Senin, 04 Januari 2010

At-Tasturi Membajak sawah

Sebagian ahli tasauf mengisahkan:
“Pada hari ‘Arafah selepas Ashar aku membantu Abu Ubaid At-Tasturi untuk membajak sawahnya. Tiada disangka datanglah seorang kawan karib beliau yang terkenal sebagai abdal itu. Karib itu langsung mendatangi At-Tasturi seraya membisikkan sesuatu. Namun segera saja dijawab At-Tasturi dengan nyaring:
“Tidak, aku tidak mau!,” begitu At-Tasturi aku dengar.
Karib itupun segera beranjak pergi. Dan beberapa saat kemudian aku bertanya:
“Apa yang dikatakan karib tadi, wahai guru!,” tanyaku.
“Aku diajak pergi untuk beribadah haji sekarang juga, namun segera aku jawab, tidak,” begitu jawab At-Tasturi.
“Mengapa Tuan tidak mau berangkat saja, mumpung ada yang menanggung biayanya?,”kejarku lagi.
“Aku belum mempersiapkan niat untuk berhaji, hatiku masih berkeinginan untuk menyempurnakan pekerjaan ini hingga selelasai menjelang Maghrib,” sebuah jawaban itu tampak aneh.
“Mengapa demikian,” sergahku pula.
“Aku khawatir sekali jika saja aku memaksakan diri, maka malah akan mengundang murka Allah, sebab mungkin saja di tengah-tengah ibadah nanti dalam benakku masih terbayang pekerjaan yang belum selesai ini. Dengan demikian pekerjaanku ini akan lebih berharga dari pada tujuh puluh haji.
Dikisahkan pula dari sebagian ulama tasauf:
“Pada suatu hari aku berangkat untuk bertempur bersama rombongan yang cukup banyak dengan menumpang sebuah kapal layar. Namun sebelum sampai di tempat tujuan, seseorang menawarkan kepadaku harta niaga yang berupa barang berharga dalam sebuah kantung. Segera saja tawaran itu aku setujui sehingga terjadi transaksi jual-beli. Dengan maksud sebelum nanti sampai di tujuan, barang itu akan segera aku jual lagi, dimana aku akan berlaba, sehingga akan mendapat pahala akhirat dan keuntungan dunia – sekali mendayung, satu, dua pulau terlampaui – begitu maksudku. Namun ketika malam telah tiba dan kantukku datang, aku melihat dua malaikat yang turun dari langit, salah satunya mengatakan:
“Tulislah dan daftarlah mereka yang mengikuti pertempuran ini!.”
Malaikat yang diperintah itu pun segera menulis seluruh penumpang kapal, kemudian membacakannya satu persatu :
“Orang ini berjihad karena riya’, orang ini pergi bermaksud untuk rekreasi, dan yang ini pergi untuk berdagang, dan yang sebelah itu betul-betul berjihad karena Allah.”
Malaikat yang pertama kemudian memandangku begitu tajam, kemudian mengatakan:
“Tulislah orang itu termasuk mereka yang pergi berdagang.”
“Wah, cilaka betul patik!,” gumamku dalam hati ketika mimpi masih berlangsung.
Aku pun segera menyergah secepatnya: “Takutlah kalian kepada Allah, jangan menulis sembarangan, kepergianku tidak untuk berdagang. Lihatklah, aku tidak membawa barang perniagaan (padahal barangnya cukup dikantongi dalam saku).”
“Wahai orang tua, kemarin kamu telah membeli barang yang ada dalam kantong, dimana kau berharap mendapat keuntungan dari penjualannya, bukankah begitu,” sergah seorang malaikat.
Aku pun hanya bisa menangis, namun segera saja aku katakan:
“Jangan kalian menulisku sedemikian itu. Jangan kau tulis aku sebagai pedagang!,” pintaku memelas.
Sejenak kemudian malaikat itu memandang kepada kawannya seraya mengatakan:
“Bagimana pendapatmu, hai kawan!.”
“Kita tulis saja bahwa orang tua itu memang pergi untuk berjihad, namun di tengah perjalanan ia mengadakan transaksi barang berharga agar mendapat keuntungan darinya. Kemudian kebijaksanaan selanjutnya kita serahkan saja kepada Allah. Biarlah Allah yang akan memutus perkaranya,” begitu keterangan malaikat yang membawa buku daftar.
Dan ketika bangun, betapa tubuhku begitu lunglai, tangisku tiada henti-hentinya sehingga seluruh barang itu segera aku berikan kepada kawan-kawanku untuk biaya berjihad sampai tandas.


■■■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar