Matahari tampak telah tergelincir ke arah barat. Seorang utusan kaum Arab yang bernama al-Asyaj datang menemui Rasulullah Saw. Setelah sampai di halaman masjid, ia menderumkan ontanya kemudian menambatkannya di sebuah tiang dan segera melepas dua pakaian luarnya yang kemudian ditaruhkan di atas onta itu. Dengan tenang pula ia lantas mengambil sebuah kopor dan mengeluarkan dua helai pakaian yang khusus untuk menghadap kepada seorang pembesar. Dengan tenang, ia pun mengenakan dua pakaian itu, padahal Rasulullah telah berada di tempat itu dan dapat melihatnya dengan jelas sekali terhadap apa yang dilakukan al-Asyaj Setelah dirasakan apa yang dikenakan sudah lengkap, ia lantas berjalan menuju ke tempat Rasulullah Saw berada. Hal inilah yang mengundang decak kagum Rasulullah Saw sehingga mengatakan:
“Sesungguhnya dalam dirimu itu, wahai al-Asyaj, ada dua sikap yang sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Mendapat pujian seperti ini, al-Asyad pun tidak kalah terkejutnya.
“Apa keduanya itu, wahai Rasulullah. Aku relakan ayah dan ibuku sebagai tebusan”. begitu sergah al-Asyad.
“Kau begitu murah hati dan cukup sabar,” sambung Rasulullah.
“Adakah kedua sikap itu dari hasil usahaku sendiri atau memang sebagai pembawaan yang telah dikaruniakan Allah (instinct),” tanya Al-Asyaj lebih lanjut.
“Sikapmu itu tiada lain merupakan pemberian Allah semata,” sahut Rasulullah pula.
“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Yang telah memberikan dua sikap yang sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya”. begitu al-Asyaj memuji atas karunia yang didapatkannya.
Sabar merupakan sebuah karakter yang begitu terpuji, bahkan lebih mulia daripada menahan kemarahan. Sebab menahan amarah itu hakikatnya merupakan buah dari usaha bersabar. Dengan demikian seseorang yang tidak marah, ia tidak memerlukan lagi untuk menahan amarah itu. Akan lain dengan sikap sabar tersebut. Namun demikian pada awal mulanya, sebuah kesabaran sangat memerlukan usaha yang kuat sehingga jika seseorang telah membiasakan bersabar dalam jangka tertentu, sikap itu bisa menjadi kebiasaan. Pada akhirnya sebuah amarah tidak pernah lagi bergejolak. Dan jika saja bergejolak, maka lebih mudah untuk dikendalikan. Inilah yang pada akhirnya berujung pada kesempurnaan akal, bahkan sebagai indikasi buyarnya kekuatan amarah sehingga seluruh sikapnya dapat mengikuti kehendak akalnya, bukan kepada perasaan. Semua itu pada permulaannya dimulai dari sebuah usaha. Baik untuk memperoleh kesabaran itu sendiri ataupun dengan usaha menahan amarah. Rasulullah saw telah mengatakan:
“Ilmu itu haruslah diraih dengan belajar. Kesabaran harus diraih pula dengan usaha bersabar. Barang siapa bermaksud mendapatkan kebajikan, ia akan berhasil memperolehnya. Dan barang siapa berusaha menghindari keburukan, ia akan terhindar pula darinya.”
(HR. Thabrani dan Daru Quthni dari Abu Darda’). ◙
Jumat, 01 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar