Senin, 04 Januari 2010

Surat Syeikh Hasan Bashri Kepada Umar Bin Abdul Aziz

Ketika Umar bin Abdul Aziz memegang tampuk kekhalifahan Bani Umayyah yang ke VIII, pada masa itu pula hidup seorang ulama besar, yaitu Syeikh Hasan Bashri. Dengan segala kebijaksanaannya pada sekali kesempatan pemimpinnya itu diberi nasehat agar dalam memegang tampuk kerajaan tidak diselewengkan menurut sekehendak hatinya, kendati Umar bin Abdul Aziz sendiri telah terkenal dengan keshalihannya. Inilah isi nasehat tersebut:
Amma ba’du.
Sadarilah wahai Khalifah, bahwa dunia ini adalah sebuah tempat yang bakal beralih, bukan tempat yang abadi. Dengan demikian ketika nabi Adam As diturunkan ke bumi, kondisi tersebut jelas merupakan siksaan. Untuk itu Amiril Mukminin harus waspada. Apalagi bekal menuju akhirat adalah dengan meninggalkan duniawi. Dan kekayaan dunia malah akan menyebabkan kemelaratan di akhirat. Sedangkan pada setiap saat banyak orang yang berperang hanya karena memperebutkannya. Pada akhirnya duniawi akan menghinakan mereka yang memuliakan dan menjadikan miskin mereka yang mengumpulkannya.
Dunia seakan racun yang selalu ditenggak mereka yang tidak mengetahuinya, padahal di dalamnya mengandung bencana kematian. Oleh sebab itu hendaklah engkau bersikap sebagaimana orang yang mengobati suatu penyakit. Ia akan berani melakukan diet sebentar demi menghindari rasa sakit yang berkepanjangan. Ia akan rela menelan kepahitan suatu obat demi menggapai kesehatan yang diharapkan. Hendaklah engkau, wahai Amiril Mukminin, selalu waspada terhadap duniawi yang penuh tipuan ini.
Dunia telah begitu menantang dengan berbagai perhiasannya. Ia menggoda dengan berbagai upayanya dan berhias dengan bermacam-macam angan kosong, namun selalu bersikap enggan kepada para peminangnya, sehinggga bagaikan pengantin yang selalu berbinar dengan senyum. Seluruh mata menatap kepadanya serta banyak pula hati yang hanyut terpesona dengan kecantikannya. Bahkan banyak jiwa yang harus terbuai dengannya. Setelah para suami dunia itu bercengkerama dengannya, kini ia menjauh dari mereka. Ternyata mereka telah tertipu. Ironisnya, mereka yang masih hidup juga tidak pernah menyadari terhadap akibat derita mereka yang telah mati. Juga mereka yang hidup pada kurun akhir juga tidak pernah mengambil pelajaran terhadap mereka yang hidup pada kurun awal. Padahal mereka telah mengetahui atas peringatan Allah mengenai semua itu. Namun lagi-lagi nasihat itu tidak pernah mereka dihiraukan.
Mereka yang telah terbuai kenikmatan duniawi, selalu akan bertambah kelalaian dan ketertipuannya, sehingga dengan begitu tenang melupakan tempat abadi. Malah seluruh kekuatan akal telah mereka curahkan untuk mengurus kepentingan duniawi sehingga banyak kaki yang terpeleset karenanya yang pada akhirnya menyebabkan keluh kesah yang tiada akhir dan duka yang tiada tara. Hal ini yang akan menyebabkan begitu pahit ketika mati, bahkan menyeret kepada penderitaan bercampur penyesalan. Padahal telah banyak mereka yang begitu mabuk duniawi, namun tetap saja tidak bisa menghasilkan apa yang didambakan, juga tidak pernah beristirahat dari kesukaran. Sikap seperti ini kalau diteruskan, maka seseorang akan dijemput ajal dalam keadaan tidak berbekal. Ia akan menghadap Allah dengan tanpa persiapan pula.
Wahai Amiril Mukminin, takutlah jika saja dirimu terjerumus pada gaya hidup yang demikian itu. Hendaklah kau berbahagia ketika dirimu masih bisa mawas diri dan waspada terhadap bahaya duniawi itu, sebab pada prakteknya setiap orang yang menggeluti duniawi, kemudian ia begitu puas dengan apa yang diperolehnya, maka sebentar lagi dunianya akan menggiring tubuhnya ke arah yang begitu dibenci.
Dengan demikian duniawi itu ketika memberi kebahagiaan, pada hakikatnya ia menjulurkan tipu daya. Sedangkan memanfaatkan duniawi itu sendiri tidak lepas dari berbagai bencana dan bahaya. Malah kadang sebuah kebahagiaan begitu cepat meluncur menjadi penderitaan. Sering pula kekalnya segera berbalik menjadi kehancuran. Keceriaan selalu beriringan dengan derita. Apa yang telah pergi, tidak akan pernah kembali, demikian pula nasib yang akan datang tidak pernah di mengerti sehingga tidak layak untuk ditunggu.
Bayangan keduniaan itu selalu dusta, dimana jika seseorang membayangkan kebahagiaan maka ketika saatnya telah tiba, ternyata semua harapan itu berjalan biasa-bisasa saja dengan tanpa sebuah kenikmatan sehingga kebeningannya sering segera berbalik menjadi keruh, hidup pun seakan begitu berat.
Manusia dalam mengarungi kehidupan ini selalu dilingkupi oleh dua bahaya, dalam arti ketika memperoleh kenikmatan, mereka juga dirundung bahaya, apalagi ketika bencana membelenggu. Seumpama saja Allah tidak pernah memberitakan dan tidak pernah memberi tamsil, tentulah duniawi yang bersifat licik itu telah bisa membangkitkan orang tidur dan memperingatkan mereka yang terlupa.
Nyatanya Allah tidak pernah melalaikan begitu saja, bahkan Dia telah memberi peringatan bahwa duniawi itu di sisi Allah tidak punya arti apa pun. Dia juga tidak pernah melihatnya semenjak menciptakannya. Bahkan pada suatu kesempatan ditawarkan kepada Rasulullah mengenai berbagai kekayaan yang tersimpan di perut bumi, padahal apa yang ditawarkan itu tidak akan mengurangi kekayaan di sisi Allah kendati hanya seberat sayap nyamuk, ternyata beliau enggan menerimanya.(1. Hal ini tiada lain karena beliau telah menyadari, jangan-jangan sikapnya itu akan menyalahi perintah Allah, atau mencintai apa yang telah dibenci Allah, bahkan akan memuliakan apa yang dihinakan Allah.
Begitu pula hamba-hamba yang shalih akan selalu dijauhkan dari duniawi, hal ini tiada lain sebagi ujian. Namun musuh-musuh Allah malah bergelimang dengan harta dengan maksud agar mereka tertipu. Dengan demikian setelah mereka terjerat dengan tipuan itu, akan selalu menyangka bahwa kehidupan mereka telah dimuliakan Allah dengan duniawi itu. Sedangkan mereka melalaikan begitu saja sikap Allah terhadap nabi Muhammad, dimana pada suatu ketika beliau sampai membebatkan batu di perutnya karena lapar (2 .
Telah sampai pula kepada kita suatu keterangan dari Rasulullah Saw, mengenai kabar Allah yang diberikan kepada nabi Musa As.
“Jika saja dirimu bertemu dengan kekayaan, maka anggaplah hal itu merupakan dosa yang siksaannya disegerakan. Namun jika saja kau menemukan kemiskinan, maka katakan bahwa hal itu merupakan kegembiraan orang-orang shalih”
Boleh juga kau mengikui nabi Isa selaku Ruhullah dan kalimat-Nya, dimana beliau pernah mengatakan:
“Laukku adalah lapar, kebiasaanku adalah takut Allah, sedangkan pakaian yang aku kenakan adalah bulu, tubuhku akan menjadi hangat di musim penghujan ketika matahari telah terbit, sedangkan lampuku selama ini adalah cahaya rembulan, kendaraanku tiada lain kedua belah kakiku, sedangkan makanan dan buah-buahanku adalah apa saja yang tumbuh di atas bumi. Dengan demikian ketika aku bermalam, aku dalam keadaan papa, dan ketika bangun pagi pun dalam keadaan papa. Namun anehnya, setelah aku pikir, ternyata tidak seorang pun penduduk di atas bumi ini yang lebih kaya dari pada diriku”
Wassalam.
Demikian surat itu diterima oleh Baginda Umar bin Abdul Aziz dengan segala hormat. Kemudian dibacanya dengan derai air mata ketika menyadari dirinya masih ada yang menasihati, sehingga akan segera kembali kepada kebenaran jika saja dalam sekali waktu salah melangkah.


■■■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar