Keberanian Syeikh Ibnu Abi Dzuaib
Abu Ja’far Al-Mansur merupakan seorang Khalifah Bani Abbasiyah yang cukup masyhur. Pada zaman itulah kota yang begitu indah di bangun di antara Sungai Eufrat dan Tigris dengan nama Baghdad. Baginda termasuk seorang yang sangat memperhatikan ilmu pengetahuan, sehingga kota Baghdad menjadi pusat peradaban dan berbagai disiplin ilmu, terutama dengan melakukan penterjemahan ilmu-ilmu dari Persia, Yunani dan India.
Imam Syafi’i mengisahkan mengenai pengalaman pamannya yang bernama Muhammad bin Ali. Pada suatu hari, “kata Muhammad bin Ali” , aku menghadiri undangan Baginda Abu Ja’far. Disitu telah hadir pula Syeikh Ibnu Abi Dzuaib selaku ulama yang kharismatik dan gubernur Madinah yang bernama Hasan bin Zaid. Namun belum berselang lama kemudian datang orang-orang dari suku Ghiffar untuk mengadukan ulah Gubernur Madinah itu di hadapan Baginda.
Mengetahui gelagat yang tidak menguntungkan ini, sang Gubernur mengatakan pada Baginda :
“Wahai Amiril Mukminin, hendaknya Baginda mengkonfirmasikan dulu sikap suku Ghiffar itu kepada Ibnu Abi Dzuaib, agar ia menilai secara proporsional.”
Segera saja Baginda bertanya kepada Ibnu Abi Dzuaib :”
“Bagaimana pendapatmu mengenai orang-orang dari Ghiffar itu ?”.
“Mereka merupakan kelompok yang suka mengumpat pihak-pihak yang berseberangan pendapat, juga suka menyakiti hati orang lain”. begitu jawab Ibnu Abi Dzuaib.
“Kamu dengar itu, wahai suku Ghiffar !”, hardik Al-Mansur.
Agar keadilan tampak seimbang, segera saja orang-orang Ghiffar mengatakan :
“Wahai Baginda, hendaknya Ibnu Abi Dzuaib ditanya pula mengenai sikap Muhammad bin Ali terhadap rakyatnya.” begitu orang-orang Ghiffar segera menukas.
“Bagaimana pendapatmu, “kata Baginda”, mengenai Muhammad bin Ali, wahai Ibnu Abi Dzuaib.
“Aku bersaksi bahwa ia telah melaksanakan hukum yang tidak benar dan sering memperturutkan hawa nafsunya.” jawab Ibnu Abi Dzuaibbegitu lugas.
“Kau mendengar jawaban itu, wahai Hasan !”. begitu Al-Mansur memojokkannya.
“Agar lebih terasa adil, hendaknya baginda bertanya pula kepad Ibnu Abi Dzuaib mengenai kepribadian Baginda sendiri.” begitu Hasan Bin Ali seakan menelikung Al-Mansur.
Segera saja Al-Mansur mengatakan : “Bagaimana pendapatmu mengenai diriku, wahai Ibnu Abi Dzuaib”. dengan tegas Baginda mencari masukan mengenai kepribadiannya.
“Hendaknya Baginda tidak usah memeperturutkan kemauan itu agar tidak terjadi kesenjangan antara ulama dan umara’”. tukas Ibnu Abi Dzuaib berusaha menghindar.
“Demi Allah, aku ingin mengetahui pandangan orang lain terhadap duiriku”. sambung Baginda lagi.
“Kalau begitu aku akan mengatakan sejujurnya. Wahai Baginda, aku bersaksi bahwa Baginda telah menarik berbagai harta yang menjadi kontribusi kerajaan dengan tanpa alasan yang benar, ironisnya harta itu ternyata dibagikan kepada mereka yang tidak berhak menerimanya. Apalagi perbagai kezaliman telah marak di kalangan istana.” begitu Ibnu Abi Dzuaib seakan mencekik leher Baginda.
Mendengar uraian ini, Baginda langsung mendekati Ibnu Abi Dzuaib seraya memegangi lehernya. Dengan geram Baginda mengatakan :
“Demi Allah, jika saja aku tidak menjadi penguasa daerah ini, akan segera kukerahkan bala tentara orang kafir dari Persia, Romawi, Daelami dan Turki untuk segera melenyapkanmu, kemudian aku gantikan dengan mereka.”
“Wahai Amiril Mukminin, “sambung Ibnu Abi Dzuaib tanpa gentar”, ketika Abu Bakar dan Umar menjadi penguasa, keduanya betul-betul bertindak sesuai dengan kebenaran dan memerintah dengan penuh keadilan. Keduanya telah berhasil menghinakan orang-orang Persia dan Romawi hingga mereka tidak bernyali lagi menghadapi kekuatan Islam, sedangkan Baginda sendiri…. !”
Mendapat jawaban seperti ini, Al-Mansur segera melepaskan cengkeramannya pada leher Ibnu Abi Dzuaib seraya mengatakan :
“Demi Allah, jika saja kalimat yang kau ucapkan itu tidak benar, kau jelas segera menghadpi tiang gantungan.”
“Wahai Amiril Mukminin, “sergah Ibnu Abi Dzuaib lagi” , dalam menyampaikan kalimat seperti ini, kalau Baginda menyadari, akan sangat jelas bahwa diriku lebih memperhatikan Baginda dari pada putra Baginda sendiri, Al-Mahdi.”
Mendapat jawaban seperti ini, Baginda hanya diam. Kemudian Ibnu Abi Dzuaib segera berpamitan. Namun ketika di tengah perjalanan pulang, ia bertemu dengan Syeikh Sufyan Tsauri. Tiba-tiba saja Ats-Tsauri mengatakan :
“Wahai Ibnu Abi Dzuaib, aku sangat bersuka cita mendengarkan keberanianmu di muka Baginda yang sangat congkak itu. Namun mengapa kau masih mau mengatakan kalimat ‘Al-Mahdi’. Dengan demikian menurut pandanganmu, Al-Mahdi itu masih memiliki sisi baik. Padahal mereka sama saja.” begitu saran Ats-Tsauri dengan sengit.
Dengan tertawa kecut, Ibnu Abi Dzuaib berkata dengan dipelintir :
“Wahai Ats-Tsauri, semoga kita mendapat ampunan Allah. Maksudku dalam mengucapkan kalimat Al-Mahdi tadi bukan aku tujukan pada putra Baginda yang bernama Al-Mahdi, namun pada diri kita sendiri. Bukankah setiap kita itu sebagai Al-Mahdi, artinya ketika kecil mesti mengalami di ayun oleh orang yang merawat kita (mahdiyyun = diayun) ?.’
Mendengar jawaban ini, Ats-Tsauri hanya bisa manggut-mnggut seraya mengatakan : “Ternyata kau cerdik juga.”◙
Pernyataan Al-Auza’i
Ketika Abu Ja’far menjadi Khalifah Bani Abbasiyah, tersebutlah seorang ulama yang cukup disegani. Ia bernama Abdur Rahman bin Amr Al-Auza’i. Pada suatu hari Baginda memanggil ulama itu untuk datang di istana, namun Al-Auza’i tampaknya tidak segera datang. Ketika ia telah bertandang ke istana, Baginda segera mengucapkan salam seraya menanyatakan :
“Apa yang menyebabkan kau tidak segera datang kepadaku, wahai Auza’i ?”
“Apa yang Baginda kehendaki ?, sehingga begitu mengharapkan kedatangan saya dengan cepat ?”. Al-Auza’i malah balik bertanya.
“Aku mengharapkan sekali mendengar dan belajar mengenai fatwa-fatwamu.” tukas Baginda dengan halus.
“Kalau begitu aku berharap, janganlah Baginda bersikap bodoh jika belajar dari pengetahuan yang akan saya sampaikan nanti.” begitu tukas Al-Auza’i dengan tanpa merasa khawatir mengenai nasib dirinya.
“Kok kamu sudah mencurigai diriku seburuk itu, wahai Auza’i.” begitu Baginda menyampaikan prediksinya.
“Aku khawatir jika pengetahuan yang saya sampaikan nanti hanya didengar Baginda, namun tidak pernah diamalkan sama sekali.” begitu jawab Auza’I lebih memanaskan lagi.
Ketika mendengar kalimat terakhir inilah, Rabi’ seorang pengawal Baginda berteriak keras menggertak Al-Auza’i sembari meraih pedang untuk ditebaskan pada Al-Auza’i. Namun segera Baginda ganti menggertak pula pada pengawal itu seraya mengatakan :
“Saat ini murupakan arena untuk mendulang pahala, bukan untuk menumpahkan murka, wahai Rabi’”.
Sikap Baginda yang demikian itu menjadikan Al-Auza’i merasa lapang untuk menyampaikan berbagai kritikan. Dan saat-saat yang dinantikan pun tiba, maka Al-Auza’i segera mengatakan :
“Wahai Baginda, aku telah mendengar sebuah hadits Rasulullah dari Makhul, dari Athiyah bin Bisyr, ia mengatakan :
“Rasulullah Saw. telah mengatakan bahwa barang siapa mendapatkan nasehat yang akan bisa memperbaiki seseorang dalam mengamalkan agamanya, hal itu merupakan kenikmatan Allah yang diberikan kepadanya. Dengan demikian jika nasehat itu diterima dengan penuh rasa syukur, maka kenikmatan Allah akan ditambahlkan pula. Namun jika menolaknya, maka nasehat itu malah akan menjadi bumerang Allah yang akan menambah banyak dosa-dosanya dan murka Allah kepadanya.
“Wahai Amiril Mukminin, aku telah mendengar pula sebuah hadits dari ‘Athiyah bin Yasir bahwa Rasulullah Saw. mengatakan :
“Jika saja seorang penguasa itu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah akan mengharamkan surga baginya”.
“Wahai Amiril Mukminin, barang siapa membenci kebenaran, berarti ia membenci terhadap Allah. Sebab Dialah yang telah menghamparkan kebenaran itu sendiri. Ingatlah Dia memberi kekuasaan pada Baginda itu tiada lain karena kakek Baginda (Al-Abbas) begitu dekat dan menjadi kerabat Rasulullah Saw. Padahal sikap Rasulullah terhadap ummatnya, beliau sangat belas kasih dan begitu sayang pada mereka. Sering beliau membenahi nasib mereka dengan tangannya sendiri, sehingga begitu tinggi martabatnya di hadapan Allah dan dalam pandangan manusia. Dengan demikian Baginda harus meniru sikap yang demikian itu. Hendaklah Baginda menterapkan kebijaksanaan yang hak pada mereka, bersikap adil pula dan selalu menutupi kekurangan atau pun cela dan cacat mereka.. Janganlah Baginda menutup pintu istana ketika mereka datang mengadukan perihal kehidupannya. Akan lebih baik jika Baginda tidak memerlukan seorang perantara ketika berhadapan dengan mereka. Jangan sampai Baginda bersuka cita dengan kenikmatan, sedangkan rakyat Baginda mengalami kesusahan hidup. Sebernarnya Baginda sendiri telah sibuk untuk membenahi diri Baginda sendiri sehingga berjalan sesuai dengan perintah Allah, namun Baginda lebih disibukkan dengan mengurus berbagai lapisan masyarakat dan bangsa, baik yang berkulit merah atau hitam, bahkan orang-orang kafir dan ummat Islam sendiri. Setiap individu dari mereka sangat memerlukan keadilan Baginda. Namun dalam keadaan keadilan Baginda belum dirasakan oleh mereka, kadang mereka telah menerima perlakuan yang zalim tersebab ulah Baginda. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana pertanggung jawaban Baginda di muka Allah nanti ?.
“Wahai Amiril Mukminin, aku telah mendengar sebuah hadits Makhul dari ‘Urwah bin Ruwaim mengatakan :
“Bahwasannya pada suatu ketika tangan Rasulullah memegang pelepah kurma yang bisa untuk bersiwak dan mempertakuti orang-orang munafik. Ketika itulah Jibril As datang seraya menghardik :
“Wahai Muhammad, untuk apa pelepah yang akan menyusahkan dan menakutkan ummatmu itu ?”.
“Dengan demikian, “sambung Al-Auza’i lagi” , bagaimana hisab para pemimpin yang telah merusak kehormatan rakyatnya atau menumpahkan darah mereka, menggusur rumah-rumah dan mengusir dari tempat tinggal serta memenuhi hati mereka dengan rasa takut ?.”
“Wahai Amiril Mukminin, aku telah mendengar hadits Makhul dari Ziyad, dari Haritsah, dari Hubaib bin Maslamah bahwa pada suatu hari Rasulullah Saw. mencederai seorang Badwi dengan tanpa kesengajaan. Seketika itu juga Jibril As. turun seraya mengatakan “
“Wahai Rasulullah, tidaklah Allah mengutusmu itu agar berlaku congkak dan penuh kesombongan.” begitu Jibril memperingatkan.
Segera saja Rasulullah memanggil orang tersebut untuk memberi kesempatan membalas (qisas) terhadap diri beliau seraya mrengatakan :
“Balaslah kesalahan yang aku perbuat.”
“Aku telah memaafkan semuanya, “kata orang Badwi itu” , demi Allah aku tidak akan membalas perlakuanmu itu selamanya, kendati engkau telah memberi kesempatan padaku.”
Ketika itulah Rasulullah mendoakan orang terserbut agar hidupnya berbahagia.
“Wahai Amiril Mukminin, hinakanlah hawa nafsu Baginda demi kepentingan diri baginda nanti. Usahakan agar diri Baginda aman dari siksaan Allah, kemudian gapailah surga yang luasnya bagaikan langit dan bumi, dimana Rasulullah Saw. juga telah mengatakan :
“Sungguh suatu tempat selebar busur yang akan kamu miliki di surga nanti adalah lebih baik bagimu dari pada dunia beserta isinya”.
“Wahai Amiril mukminin, jika saja suatu kerajaan orang-orang sebelum Baginda itu masih ada, tidaklah kerajaan itu akan sampai kepada Baginda. Tidak pula kerajaan Baginda akan bisa kekal, sebagaimana kerajaan -kerajaan orang lain juga tidak kekal.”
“Wahai Amiril Mukminin, tahukah Baginda mengenai arti sebuah ayat yang telah ditafsirkan dengan cantik oleh kakek Baginda sendiri, Al-Abbas ?. Periksalah ayat :
“Mengapa kitab catatan amalku ini, sedikit pun tidak meninggalkan (dosa)yang kecil dan yang yang besar melainkan ia mencatat keseluruhannya.(Al-Kahfi :50 )
Menurut kakek Baginda, dosa kecil adalah tersenyum, dan dosa besar adalah tertawa lebar. Dengan demikian, bagaimana mengenai catatan apa yang telah dikerjakan tangan dan diumpatkan oleh lisan !.
“Wahai Amiril Mukminn, aku telah mendengar bahwasannya Umar bin Khathab telah mengatakan : “Jika saja ada seekor anak kambing yang mati di pinggiran sungai Eufrat dengan tersia-siakan, aku begitu khawatir jika saja masalah itu menjadi sebab aku ditanya berkepanjangan di muka Allah.” begitu kata Umar.
Kalau demikian, bagaimana tanggung jawab Baginda terhadap rakyat di wilayah Baginda yang tidak pernah merasakan keadilan Baginda ?.
“Wahai Amiril Mukminin, adakah Baginda mengerti mengenai tafsiran suatu ayat yang dikemukakan oleh kekek Baginda sendiri, Al-Abbas :
“Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu seorang khalifah di muka bumi. Maka hukumilah antara berbagai persoalan manusia itu dengan seadil-adilnya. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkanmu dari jalan Allah.(Shad : 26 ).
Tafsir ayat tersebut menurut kakek Baginda yaitu apa yang tertera dalam hadits Qudsi yang mengatakan bahwa :
“Di dalam kitab Zabur, Allah telah mengatakan : “Wahai Daud, jika saja dua orang yang berperkara telah duduk di depanmu, namun hatimu lebih simpati pada salah satunya, maka jangan sekali-kali kamu berharap bahwa kebenaran akan bisa diperoleh dari mereka, kemudian salah satunya mestilah ada yang dirugikan. Kalau demikian, kau akan segera Aku hapuskan dari catatan buku kenabian. Dan kamu pun tidak akan menjadi khalifah-Ku lagi, apalagi mendapat kemuliaan dari-Ku.
Wahai Daud, para Rasul-Ku itu Aku jadikan sebagaimana seorang penggembala yang menggembalakan kawanan onta. Hal itu tiada lain karena mereka telah mengerti cara-cara menggembala dan merawat hewan piaraannya. Tidak lepas pula dari perhatian dan kasih sayang yang mereka curahkan. Utamanya agar mereka merawat onta-onta yang sedang kepayahan dan memberi makan dan minum pada mereka yang kekurangan.
“Wahai Amiril Mukminin, sebenarnya diri Baginda sedang menjalani ujian, dimana jika ujian itu di bebankan pada seluruh langit, bumi dan gunung-gunung, seluruhnya akan menghindar untuk menanggungnya, dan malah merasa takut”.
“Wahai Amiril Mukminin, aku telah menerima hadits Yazid bin Jabir dari Abdur Rahman bin Umarah bahwasannya Umar bin Khathab Ra. mengangkat seorang pegawai dari kaum Anshar untuk menarik zakat. Namun pada suatu hari beliau melihat orang itu hanya duduk-duduk di rumah. Segera saja Umar menghardik :
“Apa yang menghalangimu untuk melaksanakan pekerjaan yang telah aku bebankan kepadamu. Adakah kau belum mengerti bahwa pekerjaanmu itu laksana berjihad membela agama Allah ?”.
“Aku mengartikannya tidak seperti itu, wahai Amiril Mukminin.” jawab lelaki itu tanpa beban bersalah.
“Bagaimana menurut pandanganmu ?” tanya Umar kembali.
“Aku telah mendengar, “kata lelaki tadi”, bahwa Rasulullah Saw. mengatakan :
“Barang siapa yang berkuasa dan mengurusi perihal urusan manusia, maka ia nanti di hari kiamat akan datang dalam keadaan kedua belah tangannya terbelenggu dengan lehernya. Siksaan ini tidak akan ada yang bisa melepas terkecuali keadilan yang telah diperbuatnya. Kemudian ia akan diberhentikan di hadapan titian dari api neraka, dimana titian itu akan mengibaskannya sehingga setiap anggauta badan akan tergelincir karenanya. Lantas ia akan dihadirkan kembali untuk menerima hisab amalnya. Jika saja ia terbukti sebagai seorang yang berbuat baik, ia akan selamat tersebab kebajikannya itu. Dan jika ketika di dunia ia berbuat jelek, maka titian tadi seketika akan terputus sehingga dirinya akan langsung terjatuh dalam neraka selama tujuh puluh tahun”.
Ketika Umar mendengar hadits ini, dengan tersentak ia bertanya keopada lelaki Anshar itu :
“Dari siapa hadits ini kau dengar ?”
“Dari Abu Dzarr dan Salman Al-Farisi”. begitu jawabnya mantap.
Segera saja Umar pergi menemui Abu Dzarr dan Salman untuk menanyakan kebenaran hadits tersebut. Dan ternyata keduanya mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah mengutarakannya. Ketika itulah Umar langsung berteriak :
“Aduhai betapa kasihan hidup Umar, siapa gerangan yang mau memegang kekhalifahan ini dengan segala resikonya ?”
Abu Dzarr segera menyambung : “Orang yang hidungnya telah dihinakan Allah, dan pipinya dihimpitkan ke bumi, ia akan mampu memegang urusan itu.”
Mendengar jawaban ini, Umar segera mengambil sapu tangan dari sakunya untuk mengusap air matanya yang bercucuran, kemudian ia berteriak histeris sehingga aku (Abu Dzarr) sangat kasihan melihatnya.
Kemudian Al-Auza’i masih meneruskan kembali ucapannya :
“Wahai Amiril Mukmini, Abu Ja’far !, dahulu kakekmu, Abbas telah meminta kepada Rasulullah agar dijadikan seorang gubernur yang menguasai wilayah Makkah, Thaif atau pun Yaman. Namun Rasulullah malah mengatakan :
“Wahai Abbas yang menjadi paman Nabi, satu tubuh yang engkau rawat dengan berbagai amal adalah lebih baik dari pada mendapat kekuasaan yang tidak bisa bersikap adil”.
Kalimat ini disampaikan Raasulullah sebagai rasa belas kasih dan sebagai nasehat kepada kakek Baginda itu. kemudian Rasulullah mengatakan pul;a bahwa dirinya tidak akan mampu membela jika saja siksaan Allah meimpa pada pamannya itu. Hal ini terbukti dari adanya firman :
“Dan berilah peringatan pada kerabat-kerabatmu terdekat”. (QS 26 :214 )
Setelah menerima ayat ini, Rasulullah lantas mengatakan :
“Wahai Abbas dan Shafiyah selaku paman dan bibi Rasulullah !, wahai Fatimah selaku putri Nabi !, diriku tidak akan mampu menanggulangi siksaan Allah jika saja menimpa pada kalian. Akan bermanfaat padaku amal-amal yang telah aku kerjakan, dan akan bermanfaat pula pada kalian amal-amal yang kalian kerjakan.
Umar bin Khathab telah mengatakan pula, wahai Abu Ja’far, Amiril Mukminin bahwa janganlah memegang pemerintahan terkecuali mereka yang betul-betul kuat daya fikirnya, kuat pula keyakinannya. Sudah tidak lagi pernah terlihat suatu cela darinya, dan tidak pernah pula memikirkan kemuliaan dirinya, ia juga tidak akan surut ketika memperjuangkan agama Allah itu akan celaan mereka yang mencelanya.
Umar bin Khathab mengatakan pula bahwa mereka yang duduk dalam pemerintahan itu dibagi ada empat macam. Pertama, yaitu penguasa yang betul-betul kuat serta melecut diri dan para bawahannyta untuk menyelanggarakan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Mereka ini akan seperti orang-orang yang berjihad membela agama Allah. Kedua, penguasa lemah. Ia melecut dirinya sendiri, namun dibiarkannya saja para bawahan yang tidak begitu tanggap mengenai kewibawaan dan kewajiban pemerintah. Mereka dikhawtirkan sekali akan terjungkal dalam bahaya besar, terkecali jika mendapat perlindungan Allah. Ketiga, penguasa yang bertuindak ketat terhadap bawahannya, namun mrmbiarkan saja dirinya sendfiri dalam kehancuran. Itulah yang disebut Rasulullah sebagai huthamah (bencana besar) dalam sebuah haditsnya :
“Sejelek-jelek penguasa yaitu penguasa yang menjadi bencana. Ia akan hancur dalam keadaan sendirian.”
Keempat, yaitu penguasa yang membiarkan dirinya beserta para bawahannya bertindak semau-maunya. Mereka inilah yang kelah akan hancur bersama-sama.
Wahai Amiril Mukminin, aku telah mendengar suatu hadits bahwa pada suatu ketika Jibril As. datang menemui Rasulullah Saw seraya mengatakan :
“Aku datang kepadamu tepat disaat Allah memerintahkan agar seluruh ububan api neraka segera ditaruhkan dalam neraka. Dimana api neraka akan segera dinyalakan untuk persiapan di hari kiamat nanti. Seketika itu pula Rasulullah mengatakan kepada Jibril :
“Sebutkanlah kepadaku mengenai sifat-sifat neraka itu, wahai Jibril !”
“Allah telah memerintahkan untuk menyalakan api neraka, maka apinya dinyalakan selama seribu tahun sehingga memerah, kemudian dinyalakan seribu tahun lagi sehingga menguning, lantas dinyalakan seribu tahun lagi sehingga menghitam. Dengan demikian neraka itu hitam kelam. Baranya tidak pernah terang namun tetap menjilat-jilat tidak pernah padam. Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, jika saja sehelai baju yang dimiliki penduduk neraka itu diperlihatkan pada penduduk bumi, mereka akan mati bersamaan. Jika saja satu timba dari air yang menjadi minuman penduduk neraka itu dituangkan pada seluruh air yang berada di bumi, air itu akan meracuni dan membunuh siapa saja yang menelannya. Dan jika saja satu hasta dari sebuah rantai yang telah disebutkan Allah itu ditaruhkan di atas semua gunung-gunung bumi, seluruhnya akan hancur lebur dan sedikit pun tidak akan mampu menanggungnya. Jika saja seorang yang telah dimasukkan dalam neraka itu dikeluarkan dan ditaruhkan di atas bumi ini, maka seluruh penduduk bumi akan mati seketika karena teracuni oleh bau busuk dan keburukan rupanya.” begitu Jibril menguraikan.
Mendengar keterangan Jibril ini, Rasulullah tidak mampu menahan air matanya, malah Jibril sendiri ikut menangis karena kasihan melihat Rasulullah. Sejenak kemudian Jibril mengatakan :
“Adakah engkau menangis wahai Muhammad, padahal dosa-dosamu, baik yang akan datang maupun yang telah lampau, seluruhnya telah diampuni Allah ?”.
“Tiada lain yang demikian itu karena aku mensyukuri atas nikmat-nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadaku.” begitu sahut Rasulullah.
“Dan mengapa engkau sendiri juga menangis, wahai Jibril ?, padahal engkau merupakan figur kepercayaan Allah, dipercaya menunaikan tugas dalam menyampaikan wahyu.”. tanya Rasulullah lebih lanjut.
“Aku masih begitu khawatir, jangan-jangan diriku akan tertimpa ujian sebagaimana apa yang dialami Harut dan Marut. Peristiwa itulah yang telah menghalangi diriku untuk mempercayai ketinggian martabatku di sisi Allah, sebab kecorobohan seperti itu akan menyeret pada sikap merasa aman atas upaya yang diujikan Allah terhadap hamba-Nya.” begitu Jibril menyampaikan alasannya.
Keduanya pun menangis bersama-sama sehingga ada sebuah panggilan dari langit yang mengatakan : “Wahai Jibril dan Muhammad, sesungguhnya Allah telah menjamin kamu berdua untuk tidak akan berbuat maksiat yang akan menyebabkan siksaan di sisi-Nya. Keutamaan Muhammad dibanding para nabi yang lain adalah sebagaimana kemuliaan Jibril dibandingkan para malaikat lainnya.”.
Wahai Amiril Mukminin, “kata Al-Auza’i lebih lanjut”, bahwa Umar bin Khathab pernah mengatakan :” Allahumma, ya Allah, Jika saja aku mempedulikan nasib dua orang yang bersengketa yang mengadukan perihalnya kepadaku, baik itu menyangkut harta atau pun kehormatan dari saudara yang dekat atau pun jauh, kemudian aku tidak bertindak benar, maka janganlah aku dibiarkan kendati hanya sekejap mata.”
Wahai Amiril Mukminin, sesungguhnya beban yang paling berat adalah melaksanakan tugas yang diwajibkan Allah, sedangkan martabat yang paling mulia adalah bertakwa kepada-Nya. Dengan demikian barang siapa mencari kemuliaan dengan jalan melaksanakan taat (ibadah) kepada-Nya, maka Dia akan memuliakannya, namun jika saja kemuliaan itu ditelusuri dengan berlaku maksiat kepada-Nya, maka Dia akan menghinakannya.
Itulah rangkaian nasehat yang dapat aku sampaikan kepadamu, wahai Baginda. Wassalam.
Kemudian aku segera bangkit, “kata Al-Auza’i selanjutnya”, namun Amiril Mukminin segera menghentikan langkahku dengan sebuah pertanyaan :
“Mau pergi kemana lagi wahai Al-auza’i”.
“Mau pulang untuk menemui anak isteriku jika saja Amiril Mukminin mengizinkan”. jawab Al-Auza’i begitu sopan.
“Sekarang aku izinkan jika tuan berkehendak pulang, dan aku sangat berterima kasih atas nasehat-nasehatnya tadi, semuanya telah aku terima dengan suka cita. Namun kiranya hanya Allah saja yang memberi pertolongan dalam kebajikan. Kepada-Nya aku memohon bantuan dan kepada-Nya pula aku menyerahkan diri. Dialah yang akan mencukupi aku dan sebaik-baik Pelindung. Kemudian aku sangat mengharapkan jika saja pada kesempatan-kesempatan yang lain tuan dapat menyampaikan nasehat-nasehat seperti ini lagi, sebab kami dengan lapang hati dapat menerima nasehat yang telah tuan sampaikan, disamping sikap tuan selama ini tidak mengandung kecurigaan sama sekali.” begitu Baginda menyampaikan terima kasihnya.
“Insya Allah aku akan sanggup melaksanakan.” begitu sjawab Al-Auza’i.
Selanjutnya Baginda segera menyerahkan sebuah kantung hadiah yang berisi uang dinar sebagai bekal kepulangannya, namun dengan halus pemberian itu ditolaknya dengan mengatakan :
“Terima kasih, aku belum membutuhkannya, apalagi aku berprinsip tidak akan menjual nasehat dengan keduniaan.” begitu Al-Auza’i menolak.
Selama ini Baginda sendiri memang telah mengetahui terhadap jalan hidup dan prinsip-prinsip Al-Auza’i. Dengan demikian Baginda melepaskannya begitu saja ketika Al-Auza’i berpamitan untuk pulang ◙
Selasa, 29 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar