaran kucuran dana itu?,” tanya Baginda kembali.
“Aku tidak memerlukan, berikanlah kepada mereka yang berhak menerima. Hal itu lebih membawa keselamatan hidupmu. Sedangkan sampai kini aku masih dicukupi oleh Allah. Cukup Dia sebagai pelindungku dan Yang memelihara hidupku. Dan jika saja harta itu kau dapatkan dari usaha yang zalim atau hasil merampas harta rakyat, segeralah kembalikan pada mereka,” begitu jawab Ats-Tsauri tegas.
Pernah pula pada suatu hari, Ibnu Abi Syamilah memasuki istana Abdul Malik bin Marwan. Sejenak kemudian Baginda mempersilakan Ibnu Abi Syamilah untuk membuka pembicaraan. Mendapat kesempatan emas ini, Ibnu Abi Syamilah segera melontarkan kritikan-kritikan pedasnya.
“Wahai Baginda!, ketika hari kiamat nanti telah tiba, maka gugusan manusia tidak akan bisa lepas dari penderitaan yang akan mencekik leher-leher mereka dan membuat kesengsaraan yang menjadikan derita tiada akhir, terkecuali mereka yang ketika hidup selalu berusaha keras untuk menggapai ridha Allah kendati nafsu dirinya meronta dan menggelepar murka kepadanya.
Mendapat jawaban yang menyentuh perasaan ini, air mata Baginda tidak bisa dibendung lagi. Dan setelah mata yang sembab itu disekanya, maka Baginda mengatakan lagi:
“Demi Allah, kalimat-kalimat yang telah tuan utarakan itu akan aku cermati dan tidak pernah akan aku lupakan selama hayat masih dikandung badan,” begitu kesadaran Baginda tergugah mengagumkan.
Pernah pula ketika khalifah Utsman bin Affan mengangkat Abdullah bin Amir sebagai pejabat baru, maka para sabahat Rasulullah yang lain segera berbondong-bondong mengelu-elukan dan memberi penghormatan yang begitu semarak kepada Abdullah. Namun Abu Dzarr tampak cuek, sehingga sampai beberapa minggu ia tidak tampak hadir memberi restu kepada Abdullah. Sikap Abu Dzarr itulah yang membuat Abdullah naik pitam sehingga Abu Dzarr diperolok begitu rupa sampai memanaskan daun telinga. Maka dengan enteng saja Abu Dzarr mengatakan:
“Aku telah mendengar Rasulullah Saw. mengatakan bahwa barang siapa diangkat menjadi pejabat untuk mengurusi sebuah kekuasaan, maka Allah akan segera menjauh darinya.”
Abdullah bin Amir pun hanya bisa diam tanpa bereaksi, maupun menunjukkan sebuah ekspresi.
Syeikh Malik bin Dinar pada suatu hari bertandang pada seseorang yang menjadi gubernur Bashrah, maka ketika Syeikh Malik telah mendapat kesempatan untuk berbicara, ia segera mengatakan:
“Aku pernah membaca sebagian keterangan yang terdapat pada kitab-kitab Allah yang lain, di sana Allah mengatakan:
“Betapa kebanyakan para penguasa itu begitu bodoh. Begitu tololnya orang yang berlaku maksiat kepada-Ku. Sebaliknya, alangkah mulianya mereka yang menjadikan-Ku sebagai tumpuan kemuliaan dirinya. Wahai para penguasa bobrok, telah Aku titipkan domba-domba yang begitu gemuk dan lincah kepada kalian, namun setiap hari daging-dagingnya selalu kalian gerogoti, sedangkan bulu-bulunya tidak luput pula kalian gunduli sebagai pakaian yang tampak mendongkrak martabat kalian. Namun pada akhirnya domba-domba itu hanya tinggal belulang yang sebentar lagi reot dan ambruk karena tidak kelar menahan beban.”
Gubernur Bashrah itu tersentak dari tempat duduknya seraya mengatakan:
“Wahai Syeik Malik, adakah tuan mengerti, mengapa tuan begitu berani berhadapan dengan aku yang kapasitasnya sebagai Gubernur yang terhormat, ucapanmu begitu petah dalam menghadapiku?,” begitu umpan balik Gubernur Bashrah dengan gagap.
“Tidak, aku tidak mengerti, dan memang sikap seperti itu yang selama ini menjadi identitasku,” sahut Syeikh Malik dengan tegar pula.
“Mengertilah Syeikh Malik, sikap tuan yang seperti itu tiada lain karena tuan tidak pernah menggantungkan sebuah harapan apa pun kepadaku (tamak). Tidak pernah pula menahan apa yang telah tuan terima dari apa pun yang aku berikan, bahkan semua itu segera tandas ketika tuan segera membagi-bagikan kepada masyarakat.”
Begitu pula ketika Baginda Sulaiman bin Abdul Malik bersama Umar bin Abdul Aziz (calon raja) mengadakan inspeksi di sebuah lapangan yang dikunjungi berbagai lapisan masyarakat yang cukup padat, tiba-tiba saja terdengar sebuah dentuman guntur yang memekakkan telinga. Hati Baginda cukup kecut dibuatnya dan segera merapat pada tubuh Umar bin Abdul Aziz. Maka segera saja Umar mengatakan:
“Mengapa tuan begitu takut ketika mendengar suara datangnya rahmat Allah (hujan), bagaimana sikap tuan jika mendengar suara azab-Nya yang mungkin ditimpakan kepada kita?”
Baginda hanya bisa diam, namun hati kecilnya sangat menghormati atas kredibilitas Umar bin Abdul Aziz. Dan setelah suasana agak kondusif, Baginda menunjukkan kebanggaannya ketika melihat rakyat yang begitu patuh memenuhi seruan kerajaan untuk berkumpul mendengarkan wawasan yang akan diutarakan oleh Baginda. Dalam kondisi perasaan hati yang begitu menggelora itu, dari mulut Baginda keluarlah sebuah ucapan:
“Wahai Umar, betapa bangganya, seluruh lapisan masyarakat telah tampak hadir di kawasan ini. Hal ini jelas menunjukkan simpati mereka kepada kerajaan!”
Namun Umar segera menyergah:
“Memang betul apa yang Baginda ucapkan itu, namun hanya pada satu sisi. Di sisi yang lain, mereka siap menjadi musuh Baginda di altar hari kiamat nanti ketika hak-hak mereka tidak Baginda laksanakan dengan semaksimal mungkin.”
Dengan sengit, Baginda pun menyerang balik ucapan Umar bin Abdul Aziz dengan mengucap:
“Semoga kau diuji Allah pula sebagaimana aku diuji melaksanakan tugas-tugas berat kerajaan seperti ini,” begitu sahut Baginda Sulaiman dengan hati mendongkol. Namun memang terbukti juga ucapan Baginda itu, Umar bin Abdul Aziz juga menjadi raja setelah menggantikan kedudukan Musa Al-Hadi ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar