Penyebab Tangis Umar
Amar makruf dan nahi ‘anil munkar atau lebih mudahnya yaitu menyuruh berbuat kebajikan dan mencegah segaka keburukan merupakan perihal yang begitu pokok dalam agama (Islam). Dari padanya Allah telah mengutus para nabi dan para utusan, sehingga jika saja amar makruf dan nahi munkar itu ditiadakan, maka tidaklah diperlukan lagi kenabian atau berpegang pada agama. Hal ini akan berakibat hancurnya seluruh sektor kehidupan dan tersebarnya kebodohan dan perbuatan merusak dengan tanpa adanya penghalang sama sekali. Pembiaran seperti ini jelas akan menyeret pada lenyapnya kehidupan, kendati pun yang berperilaku buruk itu tidak merasakan segala akibatnya terkecuali nanti di hari pembalasan.
Namun demikian amar makruf dan nahi munkar itu sendiri harus memakai kebijaksanaan yang tepat agar kebaikan yang didapatkan sesuai dengan resiko yang dihadapi. Atau kalau mungkin hendaknya resiko itu ditekan sedemikian rupa agar yang didapatkan hanya kemaslahatannnya. Para ulama membagi amar makruf nahi munkar ini menjadi empat tahapan. Pertama, dengan memberi pengertian. Kedua, yaitu dengan memberikan nasihat. Dan jika saja yang diberi nasihat itu sudah tidak mengindahkan lagi, maka diteruskan pada tahapan lebih lanjut, yakni Ketiga, yaitu berlaku keras mengenai ucapan. Keempat, mencegah dengan memaksa mereka sehingga sanggup menapak pada kebenaran, kendati sampai dengan memukul atau pun menyiksanya.
Namun dalam menghadapi para penguasa, amar makruf nahi munkar ini pada biasanya yang dapat diterapkan hanyalah yang pertama dan yang kedua. Sedangkan yang keempat ini dampak madharatnya akan lebih besar dari pada manfaatnya. Namun untuk yang ke tiga, yakni berkeras dalam ucapan kepada para penguasa, sebagaimana ‘Hai orang zalim, hai orang yang tidak punya takut kepada Allah!’ dan sejenisnya. Jika saja ucapan ini mengakibatkan sebuah resiko yang akan menimpa orang lain, tindakan itu tidak diperbolehkan. Sedangkan jika resiko itu hanya ditanggung yang bertindak amar makruf, maka sikap itu diperbolehkan, bahkan malah dianjurkan. Sebab banyak sekali ulama salaf yang bertindak seperti itu dengan tanpa menoleh lagi pada resiko yang akan ditanggung dirinya. Sehingga mereka dengan terang-terangan berani mencegah munkar kendati akan disiksa sedemikian rupa. Mereka berkeyakinan bahwa mati dalam menghadapi resiko ini merupakan sebuah syahadah (mati syahid). Sebagaimana dikisahkan bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang raja dan pendiri daulah Bani Umayah pernah menahan distribusi harta benda kerajaan yang menjadi hak seluruh rakyat. Dalam kondisi seperti itulah Abu Muslim Al-Khaulani segera menghadap pada Baginda seraya mengatakan:
“Wahai Muawiyah, harta kerajaan itu bukanlah hasil jerih payahmu, bukah hasil jerih payah ibumu, juga bukan dari keringat bapakmu! (mengapa tidak segera kau bagikan kepada rakyat, he.. !).”
Mendengar ucapan kasar seperti ini, Muawiyah tampak marah dan segera turun dari podium seraya mengatakan:
“Tetaplah kalian berada disini, aku akan segera kembali menemui kalian.”
Muawiyah segera pergi dari hadapan para hadirin, dan dalam waktu sekejap saja ia sudah kembali lagi, namun ia tampak baru saja mandi besar. Ketika itulah ia mengatakan:
“Perkataan Abu Muslim telah membuat saya marah besar. Padahal aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Marah itu dari syetan, sedangkan syetan itu diciptaan dari api neraka. Yang bisa memadamkan api tiada lain hanyalah air. Dengan demikian barang siapa yang marah, hendaknya segera mandi.”
