Sesudah itu Rasulullah Saw tinggal di Medinah hampir dua bulan, kemudian beliau memberangkatkan ekspedisi, yakni serombongan prajurit terhadap Bani Mushtaliq di Muraisi' - suatu ekspedisi yang telah dijadikan bahan studi oleh setiap ahli sejarah dan penulis sejarah hidup Nabi. Soalnya bukan karena ekspedisi itu sangat penting, atau karena kedua belah pihak - Muslimin dan musuhnya - bertempur mati-matian sampai melampaui batas, tetapi karena kenyataan adanya malapetaka yang kemudian hampir menjalar ke dalam tubuh Muslimin sendiri kalau tidak segera Rasul mengambil langkah bijaksana, tegas dan meyakinkan; juga karena kemudian Rasul mengawini Juwairiah binti al-Harits, dan karena ekspedisi ini telah pula menimbulkan hadits al-ifki - peristiwa kebohongan - tentang diri Aisyah. Peristiwa ini telah menempatkannya ke dalam persoalan iman dan kekuatan hati - sementara itu usia Aisyah masih enambelas tahun - sehingga segalanya tidak akan berdaya, hanya karena keagungan iman dan kekuatan hati itu juga yang mampu menangkis segala isu negatif.
Bahwa kegiatan Bani Mushtaliq - yang merupakan bagian dari kabilah Khuza'ah - yang telah mengadakan persepakatan dalam perkampungan mereka di dekat Mekah, beritanya telah sampai pula kepada Rasulullah Saw. Mereka sedang mengerahkan segala potensi dengan maksud hendak membunuh Rasulullah Saw dengan dipimpin oleh komandan mereka Al-Harits bin Abi Dhirar. Rahasia ini diperoleh Rasulullah Saw dari salah seorang orang badwi. Maka beliau cepat-cepat berangkat, sementara mereka sedang lengah, seperti biasanya bila ia menghadapi musuh. Pimpinan pasukan Muhajirin di tangan Abu Bakar dan pimpinan pasukan Anshar di tangan Sa'd bin Ubadah. Pihak Muslimin ketika itu sudah berada di sebuah pangkalan air yang bernama Muraisi', tidak jauh dari wilayah Bani Mushtaliq. Kemudian Bani Mushtaliq dikepung. Pihak-pihak yang tadinya datang hendak memberikan pertolongan sekarang mereka sudah lari. Dari Bani Mushtaliq sepuluh orang terbunuh, dan dari pihak Muslimin, seorang konon bernama Hisyam bin Shubabah dibunuh oleh salah seorang dari Anshar yang keliru dikira dari pihak musuh.
Setelah terjadi sedikit saling hantam dengan panah, tak ada jalan lain buat Bani Mushtaliq mereka harus menyerah di bawah tekanan pihak Muslimin yang kuat dan bergerak cepat itu. Mereka dibawa sebagai tawanan perang, begitu juga wanita mereka, unta dan binatang ternak yang lain. Dalam pasukan tentara itu Umar bin Khattab mempunyai orang upahan yang bertugas menuntunkan kudanya. Selesai pertempuran orang ini pernah berselisih dengan salah seorang dari kalangan Khazraj karena soal air. Mereka jadi berkelahi dan sama-sama berteriak. Pihak Khazraj berkata: "Saudara-saudara Anshar!" Sedang orang sewaan Umar berkata pula: "Saudara-saudara Muhajirin!."
Teriakan demikian itu terdengar juga oleh Abdullah bin Ubay, yang ketika itu bersama-sama dengan orang-orang munafik turut pula dalam ekspedisi dengan harapan akan beroleh bagian rampasan perang. Dendamnya kepada pihak Muslimin dan kepada Rasulullah Saw segera timbul. Dalam hal ini ia berkata kepada kawan-kawannya:
"Di kota kita ini sudah banyak kaum Muhajirin. Penggabungan kita dengan mereka akan seperti kata peribahasa: 'Membesarkan anak harimau. Sungguh, kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina."
Kemudian kepada golongannya yang hadir waktu itu ia berkata: "Inilah yang telah kamu perbuat sendiri. Kamu benarkan mereka tinggal di negerimu ini, dan kamu bagi harta-bendamu dengan mereka. Demi Allah, kalau apa yang ada pada kamu itu kamu pertahankan, pasti mereka akan beralih ke tempat lain."
Percakapannya itu dibawa orang kepada Rasulullah, yang ketika itu baru selesai menghadapi musuh. Ketika itu Umar bin Khattab hadir. Mendengar itu Umar marah sekali.
"Perintahkan kepada Bilal supaya membunuhnya," katanya.
Seperti biasanya, di sini Nabi memperlihatkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sudah matang, bijaksana dan punya pandangan jauh. Berpaling kepada Umar ia berkata:
"Umar, bagaimana kalau sampai menjadi pembicaraan orang dan orang mengatakan, bahwa Rasulullah Saw membunuh sahabat-sahabatnya sendiri."
Akan tetapi dalam pada itu ia sudah mempertimbangkan, bahwa soalnya akan jadi rumit sekali kalau tidak segera diambil langkah yang tegas. Oleh karena itu diperintahkannya agar diumumkan untuk segera berangkat dalam waktu yang tidak biasanya kaum Muslimin meninggalkan tempat itu. Berita yang disampaikan orang kepada Nabi itu sampai juga kepada Ibn Ubay. Cepat-cepat ia menemui Nabi hendak membantah adanya berita yang dihubungkan kepadanya itu. Ia bersumpah atas nama Tuhan, bahwa dia tidak mengatakan dan tidak pernah bicara begitu. Tetapi ini tidak mengubah keputusan Rasulullah Saw hendak meninggalkan tempat itu. Bahkan sepanjang hari hingga sore dan sepanjang malam hingga pagi harinya lagi terus-menerus ia memimpin perjalanan itu hingga pada pertengahan hari kedua tatkala terik matahari sudah terasa sangat mengganggu.
Setelah sampai, karena sudah sangat lelah, begitu badan mereka menyentuh lantai, mereka pun segera tertidur. Karena sangat lelah orang sudah melupakan omongan Abdullah bin Ubay. Sesudah itu mereka pulang ke Medinah dengan membawa rampasan perang dan orang-orang tawanan Bani Mushtaliq, di antaranya Juwairiah binti al-Harith bin Abi Dhirar, pemimpin dan komandan daerah yang sudah dikalahkan itu.
Kaum Muslimin sudah sampai di Medinah. Abdullah bin Ubay pun sudah di sana. Ia sudah tidak pernah tenang, hatinya gelisah selalu, terbawa oleh rasa dengki kepada Rasulullah Saw dan kepada ummat Muslimin. Pura-pura ia sebagai orang Islam, bahkan sebagai orang beriman, meskipun masih gigih ia membantah berita yang bersumber dari dia ditujukan kepada Rasulullah di Muraisi' itu. Pada waktu itulah Surah Munafiqin ini turun: "Mereka itulah yang berkata: "Jangan memberikan bantuan apa-apa kepada mereka yang di sekitar Rasulullah, supaya mereka berpisah." Padahal segala perbendaharaan langit dan bumi milik Allah. Tetapi orang-orang munafik itu tidak mengerti. Kata mereka: "Kalau kita sudah kembali ke Medinah, orang yang berkuasa akan mengusir orang yang lebih hina." Padahal sebenarnya kekuasaan itu milik Allah dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman, hanya saja orang-orang munafik itu tidak mengetahui." (QS. 63: 7-8)
Dengan demikian lalu ada orang-orang yang mengira bahwa ayat-ayat itu merupakan hukuman terhadap Abdullah bin Ubay, dan Rasulullah Saw pasti akan memerintahkan supaya ia dibunuh. Ketika itu Abdullah bin Abdullah bin Ubay, yang sudah menjadi seorang Muslirn yang baik, datang dengan mengatakan:
"Rasulullah, saya mendengar tuan ingin supaya Abdullah bin Ubay itu dibunuh. Kalau memang begitu, tugaskanlah pekerjaan itu kepada saya. Akan saya bawakan kepalanya kepada tuan. Orang-orang Khazraj sudah mengetahui, tak ada orang yang begitu berbakti kepada ayahnya seperti yang saya lakukan. Saya kuatir tuan akan menyerahkan tugas ini kepada orang lain. Kalau sampai orang lain itu yang membunuhnya, maka saya takkan dapat menahan diri, membiarkan orang yang membunuh ayah saya itu berjalan bebas. Tentu akan saya bunuh dia dan berarti saya membunuh orang beriman yang membunuh orang kafir. Maka saya akan masuk neraka."
Begitulah kata-kata Abdullah bin Abdullah bin Ubay kepada Rasulullah Saw. Saya rasa tak ada suatu kata-kata yang lebih dalam dari ucapannya itu dengan begitu kuat meskipun singkat dalam melukiskan suasana batin yang sedang gelisah, batin yang dibawa oleh pengaruh pergolakan yang dahsyat sekali dalam jiwanya: gelisah karena pengaruh rasa berbakti kepada ayah dan pengaruh iman yang sungguh-sungguh di samping rasa harga diri sebagai orang Arab serta rasa cintanya akan kesejahteraan Muslimin supaya jangan tirnbul dendam yang berlarut-larut.
Inilah perasaan seorang anak yang melihat ayahnya akan dibunuh. Dia tidak minta kepada Nabi supaya ayahnya jangan dibunuh, sebab dia Nabi, dia akan tunduk kepada perintah Tuhan, dan yakin pula akan keingkaran ayahnya. Tetapi karena kuatir akan sampai menuntut balas kepada orang yang kelak akan membunuh ayahnya yang diharuskan oleh rasa baktinya kepada ayah dan oleh rasa kehormatan dan harga diri, maka dia sendirilah yang akan memikul beban itu, dia sendiri yang akan membunuh ayahnya; kepalanya akan dibawanya sendiri kepada Nabi, betapa pun itu akan sangat menyayat hati dan perasaannya.
Dengan imannya itu ia merasa agak mendapat hiburan juga menghadapi hal luar biasa yang menekan perasaan itu. Ia kuatir akan masuk neraka apabila ia membunuh seorang mukmin yang telah mendapat perintah Nabi membunuh ayahnya. Sungguh suatu perjuangan yang sangat dahsyat antara iman di satu pihak dengan perasaan dan moral di pihak lain. Suatu perjuangan batin yang sungguh fatal menghunjam ke dalam hati, sungguh tragis! Tetapi, tahukah kita betapa jawaban Nabi kepada Abdullah setelah mendengar itu.
"Kita tidak akan membunuhnya. Bahkan kita harus berlaku baik kepadanya, harus menemaninya baik-baik selama dia masih bersama dengan kita."
Memaafkan!. Sungguh indah dan agung maaf itu. Rasulullah Saw berlaku begitu baik kepada orang yang telah menghasut penduduk Medinah supaya memusuhinya dan memusuhi sahabat-sahabatnya. Biarlah sikap baiknya dan kemaafannya itu memberi bekas yang lebih dalam daripada kalau ia menjatuhkan hukuman kepada orang itu.
Sejak itu apabila Abdullah bin Ubay mencoba mau bermain api, golongannya sendiri menegurnya, menyalahkannya dan membuatnya ia merasa bahwa sisa hidupnya itu dari pemberian Rasulullah Saw. Tatkala pada suatu hari Nabi sedang berbincang dengan Umar mengenai masalah-masalah kaum Muslimin, sampai juga menyebut-nyebut Abdullah bin Ubay' begitu juga tentang golongannya sendiri yang menegurnya dan menyalahkannya itu.
"Umar, bagaimana pendapatmu," kata Rasulullah Saw. "Ya, kalau engkau bunuh dia ketika engkau katakan kepadaku supaya dibunuh saja, tentu akan jadi gempar karenanya. Kalau sekarang engkau aku suruh untuk membunuh, tentu akan engkau bunuh."
"Sungguh sudah saya ketahui, bahwa perintah Rasulullah lebih besar artinya daripada perintah saya."
Semua peristiwa itu terjadi setelah kaum Muslimin - dengan membawa tawanan dan rampasan perang - kembali ke Medinah. Akan tetapi lalu ada suatu peristiwa yang pada mulanya tidak memberi bekas apa-apa, kemudian menjadi pembicaraan yang panjang juga. Peristiwea itu berawal ketika Rasulullah Saw mengadakan undian terhadap isteri-isterinya bila akan berangkat mengadakan ekspedisi. Barangsiapa yang keluar namanya maka dialah yang ikut serta. Sorenya pada waktu mau mengadakan ekspedisi terhadap kepada Bani Mushtaliq, maka yang keluar ialah nama Aisyah. Jadi dia yang dibawa. Aisyah adalah seorang wanita yang berperawakan kecil, ringan. Bilamana sekeduk sudah diantarkan orang sampai di depan pintu rumahnya, dia pun naik. Lalu mereka membawanya pada punggung unta. Karena ringannya, mereka hampir tidak dapat merasakan.
Selesai Nabi dari tugas perjalanan itu, dengan rombongannya ia berangkat lagi meneruskan perjalanan yang panjang dan sangat meletihkan seperti sudah kita sebutkan. Sesudah itu ia menuju Medinah. Sampai di suatu tempat dekat kota ia berhenti dan bermalam di tempat itu. Kemudian diumumkan kepada rombongan, perjalanan akan diteruskan lagi.
Karena hendak menunaikan hajat, Aisyah ketika itu sedang keluar dari kemah Nabi, sedang sekeduk sudah menunggu di depan kemah, menantikan ia masuk kembali. Aisyah mengenakan seutas kalung yang ketika sedang menyelesaikan keperluannya, kalung itu lepas dari lehernya. Sesudah siap kembali ia akan berangkat, dirabanya kalung itu sudah tidak ada. Ia kembali menyusur jalan sambil mencari-carinya. Dan barangkali lama juga ia mencarinya, baru kemudian benda itu diketemukannya kembali. Mungkin sementara itu ia terlena karena sudah begitu lelah selepas perjalanan itu. Bila ia kembali ke markas untuk kemudian naik ke atas sekeduk, ternyata sekeduk itu sudah dipasang kembali di punggung unta dengan perkiraan bahwa dia sudah berada di dalamnya, lalu mereka berangkat juga dengan anggapan bahwa mereka sedang membawa Ummul Mu'minin, isteri yang sangat dekat ke dalam hati Nabi. Dalam markas itu orang yang akan dapat ditanyai tidak ada. Dia tidak merasa takut bahkan dia yakin bahwa apabila rombongan itu nanti mengetahui dia tidak ada, tentu mereka akan kembali ke tempatnya semula. Jadi lebih baik dia tidak meninggalkan tempat itu; daripada mengarungi padang pasir tanpa mengetahui arah; ia akan sesat karenanya. Tanpa merasa takut, dengan berselimutkan pakaian luarnya ia berbaring di tempat itu, sambil menunggu orang yang akan datang mencarinya.
Sementara ia sedang berbaring itu, Shafwan bin Mu'athal lewat di tempat tersebut, yang juga terlambat dari rombongan tentara karena harus menunaikan urusannya pula. Ia sudah pernah melihatnya sebelum ada ketentuan hijab terhadap isteri-isteri Nabi. Setelah melihatnya, ia terkejut sekali dan surut sambil berkata: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un! Isteri Rasulullah Saw kenapa sampai tertinggal? Semoga rahmat Tuhan juga." Aisyah tidak menjawab. Di dekatkannya untanya itu dan Shafwan sendiri mundur sambil berkata: "Naiklah."
Setelah Aisyah naik kemudian ia berangkat dengan unta itu cepat-cepat hendak menyusul rombongan yang lain. Tetapi tidak terkejar juga, karena ternyata mereka mempercepat perjalanan, ingin segera sampai di Medinah, agar dapat beristirahat setelah mengalami perjalanan yang cukup meletihkan, yang juga diperintahkan oleh Rasulullah guna menghindarkan fitnah yang hampir-hampir terjadi akibat perbuatan Ibn Ubay itu.
Shafwan memasuki Medinah pada siang hari disaksikan oleh orang banyak, sementara Aisyah di atas untanya. Sampai di depan rumahnya dalam rangkaian rumah isteri-isteri Rasul, ia pun masuk. Tak terlintas dalam pikiran orang bahwa hal ini akan dijadikan buah bibir, atau akan menimbulkan isu karena ia terlambat dari rombongan, juga dalam hati Rasul tidak terlintas suatu prasangka buruk terhadap Shafwan, seorang orang mukmin yang beriman teguh.
Sebenarnya tidak perlu sampai menjadi buah bibir; dia memasuki Medinah di depan mata orang banyak, di belakang pasukan tentara yang juga datang dalam waktu hampir bersamaan sehingga tidak perlu harus menimbulkan sesuatu prasangka. Dia datang disaksikan oleh orang banyak dengan wajah bersih dan berseri-seri, tak ada tanda-tanda yang akan menimbulkan kecurigaan. Seharusnya biarlah kota Medinah berjalan seperti biasa. Biarlah hasil rampasan perang dan tawanan perang Bani Mushtaliq itu dibagi-bagi antara sesama kaum Muslimin, biarlah mereka menikmati hidup sejahtera, yang makin hari sudah makin terasa. Iman mereka pun makin dalam menanamkan rasa harga diri dalam menghadapi musuh, di samping adanya kesungguhan hati, keberanian menghadapi maut demi Allah, untuk agama dan untuk kebebasan orang lain menganut kepercayaan agamanya, kebebasan yang sebelum itu tidak pula dikenal oleh masyarakat Arab.
Juwairiah binti Harith termasuk salah seorang tawanan perang Bani Mushtaliq. Dia memang seorang wanita cantik dan manis. Ia jatuh menjadi bagian salah seorang Anshar. Dalam hal ini ia ingin menebus diri, tetapi mengetahui bahwa dia putri seorang pemuka Bani Mushtaliq, dan ayahnya akan mampu menebus berapa saja diminta, maka tebusan yang diminta itu cukup tinggi. Kuatir akan membawa akibat yang melampaui batas, maka Juwairiah sendiri segera pergi menemui Nabi, yang ketika itu sedang berada di rumah Aisyah.
Saya Juwairiah putri Harith bin Abi Dhirar, pemimpin masyarakat," katanya. "Saya mengalami bencana, seperti sudah tuan ketahui tentunya. Tetapi karena saya sudah menjadi milik si anu, maka saya telah mengajukan penawaran guna membebaskan diri saya. Kedatangan saya kemari ingin mendapat bantuan tuan mengenai penawaran saya itu."
"Maukah engkau dengan yang lebih baik dari itu?" tanya Nabi
"Apa."
"Saya penuhi penawaranmu dan saya kawin denganmu."
Setelah berita itu tersiar, sebagai penghormatan kepada semenda Rasulullah dengan Bani Mushtaliq, tawanan-tawanan perang yang ada di tangan mereka segera mereka bebaskan; sehingga mengenai Juwairiah ini Aisyah pernah berkata: Tak pernah saya lihat ada seorang wanita lebih besar membawa keuntungan buat golongannya seperti dia ini.
Setelah Rasulullah Saw kawin dengan Juwairiah, dibuatkannya rumah di samping rumah-rumah isterinya yang lain di dekat mesjid. Dengan demikian ia menjadi Ibu kaum Muslimin pula.
Sementara itu orang di luar mulai berbisik-bisik kenapa Aisyah terlambat di belakang pasukan tentara dan datang bersama Shafwan menumpang untanya, sedang Shafwan seorang pemuda yang tampan dan tegap.
Saudara perempuan Zainab binti Jahsy yang bernama Hamnah, sudah mengetahui bahwa Aisyah dalam hati Rasulullah Saw mempunyai tempat melebihi saudaranya itu. Ia segera menyebarkan desas-desus orang tentang Aisyah ini. Ia mendapat dukungan Hassan bin Thabit, dan Ali bin Abi Talib juga menyambutnya.
Dengan demikian Abdullah bin Ubay merasa mendapat tanah yang subur dalam usahanya menyebarkan bibit berita itu, yang sekaligus merupakan obat penawar pula terhadap api kebencian yang ada dalam hatinya. Mati-matian ia berusaha menyebar-luaskan berita itu. Akan tetapi dalam hal ini kalangan Aus telah menentukan sikap hendak membela Aisyah. Aisyah adalah lambang kesucian dan seorang wanita yang berakhlak tinggi, yang patut menjadi teladan Peristiwa ini hampir saja menjadi suatu fitnah di Medinah.
Berita-berita ini kemudian sampai juga kepada Rasulullah Saw. Ia jadi gelisah. Tidak mungkin! Itu adalah perbuatan keji dan bertentangan. Dengan rasa cinta dan kasihnya kepada Aisyah hal yang hanya didasarkan pada prasangka semacam itu adalah suatu dosa besar. Namun Rasulullah Saw sendiri masih dalam kebingungan, belum tahu ia, akan percayakah atau tidak
Orang tak ada yang berani menyampaikan desas-desus itu kepada Aisyah, meskipun ia sendiri sudah merasa aneh melihat sikap suaminya yang berlainan, yang belum pernah dilihatnya dan memang tidak sesuai dengan perangainya yang selalu lemah-lembut, selalu penuh kasih kepadanya.
Kemudian Aisyah jatuh sakit, sakit yang cukup keras. Bila Rasulullah Saw datang menengoknya dan ibunya ada di tempat itu merawatnya, tidak lebih ia hanya berkata: "Bagaimana?" Sungguh pilu hati Aisyah merasakannya bila ia melihat sikap Nabi begitu kaku kepadanya. Ia bicara dengan hatinya sendiri, tidakkah karena Juwairiah yang sekarang menggantikan tempatnya dalam hati suaminya? Begitu sesak dadanya karena sikap Rasulullah Saw kepadanya itu, sehingga pernah ia berkata:
"Kalau engkau izinkan, aku akan pindah ke rumah ibu, supaya ia dapat merawatku."
Ia pun pindah ke tempat ibunya. Sikapnya yang berlebih-lebihan itu menimbulkan kepedihan pula dalam hatinya sendiri. Lebih dari duapuluh hari ia menderita sakit, baru kemudian ia sembuh. Segala pembicaraan orang yang terjadi tentang dirinya, dia tidak tahu.
Sebaliknya Rasulullah Saw, merasa sangat terganggu atas berita-berita yang disebarkan orang itu. Sekali ia mengucapkan pidato ini di hadapan orang banyak.
"Saudara-saudara, kenapa orang-orang mengganggu saya mengenai keluarga saya. Mereka mengatakan hal-hal yang tidak sebenarnya mengenai diri saya. Padahal yang saya ketahui mereka itu orang baik-baik. Lalu mereka mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada seseorang, yang saya ketahui, demi Allah, dia juga orang baik; tak pernah ia datang ke salah satu rumah saya hanya jika bersama dengan saya."
Kemudian Usaid bin Hudhair berdiri seraya berkata:
"Rasulullah, kalau persoalan menyangkut saudara-saudara kami dari kalangan Aus, biarlah kami selesaikan, dan kalau menyangkut saudara-saudara kami dari golongan Khazraj, perintahkanlah juga kepada kami. Sungguh patut leher mereka itu dipenggal."
Sa'd bin Ubadah lalu menjawab, bahwa dia berani mengatakan itu karena dia mengetahui bahwa mereka dari golongan Khazraj. Kalau mereka itu dari Aus tentu takkan mengatakannya. Orang banyak pun mengadakan berundingan dan hampir-hampir terjadi suatu bencana fitnah, kalau tidak karena Rasul segera mengambil kebijaksanaan yang baik sekali.
Akhirnya, berita itu pun sampai juga kepada Aisyah, diceritakan oleh seorang wanita dari Muhajirin. Terkejut sekali mendengar berita itu, hampir-hampir ia jatuh pingsan. Ia menangis tersedu-sedu, tak dapat lagi ia menahan airmata yang begitu deras berderai, sehingga terasa seolah pecah jantungnya. Ia pergi menjumpai ibunya, dengan membawa beban perasaan yang cukup berat, hampir-hampir terbawa jatuh terhuyung.
"Ampun, Ibu," katanya, dengan suara tersekat oleh air mata. "Orang-orang sudah begitu rupa bicara di luar, tapi samasekali tidak ibu katakan kepada saya."
Melihat kesedihan yang begitu menekan perasaan, ibunya berusaha hendak meringankannya. "Anakku," katanya, "Jangan terlampau gundah. Seorang wanita cantik yang dimadu, yang dicintai suami, tidak jarang menjadi buah bibir madunya dan buah bibir orang."
Akan tetapi dengan kata-kata itu Aisyah belum terhibur juga. Kembali ia merasa lebih pedih lagi bila teringat sikap Nabi kepadanya yang terasa kaku, padahal tadinya sangat lemah-lembut. Ia merasa, bahwa berita itu tampaknya terkesan juga dalam hati Nabi, dan karenanya ia jadi curiga. Tetapi, gerangan apa yang akan dapat diperbuatnya? Akan dimulainya sajakah ia yang bicara serta menyebutkan berita itu, dan akan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berdosa? Jadi kalau begitu ia menuduh diri sendiri, kemudian menyanggah tuduhan itu dengan sumpah dan permohonan. Ataukah sudah saja membuang muka seperti dia, dan juga membalasnya bersikap kepadanya seperti dia pula? Tetapi dia adalah Rasul Allah, dia telah memilihnya di atas isteri-isterinya yang lain. Bukan salah dia kalau orang sampai menyiarkan desas-desus tentang dirinya, karena dia telah terlambat dari pasukan tentara dan kembali pulang dengan Shafwan. Ya Allah! Berikanlah jalan keluar kepadanya dalam suasana yang demikian rumit itu, supaya terbuka kepada Rasulullah Saw keadaan yang sebenarnya tentang dirinya itu, supaya ia pun kembali seperti dalam suasana semula, penuh cinta, penuh kasih dan selalu lemah-lembut kepadanya.
Tetapi keadaan Rasulullah Saw sebenarnya tidak lebih enak dari Aisyah. Ia merasa tersiksa karena percakapan orang mengenai dirinya itu, sehingga akhirnya terpaksa ia meminta pendapat sahabat-sahabatnya yang terdekat: apa yang akan diperbuatnya. Ia pergi ke ramah Abu Bakar, Ali dan Usamah bin Zaid dipanggilnya akan dimintai pendapat. Usamah ternyata menolak sama sekali segala tuduhan yang dilemparkan orang kepada Aisyah itu. Itu bohong dan tidak punya dasar. Sebagaimana Nabi mengenalnya, orang lain pun juga mengenal dia sebagai seorang wanita yang sangat baik. Sebaliknya Ali. Ia berkata: "Rasulullah, wanita yang lain banyak." Lalu sarannya supaya menanyai bujang pembantu Aisyah, kalau-kalau ia dapat dipercaya. Pembantu rumah itu pun dipanggil. Ali berdiri menghampirinya, lalu memukulnya yang cukup membuat bujang itu merasa kesakitan seraya berkata: "Katakanlah yang sebenarnya kepada Rasulullah!"
"Demi Allah yang saya ketahui dia adalah baik," jawab pembantu rumah itu. Segala tuduhan jahat yang ditujukan kepada Aisyah dibantahnya.
Akhirnya tak ada jalan lain Rasulullah Saw harus menemui sendiri isterinya dan dimintanya supaya mengaku. Ia masuk menemui Aisyah; di tempat itu ada ayahnya dan seorang wanita dari Anshar. Aisyah sedang menangis dan wanita itu juga turut pula menangis. Tiada tertanggung lagi derita olehnya, betapa dalamnya kesedihannya itu mencabik hati, tergetar ia setelah mengetahui bahwa oleh Rasulullah Saw ia dicurigai. Dicurigai oleh suami yang sangat dicintainya, dipujanya, laki-laki yang sangat dipercayainya, tempat dia rela mati untuknya.
Melihat kedatangannya itu, disekanya airmatanya, dan terdengar olehnya ketika ia berkata:
"Aisyah, engkau sudah mengetahui apa yang menjadi pembicaraan orang. Hendaknya engkau takut kepada Allah jika engkau telah melakukan suatu kejahatan seperti apa yang dikatakan orang. Bertaubatlah engkau kepada Allah, sebab Allah akan menerima segala taubat yang datang dari hambaNya."
Selesai kata-kata itu diucapkan, Aisyah merasa darahnya sudah mendidih, airmatanya jadi kering. Ia menoleh ke arah ibunya dan ke arah ayahnya. Ia menunggu bagaimana mereka akan menjawab. Tetapi ternyata mereka diam, tiada sepatah kata pun yang keluar dari mereka. Hati Aisyah makin panas, seraya katanya:
"Kenapa kalian tidak menjawab!"
"Sungguh kami tidak tahu bagaimana harus kami jawab," jawab mereka.
Lalu mereka berdua kembali terdiam lagi. Ketika itulah ia tak dapat menahan diri. Ia menangis lagi tersedu-sedu. Airmatanya itu telah dapat meredakan api amarah yang menyala-nyala seolah hendak membakar jantungnya. Sambil menangis itu kemudian ia bicara, ditujukan kepada Nabi:
"Demi Allah, sama sekali saya tidak akan bertaubat kepada Tuhan seperti yang engkau sebutkan itu. Saya tahu, kalau saya mengiakan apa yang dikatakan orang itu, sedang Tuhan mengetahui bahwa saya tidak berdosa, berarti saya mengatakan sesuatu yang tidak saya perbuat. Tetapi kalau pun saya bantah, kalian takkan percaya." Ia diam sebentar. Kemudian sambungnya lagi: "Saya hanya dapat berkata seperti apa yang dikatakan oleh ayah Yusuf: 'Maka sabar itulah yang baik, dan hanya Allah tempat meminta pertolongan atas segala yang kamu ceritakan itu."
Sejenak jadi sunyi, setelah terjadi pergolakan itu. Orang tidak tahu pasti sampai berapa lama hal itu berjalan. Akan tetapi begitu Rasulullah Saw hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba beliau tampak hening oleh kedatangan wahyu, seperti biasanya. Pakaiannya segera diselimutkan kepadanya dan sebuah bantal dari kulit diletakkan di bawah kepalanya.
Dalam hal ini Aisyah berkata: "Saya sendiri sama sekali tidak merasa takut dan tidak peduli setelah melihat kejadian ini. Saya sudah mengetahui, bahwa saya tidak berdosa dan Allah tidak akan berlaku tidak adil terhadap diri saya. Sebaliknya orangtua saya, setelah Rasulullah Saw terjaga, saya kira nyawa mereka akan terbang karena ketakutan, kalau-kalau wahyu dari Allah akan memperkuat apa yang dikatakan orang."
Setelah Rasulullah Saw terjaga, ia duduk kembali, dengan bercucuran keringat. Sambil menyeka keringat dari dahi beliau berkata:
"Gembirakanlah hatimu, Aisyah! Tuhan telah membebaskan engkau dari tuduhan." Alhamdulillah," kata Aisyah.
Kemudian Rasulullah Saw pergi ke mesjid, dan membacakan ayat-ayat berikut ini kepada kaum Muslimin:
"Mereka yang datang membawa berita bohong itu sebenarnya dari golonganmu juga. Jangan kamu mengira ini suatu bencana buat kamu, tetapi sebaliknya, suatu kebaikan juga buat kamu. Setiap orang dari mereka itu akan mendapat ganjaran hukum atas dosa yang mereka perbuat. Dan orang yang mengetuai penyiarannya di antara mereka itu akan mendapat siksa yang berat. Mengapa orang-orang beriman - laki-laki dan perempuan - ketika mendengar berita itu, tidak berprasangka baik terhadap sesama mereka sendiri, dan mengatakan: ini adalah suatu berita bohong yang nyata sekali? Mengapa dalam hal ini mereka tidak membawa empat orang saksi. Kalau mereka tak dapat membawa saksi-saksi itu, maka mereka itu disisi Allah adalah orang-orang pendusta.
Dan sekiranya bukan karena kemurahan Tuhan dan kasih-sayang-Nya juga kepadamu - di dunia dan di akhirat - niscaya siksa Allah yang besar akan menimpa kamu, karena fitnah yang kamu lakukan itu. Tatkala kamu menerima berita itu dari mulut ke mulut, dan kamu katakan pula dengan mulut kamu sendiri apa yang tidak kamu ketahui dengan pasti, dan kamu mengiranya hanya soal kecil saja, padahal pada Allah itu adalah perkara besar. Dan tatkala kamu mendengarnya, mengapa tidak kamu katakan saja: tidak sepatutnya kami membicarakan masalah ini. Maha Suci Tuhan. Ini adalah kebohongan besar. Allah memperingatkan kamu, jangan sekali-kali hal serupa itu akan terulang jika kamu memang orang-orang yang beriman. Allah menjelaskan keterangan-keterangan itu kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Mereka yang suka melihat tersebarnya perbuatan keji di kalangan orang-orang beriman, akan mengalami siksaan pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS, 24 : 11-19).
Dalam hubungan perisdtiwa ini pula datangnya ketentuan hukuman terhadap orang yang melemparkan tuduhan mesum kepada kaum wanita yang baik-baik.
"Dan mereka yang melemparkan tuduhan keji kepada wanita-wanita yang baik-baik, lalu mereka tak dapat membawa empat orang saksi, maka deralah mereka dengan delapan puluh kali pukulan, dan jangan sekali-kali menerima lagi kesaksian mereka itu. Mereka itu adalah orang-orang yang jahat." (QS, 24: 4).
Untuk melaksanakan ketentuan al-Qur'an, mereka yang telah menyebarkan berita keji itu - Misthah bin Uthatha, Hassan bin Thabit dan Hamna binti Jahsy, masing-masing mendapat hukuman dera delapanpuluh kali. Sekarang kembali Aisyah seperti dalam keadaannya semula, dalam rumah tangga dan dalam hati Rasulullah Saw.
Sesudah fitnah menggemparkan itu berlangsung, Hassan bin Thabit kembali diterima dan mendapat kasih sayang Rasulullah Saw lagi. Demikian juga Rasulullah Saw minta kepada Abu Bakar, supaya jangan mengurangi kasih-sayangnya kepada Misthah seperti yang sudah-sudah. Sejak itu selesailah peristiwa itu dan tidak lagi meninggalkan bekas di seluruh Medinah. Aisyah pun cepat pula sembuh dari sakitnya, lalu kembali ke rumahnya di tempat Rasul, dan kembali pula ke dalam hati Rasul, kembali dalam kedudukannya yang tinggi dalam hati sahabat-sahabatnya seluruh kaum Muslimin. Dengan demikian Nabi dapat kembali mengabdikan diri kepada ajarannya dan kepada pengarahan kaum Muslimin sebagai suatu persiapan guna menghadapi perjanjian Hudaibiya. Semoga Allah memberikan kemenangan yang nyata kepada umat Muslimin. ◙
Jumat, 01 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar