Kamis, 31 Desember 2009

Keberanian Syeikh Hasan Bashri

Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi merupakan seorang panglima Baginda raja Abdul Malik bin Marwan yang terkenal sangat kejam. Ia yang telah berhasil membunuh Abdullah bin Zubair di dekat Ka’bah hingga kepalanya dikirim ke Damaskus untuk dipersembahkan kepada pimpinannya. Pada masa itu pula hidup seorang ulama kenamaan, malah diperhitungkan sebagai figur tabi’ien yang paling utama, dan dikaruniai umur yang cukup panjang, 90 tahun. Wafat sekitar tahun 110 H. Dialah Syeikh Hasan Bashri.
Dikisahkan oleh Ibnu ‘Aisyah bahwa pada suatu hari Hajjaj bin Yusuf mengundang seluruh ulama Kufah dan Bashrah untuk bertatap muka. Maka kami,” kata Ibnu ‘Aisyah, “Bersama Hasan Bashri segera memasuki sebuah istana dan merupakan ulama terakhir yang datang. Ketika Hajjaj melihat Hasan Bashri, segera saja ia mempersilakan dengan mengatakan:
“Marhaban, bahagia sekali bertemu dengan Syeikh Hasan.”
Lantas Hajjaj memanggilnya untuk segera duduk berdampingan dengannya. Sejenak kemudian telah terjadi ramahtamah yang mengasikkan antara kami, namun pada akhirnya ucapan Hajjaj menjurus mengumpat Ali bin Abi Thalib Karramal’lahu Wajhah (dendam bebuyutan!). Sebenarnya dalam hati kami timbul keraguan untuk meneruskan pembicaraan itu, namun terasa tidak etis. Masalahnya kami merupakan pihak yang diundang, dengan demikian berkewajiban menghormati tuan rumah. Lebih tegasnya kami tidak bisa bersikap tegas melawan kehendak Hajjaj, di samping ada perasaan takut mendapat perangai jelek darinya. Namun Syeikh Hasan Bashri tampak berdiam diri dan termenung panjang. Setelah Hajjaj mengetahui sikap oposisi Hasan Bashri ini, segera saja ia menegurnya:
“Wahai Syeikh Hasan, mengapa Anda tampak berdiam diri tidak mau mengikuti alur pembicaraan kawan-kawan Anda?”.
Saat itulah Hasan Bashri mendapat kesempatan untuk menuntaskan segalanya:
“Leherku seakan tersekat,” begitu tukas Syeikh Hasan Bashri.
“Kalau begitu bagaimana pendapatmu mengenai Abi Turab (Ali bin Abi Thalib) tadi?,” kejar Hajjaj berikutnya.
“Aku sendiri,” sambung Syeikh Hasan Bashri lebih lanjut, “Telah membaca mengenai firman Allah:
“Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu itu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh pengalihan kiblat itu akan terasa amat berat kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia ( QS . 2 : 143 ).
Kalau kita mau berfikir secara dewasa,” lanjut Hasan Bashri lagi, “Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang telah mendapat petunjuk dari Allah dan beriman pula. Apalagi ia putra paman Rasulullah, menjadi menantunya dan termasuk orang yang paling dicintai Rasulullah. Ia memiliki martabat yang begitu mulia yang telah diakui Allah. Anda atau siapa pun, tidak akan bisa menghalangi karunia Allah padanya. Dan jika saja Ali bin Abi Thalib itu termasuk orang yang berkepribadian buruk, tentulah Allah yang akan menindaknya. Setelah lama aku pikir, tampaknya tidak ada ucapan yang lebih lurus daripada apa yang telah kuucapkan tadi,” begitu Hasan Bashri mencecar telinga Hajjaj sampai berbuih-buih.
Mendengar uraian ini, keruan saja muka Hajjaj merah padam dibuatnya, ia segera bangkit dari singgasananya dengan kemarahan yang meluap-luap. Kemudian ia tampak memasuki ruangan dalam, dan kami pun segera membubarkan diri.
Setelah peristiwa itu, seorang ulama yang bernama Amir Asy-Sya’bi segera menggandeng lengan Hasan Bashri untuk keluar istana seraya mengatakan:
“Wahai Syeikh Hasan, tuan telah membuat marah Hajjaj dan menjadikan hatinya begitu panas.”
“Menyingkirlah kau dariku,” kata Hasan Bashri, “Bagaimana pendapat masyarakat bila saja mereka tahu bahwa Amir Asy-Sya’bi yang terkenal ‘alim itu telah mendatangi syetan dari jenis manusia seraya membenarkan dan mengikuti apa yang menjadi kehendaknya? Celakalah kau, Amir!, mengapa kau tidak memiliki rasa takut dosa ketika terjadi umpatan yang tak terbendung tadi, dan kau tampak malah mengikuti alur penjilat itu. Padahal jika saja kau diam, mestinya akan lebih membawa keselamatan akhiratmu,” begitu Hasan Bashri menumpahkan kemarahannya pada Amir.
“Wahai Syeikh Hasan!, tadi memang betul aku mengikuti alur umpatan Hajjaj, namun hatiku tidak sependapat dengan apa yang telah aku ucapkan,” begitu Amir berapologi.
“Celaka kau Amir! yang demikian itu malah akan menjadi bumerang yang mencelakakan dirimu kelak di muka Allah nanti, lebih berat pula dosanya. Sikap demikian itu merupakan indikasi dari berbagai sifat orang munafik,” begitu Hasan Basri mengcounter ucapan Amir.
Setelah terjadi tarik ulur yang demikian ini, keduanya lantas berpisah dengan menyimpan perasaan yang teraduk-aduk di hati masing-masing. Namun beberapa hari kemudian, Hajjaj segera mengutus seseorang untuk bertandang ke rumah Hasan Bashri seraya mengutarakan tuduhan:
“Adakah kau yang telah mengatakan: “Semoga Allah melaknat mereka (Hajjaj dan kroninya) yang memerangi kelompok lain demi uang dinar atau dirham?”
Dengan tegas saja Hasan Bashri mengatakan: “Ya, memangnya ada apa!”
“Apa yang mendorong kemauanmu untuk berbuat nekad seperti itu?,” sambung utusan Hajjaj lagi.
“Seorang ulama telah terikat janji yang teguh di hadapan Allah bahwa:
Mereka tidak akan surut dalam memberi penjelasan mengenai Kitabullah, tidak pula diperbolehkan untuk menutup-nutupi kebenaran,” 1 begitu jawab Hasan sangat tegas.
“Aku sarankan, wahai Hasan. Akan lebih baik jikalau kau menutup mulut, dengan maksud jangan sampai ada berita yang tidak mengenakkan hati Panglima Kerajaan (Hajjaj), karena bisa menjadi penyebab badanmu akan berpisah dari kepalanya,” begitu utusan itu mengancam, namun Hasan sedikit pun tidak gentar menghadapinya.
Kemudian utusan itu beranjak pergi tanpa berpamitan, dan Syeikh Hasan Bashri pun segera menutup pintunya rapat-rapat ◙

Tidak ada komentar:

Posting Komentar