“Aku tadi,” kata Muawiyah lagi, “segera memasuki istana untuk mandi. Dan memangnya Abu Muslim itu pada pihak yang benar, sebab harta kerajaan itu bukan hasil jerih payahku atau jerih payah bapak ibuku atau kakekku. Sekarang seluruh rakyat hendaknya segera pergi menghadapku untuk menerima pemberian harta kerajaan”. begitu hati Muawiyah segera luluh karena nasihat Abu Muslim Al-Khaulani sehingga sebuah makruf bisa mengalir sesuai dengan kebenaran.
Dikisahkan pula dari Dhabah bin Muhshan Al-‘Anzi bahwa ketika Abu Musa Al-Asy’ari menjadi gubernur Bashrah, sudah biasa jika para penguasa ketika itu juga bertindak sebagai khathib dalam melaksanakan shalat Jum’at. Abu Musa juga bertindak sebagai khathib ketika itu. Dan khutbah Abu Musa selalu diawali dengan membaca hamdalah kemudian bershalawat kepada Rasulullah yang diteruskan dengan berdo’a memberi rahmat kepada Khalifah kedua, yakni Umar bin Khathab Ra. dengan tanpa menyebut Abu Bakar sebagai Khalifah pertama. Perilaku Abu Musa itu telah berjalan kira-kira tiga Jum’at. Hal inilah yang menjadikan Dhabah naik pitam.
Maka ketika khutbah masih berlangsung, Dhabah segera berdiri memperingatkan Abu Musa:
“Bagaimana anda tidak menyebut pendahulu Umar dan malah lebih mengutamakan dia dari pada Abu Bakar.”
Sejak peristiwa itu, setiap Abu Musa naik mimbar dan membacakan khutbahnya dengan tanpa mau memperbaiki dan menyebut Abu bakar, setiap kali itu pula Dhabah selalu memperingatkan Abu Musa. Hingga Abu Musa merasa jengkel dan bertekad untuk melaporkan perilaku Dhabah pada Amiril Mukminin di Madinah. Abu Musa segera menulis surat mengenai ulah Dhabah yang selalu mengganggu khutbahnya itu kepada Umar bin Khathab. Beberapa hari selanjutnya, Abu Musa segera mendapat balasan dari Khalifah :
“Hendaklah Dhabah dihadirkan ke hadapan Khalifah di Madinah”. begitu bunyi surat itu.
“Aku pun dihadirkan,” kata Dhabah, “Oleh Abu Musa di hadapan Amiril Mukminin. Maka segera aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu Khalifah. Ketika itu pula Umar segera keluar seraya mengatakan :
“Siapa kamu?”
“Saya Dhabah,” jawabku dengan tegas.
Lebih lanjut Umar mengatakan padaku:
“Laa marhaban walaa ahlan.”
(Semoga kau tidak menemui kebahagiaan dan tidak pula ahli dalam kebajikan)1
“Adapun yang pantas memberi kebahagiaan (murahhib) itu hanya Allah semata. Sedangkan mengenai ahlan, kebetulan sekali aku tidak memiliki isteri atau keluarga, apalagi harta. Dengan demikian ucapan Khalifah tidak mengenai sasaran yang semestinya. Sekarang aku yang bertanya, wahai Khalifah:
“Mengapa Khalifah menyibukkan diriku dan memaksa aku hadir di sini dari kota tempat tinggalku yang cukup jauh, padahal aku tidak merasa mempunyai dosa, atau perilaku buruk yang aku kerjakan, ” begitu tangkis Dhabah dengan sengit.
“Mengapa terjadi pertikaian antara kau dan Gubernur bawahanku?,” begitu cecar Umar bin Khathab lagi.
“Begini, wahai Khalifah! Abu Musa setiap kali membaca khutbah mestilah membaca hamdalah yang diikuti dengan shalawat dan mendo’akan rahmat kepadamu dengan tanpa menyebut Abu Bakar sebagai pendahulumu. Hal itulah yang menjadikan diriku naik pitam. Sebenarnya aku telah berusaha memberi peringatan padanya pada setiap kali ia melakukan kesalahan, namun Abu Musa tampak tidak menghiraukan ucapanku itu sampai beberapa Jum’at berlangsung. Anehnya, malah dia malah berkirim surat kepada Baginda mengadukan perilaku diriku yang dianggapnya tidak sopan itu,” begitu Dhabah menguraikan alasannya panjang lebar.
Ketika penjelasan itu telah disampaikan, segera saja Khalifah beranjak memasuki rumah dengan suara tangis yang tidak bisa ditahan lagi sembari mengatakan:
“Wahai Dhabah, demi Allah kamu lebih mendapat petunjuk dan lebih berpihak pada kebenaran. Sekarang sudikah kau memberi maaf padaku, wahai Dhabah. Semoga kau juga diampuni Allah?,” Umar mengucapkannya dengan terputus-putus.
“Semoga Amiril Mukminin mendapat ampunan Allah,” begitu sambungku.
Mendapat jawaban ini, air mata Umar malah bertambah deras lagi. Dengan kalimat yang terbata-bata pula ia melanjutkan ucapannya:
“Demi Allah, waktu satu malam atau satu hari saja bagi Abu Bakar adalah lebih baik dari pada Umar beserta keluarganya. Maukah kau mendengarkan cerita mengenai sisi kebajikan malam atau siang Abu Bakar?,” begitu Umar menawarkan.
“Oh, itu tentu, wahai Amiril Mukminin,” tukasku kemudian.
“Ingatlah pada suatu malam,” begitu Umar mulai bercerita, “Rasulullah Saw. menghendaki untuk ke luar dari Makah melarikan diri dari orang-orang musyrik untuk berhijrah ke Madinah. Malam itu Abu Bakar segera mengikutinya. Namun Abu Bakar begitu khawatir mengenai keselamatan Rasulullah Saw. sehingga dia tampak sebentar berlari di muka Rasulullah, dan sebentar lagi berlari di belakang beliau. Dan kadang di sebelah kanan, yang sebentar lagi berpindah ke sebelah kiri. Setelah Rasulullah mengetahui perilaku Abu Bakar yang tampak aneh ini, segera beliau menanyakan:
“Sikapmu tampak aneh benar, wahai Abu Bakar, perilaku seperti ini belum pernah aku saksikan sebelumnya. Mengapa yang demikian itu terjadi?,” begitu Rasulullah memancing jawaban Abu Bakar.
“Wahai Rasulullah, aku mengkhawatirkan sekali mengenai bidikan senjata musuh. Ketika itulah aku segera berada di depanmu. Dan ketika aku teringat mereka yang akan mengejarmu. Maka aku segera ke belakang dengan maksud agar badanku dulu yang terkena sasaran mereka. Sedangkan ketika aku di arah sampingmu, itu karena sedetik pun aku tidak merasa aman terhadap bahaya yang akan menimpamu,” begitu jawab Abu Bakar mengenai pembelaan yang tiada tara.
Ketika hijrah itu pula,” lanjut Umar bin Khathab lagi, “Rasulullah berlari dengan memakai jari kakinya agar derap langkahnya tidak terdengar, namun hal ini berakibat fatal, seluruh jari-jari kakinya pecah-pecah. Setelah Abu Bakar melihat penderitaan Rasulullah, segera saja beliau digendong bergelayut di pundaknya kemudian berlari sampai di mulut gua Tsaur. Ketika itulah beliau baru diturunkan. Namun segera saja Abu Bakar mengatakan:
“Demi Allah yang diriku ada pada kekuasaan-Nya, biarlah aku dahulu yang memasukinya. Dengan maksud jika saja ada bahaya yang mengancam, biar diri saya dahulu yang menjadi sasaran.”
Sejenak kemudian Abu Bakar segera memasuki gua itu seraya memeriksa tempat di sekitarnya. Setelah dirasakan aman, barulah Rasulullah digendong untuk memasuki gua itu. Namun di dalam gua itu terdapat beberapa lobang yang diduga sebagai sarang ular. Demi keamanan dan melindungi tubuh Rasulullah, Abu Bakar segera menyumbat sebuah lubang dengan telapak kakinya yang diperkirakan jelas sebagai sarang ular. Ternyata memang di lubang itu mengeram seekor ular. Merasa arealnya terganggu, ular itu segera memagut telapak kaki Abu Bakar.
Karena ia berusaha menenteramkan hati Rasulullah, rasa sakit pagutan ular itu ditahannya saja sedemikian rupa. Namun dengan tidak disadari, air mata Abu Bakar mengalir di pipinya sebagai pelepas rasa sakit yang sejak tadi ditahannya. Setelah melihat penderitaan Abu Bakar ini, Rasulullah segera menghiburnya dengan mengatakan:
“Wahai Abu Bakar, janganlah engkau bersusah hati. Ingatlah, Allah selalu beserta kita.”
Terbukti Allah segera melimpahkan rahmat dan kebahagian-Nya kepada dua figur pilihan itu.
“Itulah kesempatan semalam,” kata Umar lagi, “Yang begitu berharga bagi Abu Bakar sehingga melebihi malam-malam yang dilalui oleh Umar beserta keluarganya. Sedangkan mengenai hari yang sangat berharga dari perilaku Abu Bakar. Ingatlah, wahai Dhabah! ketika Rasulullah Saw. wafat, maka banyak sekali kabilah-kabilah Arab yang murtad seakan tidak ada kekuatan yang akan bisa mengalahkan mereka lagi. Malah banyak dari mereka yang mengatakan: “Kita tetap menjalankan shalat, namun mengenai urusan zakat, sebaiknya kita berhentikan sementara.”
Dalam keadaan kritis seperti ini, aku (Umar) segera saja bertandang menemui Abu Bakar untuk menyampaikan sebuah pendapat yang mungkin bisa menjadikan kondisi akan lebih baik. Ketika itulah aku sampaikan pendapatku:
“Wahai Khalifah Rasulullah Saw, dalam kondisi keamanan belum stabil seperti ini, hendaklah engkau dahulukan langkah, bagaimana agar seluruh hati rakyat menaruh simpati terlebih dahulu pada kepemimpinanmu. Seketika itu Abu Bakar langsung menjawab dengan tegas:
“Adakah kita bersikap begitu garang di masa Jahiliah dulu, namun setelah kita memeluk Islam menjadi begitu lunak seakan tidak mampu berbuat! Dengan alasan apa. aku akan membuat langkah agar mereka simpati kepadaku (dengan membiarkan mereka tidak membayar zakat), padahal sudah tidak ada lagi wahyu yang turun, dan Rasulullah pun sudah wafat. Demi Allah, kalau pun meereka membangkang untuk membayarkan seekor anak onta yang pernah dibayarkan ketika Rasulullah masih hidup, mereka akan segera aku perangi karenanya,” begitu jawab Abu Bakar berapi-api.
“Abu Bakar segera bertindak,” kata Umar lebih lanjut, “Memerangi para pembangkang zakat itu sehingga mereka kembali lagi dan taat pada pemerintahan Islam. Dan terbukti memang Abu Bakar lebih berpihak pada kebenaran daripada diriku, wahai Dhabah.
“Setelah Umar bin Khathab menguraikan dan membandingkan kedua pribadi ini, yakni dirinya dan diri Abu Bakar, kemudian ia segera menulis surat untuk menasihati dan menumpahkan kemarahannya pada Abu Musa Al-Asy’ari yang menjadi gubernur Bashrah ketika itu,” begitu kata Dhabah.
Demikianlah sikap Al-Faruq dalam menghadapi sebuah kenyataan. Yang hak dikatakan hak dan yang batil pun dikatakan batil. Tidak pernah kebenaran dimanipulasi menjadi kebatilan atau sebaliknya ◙
Kamis, 31 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar