Abul Husein An-Nuri
Beliau merupakan seorang yang pendiam, sehingga sangat jarang berbicara jika tidak ditanya. Tidak pula pernah bertanya jika saja jawabannya tidak akan bermanfaat bagi dirinya. Namun jika melihat kemunkaran, jangan ditanya lagi mengenai keberaniannya. Ia akan segera membubarkan kalangan itu kendati dirinya harus menjadi korban.
Pada suatu senja, ia pergi ke sebuah dermaga pelabuhan laut, yang terkenal bernama Masyra’ah Fahhamin. Disanalah ia bermaksud melaksanakan shalat yang telah masuk waktunya dengan berwudhu memakai air laut di dermaga itu. Namun tiba-tiba saja pandangannya terantuk pada sebuah kapal yang memuat botol-botol besar yang belum diketahui isinya. Botol-botol itu dihitungnya tidak kurang dari tiga puluh buah yang diberi label dengan tulisan Lathif. Hati Abul Husein tergelitik untuk mengetahui lebih lanjut terhadap barang aneh itu. Sebab selama ini belum pernah ada barang-barang dagangan yang di beri merek seperti itu. Segera saja ia bertanya kepada nahkoda dengan sikap dingin tanpa ekspresi :
“Apa isi botol-botol ini ?”
“Kau tidak usah banyak bicara, segeralah kau pergi”. begitu jawab nahkoda dengan raut muka yang garang.
Dari jawaban ini, Abul Husein segera tanggap bahwa botol-botol itu jelas berisi barang yang nggak beres, dan malah memancing perhatian Abul Husein untuk mengetahui lebih lanjut.
“Sekali lagi, aku hanya bertanya, apa yang berada dalam botol-botol itu”. Abul Husein mengulang pertanyaan dengan datar.
“Tidak perlu kiranya kau menanyakan seperti itu, akan lebih baik jika kau mengurus diri sendiri, sebab aku melihatmu sebagasi seorang sufi gadungan. Tegasnya semua botol itu berisi khamar yang akan dikirimkan ke Baginda Mu’tadhid, mau apa .. !” begitu nahkoda itu seakan menantang.
Kemudian Abul Husein menuju seorang kelasi seraya mengatakan :
“Cobalah berikan kepadaku dayung yang kau pegang itu, aku ingin meminjamnya sebentar saja untuk keperluanku.” begitu Abul Husein nekad.
“Berikan dayung itu, kita lihat akan berbuat apa. !” sambung nahkoda itu seakan menantang lagi karena merasa ada backingnya.
Setelah dayung itu diberikan, Abul Husein segera meloncat ke kapal itu dengan gerakan kilat seakan seorang pesilat yang sedang bermain toya. Gerakannya gesit sekali bagaikan kuda liar dan segera memporak porandakan seluruh botol-botol khamar itu hingga tinggal satu botol yang dibiarkan utuh. Sedangkan nahkoda itu hanya bisa berteriak-teriak minta tolong tanpa mampu menghentikan perbuatan Abul Husein. Teriakan itulah yang mengundang beberapa orang penjaga dermaga sehingga segera mendekat dan menangkap Abul Husein. Dan mereka pun menyeret untuk dihadapkan Baginda Mu’tadhid. Padahal Baginda merupakan seorang raja yang sangat ganas, hingga terkenal bahwa pedangnya akan berbicara lebih dulu dari pada mulutnya. Masyarakat pun telah yakin bahwa Abul Husein akan tinggal nama belaka.
“Aku pun dihadapkan, “kata Abul Husein” , pada Baginda, dimana ketika itu Baginda sedang duduk di kursi besi dengan membawa sebuah gada yang dipermainkan dengan tangannya. Setelah Baginda melihatku, langsung saja aku dicecar dengan pertanyaan :
“Siapa kamu ?”.
“Sukarelawan”. jawabku singkat.
“Siapa yang menyuruhmu menjadi sukarelawan”. sergah Baginda lagi.
“Dia Dzat Yang telah menjadikan Baginda sebagai seorang pemimpin, wahai Amiril Mukminin”. begitu jawabku agak menjilat.
Tampak Baginda menekurkan kepalanya sejenak, kemudian memandangku lagi seraya mengatakan :
“Apa yang mendorongmu untuk merusak seluruh botol itu ?”. tanya Baginda lebih lanjut.
“Tiada lain karena aku sangat mencintai Baginda, sehingga ketika terdapat sesuatu yang akan mencelakakan Baginda, aku segera bertindak untuk melenyapkannya.” begitu jawabku menohok ulu hatinya.
Mendapat jawaban ini, Baginda tampak menekur lagi mencari kalimat yang bisa menggiringku pada jebakan lebih lanjut. Kemudian mendongakkan kepala lagi seraya mengatakan :
“Mengapa masih kau sisakan yang satu botol.” cecar Baginda selanjutnya.
“Itu ada alasan tersendiri wahai Baginda !. Akan aku kabarkan alasan itu jika Baginda mengizinkan.” begitu kilahku lagi.
“Coba utarakan alasanmu itu”. desak Baginda lagi.
“Wahai Amiril Mukminin, ketika aku menghancurkan botol-botol itu, hatiku berkeyakinan bahwa perbuatanku itu betul-betul sesuai dengan tuntutan Allah, sehingga seluruh bilik hatiku telah dipenuhi sifat-sifat Agung-Nya, disamping takut terhadap tuntutan-Nya jika aku tidak bertindak. Ketika itulah eksistensi dan keberadaan makhluk seakan sirna dalam pandanganku, kemudian aku segera maju memporak-porandakan seluruh botol itu terkecuali hanya satu botol yang aku biarkan. Namun ketika akan menghancurkan yang satu ini, tiba-tiba hatiku berobah, rasa-rasanya ketakaburan mulai merayap dalam hatiku, dimana hati kecilku mengatakan : “Ternyata yang namanya Abul Husein berani juga berhadapan dengan seorang raja, hebat benar !.” Seketika itu pula aku segera menghentikan perbuatanku, kendati tinggal satu botol. Padahal jika saja niatku masih mukhlis seperti yang pertama, kemudian di hadapanku terdapat botol-botol khamar yang memenuhi jagad raya ini, seakan aku sanggup untuk menghancurkan semuanya, aku tiada akan peduli lagi.” begitu jawabku sangat lancar sehingga Baginda terpojok dibuatnya.
“Pergilah, kau aman !. Lanjutkan misimu itu, hilangkan dan rubahlah kemunkaran yang kau dapatkan.” begitu Baginda melepaskan diriku.
“Wahai Amiril Mukminin, sekarang tindakan seperti itu tidak sanggup lagi aku laksanakan, sebab motivasinya sudah berlainan jauh. Yang pertama hanya ikhlas karena Allah, sedangkan sekarang bertendensi atas perintah Baginda. Dengan demikian aku setaraf sebagaimana para polisi yang memperturutkan titah Baginda.” begitu jawabku sangat diplomatis, kendati seakan tidak begitu kusadari.
“”Sekarang apa kehendakmu.” tanya Baginda lagi.
“Aku hanya ingin agar Baginda mengeluarkan diriku dari istana ini dalam keadaan selamat, lain tidak.” pintaku lebih lanjut.
Kemudian Abul Husein pun keluar dari istana dan segera menyingkir ke arah Bashrah. Dan pada hari-hari selanjutnya perasaannya selalu diliputi kekhawatiran, jangan-jangan Baginda Mu’tadhid masih mengikuti perkembangan kehidupannya lebih lanjut, sehingga pada sekali kesempatan akan mencelakakan dirinya. Namun setelah Baginda wafat, ia segera berpindah lagi ke Baghdad.
Begitulah perilaku para ulama salaf dalam menggelar amar makruf dan nahi anil munkar. Mereka tidak mempedulikan lagi jika harus berhadapan dengan raja yang menyadi simbol kekuasaan tiran. Namun yang menjadi senjata utama, mereka hanya bertawakal kepada kemurahan Allah, rela pula menghadapi berbagai ketetapan-Nya, disamping memang syahadah telah mengkristal menjadi tujuan hidupnya. Dan ketika niat hati telah begitu ikhlas, maka ucapan mereka bisa memberi pengaruh yang luar biasa terhadap hati orang-orang yang kesat. Namun untuk zaman seperti sekarang ini, kebanyakan hati para ulama telah terbelenggu dan tertutup dengan berbagai kepentingan, sehingga mulut mereka terkunci rapat. Dan jika mereka memaksakan untuk berucap, maka kalimat yang ditebarkan sudah pasti berseberangan dengan perilaku mereka sendiri. Padahal jika saja tindakan mereka itu didasari atas niat yang suci, semua maksud akan mudah tergapai.
Dengan demikian kehancuran masyarakat adalah berpangkal dari kebejatan para penguasanya. Sedangkan kebejatan penguasa berpangkal pada kerusakan moral para ulama. Sedangkan kerusakan moral ulama adalah berpangkal pada kegandrungan mereka terhadap harta, posisi strategis (pangkat) dan kemewahan dunia. Padahal hati siapa saja yang telah dikuasai oleh gandrung dunia, ia tidak akan mungkin akan bisa membela kepentingan agama Allah, kendati terhadap rakyat jelata, apalagi menghadapi para penguasa dan pemerintah yang zalim.
Demikian keterangan yang dapat kami ambil dari Al-Ghazali dalam Ihya’nya pada juz II halaman 351. Semoga bermanfaat bagi kita semua, amin.
Istajib du’a-ana ya Allah ◙
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar