Senin, 04 Januari 2010

Penghuni Gunung Baitul Muqaddas.

Seorang lelaki yang bernama Shalih menguraikan pengalamannya sebagai berikut:
“Ketika aku menjelajahi sebuah gunung di kawasan Baitul Muqaddas, tiba-tiba terdengar sebuah suara yang cukup nyaring bernada sebuah panggilan. Anehnya gunung tempat berpijakku itu segera menjawab panggilan itu dengan suara mendengung bagaikan suara lebah berterbangan. Segera saja aku menelusuri panggilan itu sehingga sampai pada sebuah kawasan rimbun. Dan ketika aku telah memasukinya, di situ aku temukan seorang lelaki Abid yang sedang berdiri menjalankan shalat dengan membaca sebuah ayat yang diulang-ulang:
Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan, begitu pula kejahatan yang telah dikerjakannya. Ia ingin kalau kiranya antara dia dengan hari itu ada masa yang jauh(Ali-Imran: 30).

Kemudian lelaki itu jatuh pingsan. Dalam kondisi seperti itu aku hanya bisa menungguinya sampai dia siuman. Terbukti sejenak kemudian ia pun siuman seraya langsung mengatakan:
“Aku memohon perlindungan dari sikap mereka yang penuh dusta. Aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menyerupai perbuatan mereka yang suka menganggur. Dan aku memohon perlindungan pula dari sikap berpaling yang dilakukan mereka yang melupakan-Mu. Kepada-Mu seluruh hati mereka yang khusyu’ selalu menghadap. Kepada-Mu pula cita-cita mereka yang berharap selalu bertumpu. Dan kepada-Mu jua hati para arifin merasa hina.”
Kemudian ia tampak mengibaskan tangannya seraya mengatakan:
“Untuk apa bagiku keduniaan. Bersegeralah, wahai duniawi, untuk berkumpul dengan mereka yang sejenismu. Cepatlah kau pergi ke sana, bujuklah mereka dengan berbagai tipuanmu!. Mengapa para pembesar duniawi yang menjadi tokoh masa lalu kini tidak tampak?. Bukankah mereka pada akhirnya menjadi debu pula.”
Ketika itulah,” kata Shalih, “Aku segera memanggilnya sembari aku katakan:
“Wahai Abid, aku telah menunggumu sejak tadi hingga aku rasakan telah cukup lama, namun tampaknya kau belum berhenti untuk beristirahat dari peribadahanmu.”
“Bagaimana seseorang akan berhenti beribadah jika saja ia harus berpacu dengan maut. Bagaimana pula seseorang akan beristirahat jika saja hari-harinya harus berlalu dengan meninggalkan berbagai dosa yang tetap teronggok!.”
“Ya Allah,” kata Abid itu lagi,“Hanya Engkau yang akan sanggup mengampuni segala dosa dan memalingkan segala bencana yang aku khawatirkan akan segera turun.”
Kemudian ia beranjak agak menjauh dariku dan membaca sebuah ayat:
Dan tampaklah bagi mereka siksaan Allah yang belum pernah mereka perkirakan (Az-Zumar: 47).
Namun tiba-tiba ia berteriak keras melebihi yang pertama tadi dan langsung pingsan lagi, sehingga aku perkirakan ia segera mati. Aku pun segera mendekatinya, namun tubuhnya tampak bergoncang keras lantas siuman seraya mengatakan:
“Ya Allah, aku telah menyadari siapa diriku. Dengan demikian maafkanlah segala kesalahanku. Tutupilah segala kekuranganku dan ampunilah segala dosaku, khususnya aku telah berani menghadap di haribaan-Mu.”
“Wahai Abid,” kata Shalih, “Hendaklah kau bersedia berbicara denganku!,” begitu pintaku.
“Hendaklah kau bercakap-cakap dengan Dia yang akan memberi manfaat kepadamu, jangan bercengkerama dengan orang yang dosa-dosanya telah menyeruak hingga mencelakakan dirinya. Sesungguhnya aku telah berada di tempat ini sejak begitu lama. Aku perangi kemauan Iblis, namun Iblis juga tidak habis-habisnya memusuhi diriku. Selama itu pula aku tidak pernah mendapatkan pembantu untuk memerangi Iblis hingga kau datang di sini. Namun sekarang hendaknya kau segera pergi, wahai orang yang tertipu. Kau telah membuat lisanku tersia-sia. Apalagi ucapanmu telah membuat hatiku terpancing untuk berucap yang tidak perlu. Dengan demikian aku memohon perlindungan kepada Allah dari segala keburukanmu. Kemudian aku mengharapkan agar Dia sudi menjauhkan diriku dari murka-Nya.”
“Setelah mendengar ucapan seperti itu,” lanjut Shalih lagi,“Aku memperkirakan bahwa dia merupakan seorang auliya’, dimana jika saja aku terus mengikuti, bukan tidak mungkin aku akan segera mendapatkan azab di tempat itu pula. Maka segera saja dia aku tinggalkan.”
Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa tanda-tanda orang shalih di antaranya adalah memucatnya tubuh karena kekurangan tidur tersebab berjaga di malam hari dengan berbagai shalat sunnah. Matanya selalu berair tersebab banyak menangisi dosa-dosanya dan bibir yang selalu kering tersebab selalu berpuasa di siang hari. Di samping itu pada mereka tampak ciri-ciri orang khusyu’.
Amir bin Abdi Qais mengatakan dalam sebuah do’anya:
“Wahai Tuhanku, Engkau telah menjadikan aku sebagai makhluk yang bersusah payah, dalam arti tidak Engkau jadikan sebagai raja, sehingga segala kebutuhannya telah tersedia. Ketika aku mati, Engkau juga tidak pernah memberi tahu terlebih dahulu. Ironisnya Engkau memberiku musuh yang mengalir begitu saja sebagaimana darah pada tubuhku, malah ia selalu bisa melihatku namun aku tidak bisa melihat dia. Kemudian Engkau dengan sekehendak-Mu menyuruh agar aku berpegang teguh pada kebenaran. Wahai Tuhanku, adakah aku bisa berpegang teguh, jika saja Engkau tidak menghendaki yang demikian itu. Ya Allah Tuhanku, mengapa aku harus hidup di dunia yang penuh dengan susah payah ini, namun ketika memasuki akhhirat langsung Engkau jebloskan ke dalam siksa dan Engkau hisab begitu rupa. Terus kapankah aku bisa beristirahat dan merasakan kebahagiaan”.
Sebagian Ahli Hikmah mengatakan bahwa Allah memiliki hamba-hamba yang diberi berbagai karunia. Dada mereka akan selalu dilapangkan sehingga sangat ringan untuk melaksanakan berbagai ibadah dan bertawakal kepada-Nya. Mereka menyerahkan sepenuhnya mengenai urusan makhluk kepada-Nya sehingga hati mereka menjadi sumber berbagai hikmah dan keyakinan yang mantap. Dengan demikian mereka selalu menghadap atau membelakangi para makhluk, namun hati mereka selalu menjelajahi kerajaan langit. Dan ketika mereka kembali, maka akan bisa meraup berbagai karunia yang tidak bisa diuraikan lagi dengan kata-kata. Lahiriah mereka tampak sebagaimana kain buruk yang dipakai mengelap berbagai daki, namun batin mereka begitu indah bagaikan sutera permadani yang tebal dan halus.

■■■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar