Diriwayatkan dari Syeikh Malik bin Dinar bahwa dia dalam jangka empat puluh tahun begitu berkeinginan untuk minum susu, namaun hasrat itu tetap ditahannya. Begitu pula ketika ada seseorang yang bersedekah kurma kepadanya, maka segera saja dia mengatakan kepada para sahabatnya: “Cepatlah kalian memakannya, aku sudah empat puluh tahun ini tidak pernah merasakannya.”
Ketika Malik bin Dhaigham melintasi pasar Bashrah, ia melihat berbagai sayuran yang mengundang selera. Segera saja benaknya mengatakan bahwa nanti malam akan memasak sayuran itu dengan bumbu yang sedap. Namun segera saja ia berbalik bersumpah bahwa tidak akan memakan segala jenis sayuran sampai jangka empat puluh hari.
Begitu pula ketika Malik bin Dinar bertempat di Bashrah selama lima puluh tahun dengan tidak pernah mencicipi kurma busrah (ranum) juga tidak pernah mencicipi tamar (kurma kering). Pada akhirnya dia mengatakan:
“Wahai penduduk Basrah, aku telah berdomisili di sini sejak lima puluh tahun yang lalu dengan tidak pernah merasakan busrah atau pun tamar, namun ternyata kekayaan kalian juga tidak pernah bertambah. Begitu pula kemiskinanku juga tidak pernah berkurang.”
Kemudian ia mengatakan lagi: “Aku telah menceraikan dunia sejak lima puluh tahun yang lalu. Hal itu diawali ketika aku bermaksud untuk menenggak susu sejak empat puluh tahun yang lalu, namun sekali-kali aku tidak akan meminumnya sampai nanti berjumpa dengan Allah SWT.”
Pada suatu hari Hammad bin Abi Hanifah bertandang ke rumah Daud Ath-Thaiy, yang ketika itu pintu rumahnya tertutup rapat, namun dari dalam terdengar suara Hammad sedang mengatakan:
“”Wahai badan, kau begitu berhasrat untuk makan ketela pohon, dan segera saja kehendak itu aku perturutkan. Namun sekarang kau merajuk untuk mendapatkan kurma. Maka aku bersumpah, kau tidak akan pernah aku beri kesempatan untuk memperolehnya selama hidup.”
“Pada kesempatan itulah,” kata Hammad, “Aku baru mengetuk pintu dan memasuki rumahnya, ternyata tidak aku temukan orang lain selain dirinya.”
Di hari yang lain Abu Hazim melintasi sebuah pasar, pendangannya terantuk pada onggokan berbagai buah-buahan yang mengundang selera. Setelah sampai di rumah, ia menyuruh anaknya untuk segera pergi ke pasar membeli berbagai buah-buahan tersebut. Namun ketika anak itu telah mendapatkannya, Abu Hazim segera mengatakan:
“Wahai nafsu, kau telah menipuku sehingga pandanganku tertarik pada buah-buahan ini. Kau juga telah membujukku untuk membeli barang ini. Demi Allah, kau tidak akan aku masuki makanan berupa buah-buahan.”
Kemudian Abu Hazim segera menyuruh anaknya untuk memberikan buah-buahan itu kepada para anak yatim.
Begitu pula sudah sejak tujuh tahun ‘Atabah Al-Ghulam menahan keinginannya untuk memakan daging. Hal ini yang terkadang mengusik pikirannya bahwa dirinya terlalu ketat menahan keinginan hawa nafsu. Pada suatu hari ia pun pergi ke pasar untuk membeli daging dan roti secukupnya. Dan ketika sampai di rumah, segera saja daging itu dimasak dengan bumbu yang mengundang selera. Namun sejenak kemudian ia keluar rumah menemui seorang anak, kemudian anak itu dipanggilnya:
“Bukankah engkau anak si fulan yang telah meninggal itu!”
“Betul, saya anak yatim, tuan,” jawab anak tersebut.
Segera saja makanan beserta lauknya itu diberikan kepada anak itu dengan tanpa tersisa sedikit pun, kendati belum juga mencicipinya.
Begitu ketat mereka mencegah kemauan nafsunya, demi menggapai kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Pantas jika Allah mensinyalir bahwa figur-figur seperti itu masih ada, dan mereka nanti pada akhirnya akan berjaya memasuki surga:
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya (An-Nazi’at: 40-41). ◙
Jumat, 01 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar