Selasa, 29 Desember 2009

Anak-anak Dunia dalam Bahaya

Anak-anak Dunia dalam Bahaya

Mereka adalah anak-anak zaman dari belahan dunia yang berbeda Ada yang hidup dalam kekejaman penjajah, ada yang menjadi korban peraturan pemerintah, dan ada pula yang hidup dalam tekanan

v Anak Palestina Korban Kebiadaban Israel
Adalah Israel yang telah semena-mena menjajah dan menghabisi jiwa-jiwa muda yang baru tumbuh di Palestina. Anak-anak Palestina memang punya Hari Anak Palestina setiap 5 April. Namun, itu bukan peringatan penuh keriangan, melainkan hari penuh hitungan-hitungan jumlah anak yang meregang nyawa di tangan serdadu Israel.
Menurut catatan jaringan HAM untuk anak Paletina, sejak awal tahun 2006 telah gugur 11 anak Palestina. Angka ini menambah jumlah korban anak Palestina yang gugur sejak intifadhah al Aqsha yang mencapai 739 anak. Sementara itu sekitar 4 ribu anak telah ditangkap dan lebih dari 400 anak masih mendekam di penjara Zionis Israel.
Keamanan adalah hal yang langka dan berharga bagi anakanak Palestina. Ujung peluru tajam dan roket pembunuh senantiasa mengintai nyawa mereka, entah saat bermain bermain bola, berjalan sepulang sekolah, belajar di kelas atau di rumah. Tak ada tempat yang aman buat mereka.
Seperti yang dialami oleh gadis cilik Akaber Abdelrahman Zaid (7) yang syahid setelah ditembak membabi buta oleh tentara penjaga perbatasan Israel saat pergi bersama pamannya ke dokter. Sebelumnya, Munadel Abu Alia (13) juga meninggal ditembak tentara Israel ketika dia sedang bejalan kaki di Tepi Barat tanpa pernah tahu alasannya.
Cerita yang sama terjadi pada Jamal Jaber Ibrahim Assi (15) dan sepupunya, Mufid MahmoudAssi (14). Sepulang sekolah, bersama anak-anak lainnya, mereka berdemontrasi tanpa rasa takut untuk memprotes tembok pemisah yang didirikan zionis Israel di Beit Liqya. Tak peduli bahwa mereka anak-anak, dari jarak 5-10 meter tentara Israel menembaki mereka.
Jamal syahid di tempat, sedangkan Mufid meninggal dalam perjalanan ke Rumah Sakit Ramallah. Dunia melihat kekejaman ini, tapi mereka membisu.
Dengan berbagai pembatasan dan tekanan, kebanyakan anak tak bisa hidup layak. Tercatat, 1 dari 5 anak Palestina menderita kurang gizi. Penyakit ini banyak diderita oleh anak Palestina berusia 5 tahun. Kondisi kemiskinan dan kurang gizi ini sama seperti yang terjadi di negara-negara Afrika. Sebagian besar rakyat Palestina memang tidak memperoleh makanan berprotein tinggi dan hampir sepertiga jumlah itu kesulitan memperoleh makanan pokok, seperti roti dan nasi.
Namun, bisa jadi Israel mungkin merasa heran lantaran jumlah anakanak yang talk berkurang walau mereka telah membantai orang Palestina, termasuk anak-anak mereka. Memang di tengah kekurangan pasokan pangan, air listrik, dan rumah yang sering dihancurkan buldoser, wanita-wanita Palestina melahirkan tunas-tunas perjuangan baru. Pinggiran Gaza dan sekitarnya menjadi pemukiman padat dengan lahirnya generasi baru Palestina.
Peran wanita Palestina memang begitu besar bagi perjuangan negeri ini. Selain mendampingi dan membesarkan hati para suami untuk berjihad, mereka juga menanamkan jiwa rindu kebebasan pada anakanak mereka. Sebagai langkah nyata, mereka mengumpulkan dana bagi para mujahidin, menyediakan makanan, tempat perlindungan dan merawat mereka yang terluka. Selepas Israel menutup sekolahsekolah Palestina, para wanita ini, khususnya yang sempat mengenyam pendidikan tinggi, segera membentuk kelas-kelas pendidikan darurat di masjid-masjid. Mereka tak akan membiarkan anak-anak Palestina terlantar dari dunia pendidikan.
"Misi seorang wanita muslimah tidak berhenti kepada pendidikan anak-anaknya dan memelihara rumah saja, namun dia harus bisa menjadi produsen yang menciptakan masyarakat muslim," tegas Ummu Muhammad, istri Abdul Azis Ar Rantisi yang syahid di tangan Israel, mewakili tekad muslimah Palestina dalam mendidik anakanaknya.

v Anak Perempuan Cina Korban Pembatasan Populasi
Jika di Palestina para wanita melahirkan banyak anak untuk dididik berjihad membela tanahnya, maka di Cina terjadi sebaliknya. Para wanita di Negeri Tirai Bambu ini dibatasi dalam melahirkan. Di negeri berpenduduk lebih dari 1,3 milyar jiwa ini, pemerintah menerapkan peraturan pembatasan kelahiran, yang dikenal dengan 'Kebijakan Satu Anak', untuk menekan jumlah penduduknya. Kebijakan ini ditandai dengan pelegalan aborsi dan sanksi yang cukup keras dari pemerintah Cina jika ada wanita yang hamil lagi setelah punya satu anak.
Yang menyedihkan dan akhirnya memperparah keadaan, ternyata kebanyakan penduduk Cina lebih menginginkan anak lakilaki ketimbang anak perempuan. Alasannya, anak laki-laki bisa menolong baik secara ekonomi maupuan sosial keluarga. Seperti yang diungkapkan Wan Baoqi, ibu tiga anak yang tinggal di Desa Dalu dekat Sungai Guang Xi. Anaknya yang pertama perempuan, sesuai peraturan di desa itu jika sudah punya anak perempuan, dia boleh hamil lagi untuk mendapatkan anak laki-laki. Namun anak keduanya cacat. Dia pun diperbolehkan hamil anak ketiga, laki-laki yang sehat.
"Yang bisa saya katakan, punya anak laki-laki adalah kunci buat kami. Sebab, kami perlu orang untuk mengangkat air, menjaga rumah kami, bekerja di ladang dan mengurus kami saat tua nanti," katanya.
Anggapan ini tentunya tak menguntungkan buat perempuan. Bila dengan berbagai cara orangtua tahu bahwa janin yang dikandung itu perempuan, tak segan-segan mereka melakukan aborsi. Kalaupun ada anak perempuan lahir, maka sebagian besar mereka diditinggalkan di panti-panti asura yang tak layak, dijual atau bahkan dibunuh ketika masih bayi. Anak-anak perempuan yang tidak diinginkan itu akhirnya banyakyang menjadi korban trafficking (perdagangan anak), atau sedikit yang beruntung, diadopsi oleh sebuah keluarga di Amerika Serikat.
Pan Juan (58), ibu empat anak, misalnya, menyaksikan anak perempuannya hanya dalam hitungan hari saja. "Mengandung dia adalah satu kesalahan, kami takut didenda jadi kami membuangnya. Banyak orang yang melakukannnya, mereka memberikan bayi itu pada pemerintah. Mungkin sekarang dia sudah ada di Amerika," kata ibu yang tak tahu sama sekali kabar tentang anaknya ini.
Dengan dibuangnya anak-anak perempuan, tak heran jika jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Cina sangat tidak seimbang. Rationya 104 laki-laki untuk tiap 10 perempuan. Kini sudah tercipta kondisi dimana sekitar 40 laki-laki, yang menanggung beban keluarga, berharap bisa menikahi satu wanita yang ada. Bagi laki-laki yang mampu, mereka bisa mencari pasangan ke luar negeri. Bagi yang kemampuannya biasa-biasa saja, bisa memasang iklan di koran-koran untuk mencari wanita yang bersedia dinikahi. Kenyataan menyedihkan ini disinyalir membuat agresivitas lelaki yang tidak mendapat pasangan di Cina semakin meningkat.
Tentunya ini jadi masalah pelik buat penduduk Cina, juga buat pemerintah sendiri. Himbauan pemerintah yang menyamakan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan, kurang mendapat tanggapan dari masyarakat. Maka keresahan pun semakin dirasakan. Tak ada yang bisa memastikan seorang lelaki bisa mendapatkan perempuan sebagai istri.
v Anak Jepang dalam Tekanan
Berlawanan dengan Cina, pemerintah Jepang justru tengah sibuk menganjurkan pernikahan dan meningkatkan kelahiran anak bagi para penduduknya. Pertumbuhan penduduk Jepang cukup lambat, yakni rata-rata 9,6 kelahiran per 1000 penduduk. Jumlah penduduk di negara berteknologi maju dengan tingkat pendidikan yang terbaik di dunia ini, diperkirakan hanya 100 juta orang saja di tahun 2050 kelak. Kekhawatiran ini menjadi perhatian pemerintah lantaran lepang membutuhkan banyak orang muda untuk menjadi tenaga kerja. Merekapun diharapkan menjadi penyokong kehidupan orangtua yang semakin berat karena harapan hidup yang semakin tinggi.
Sebagai makhluk yang diharapkan kehadirannya, ternyata kehidupan anak dan remaja Jepang juga tidak lebih baik. Tekanan untuk menjadikan mereka tenaga profesional dan unggul, mendorong pemerintah merancang sistem pendidikan yang demikian padat dan ketat. Bagi anak dan remaja Jepang seluruh kegiatan sekolah seolah jadi mimpi buruk buat mereka.
Tekanan akademik ini membuat mereka ingin segera keluar bersenangsenang ketika sekolah usai. Banyak fakta menunjukkan para remaja menghabiskan waktunya bersenang-senang, berbelanja, seks bebas dan menenggak obat-obatan. Itu semua mereka lakukan karena merasa lelah dengan pelajaran yang tiada henti.
Sementara yang lain bersenang-senang melarikan diri dari kepenatan, ada pula yang anak yang menderita penyakit jiwa dengan menarik diri dari kehidupan sosial (hikikomori). Penyakit jiwa yang juga diderita hampir 1,2 juta penduduk Jepang ini adalah akibat tekanan yang bertubi-tubi dari sistem pendidikan, tekanan sosial maupun pekerjaan.
"Kebanyakan anak-anak dan remaja mengalami tekanan yang cukup berat dari masyarakat, orangtua dan sekolah. Mereka diharapkan mandiri dan meningkatkan kemampuan terus menerus, pun harus menjadi lebih baik sepanjang waktu," jelas Shigimitsu Matsumoto, dari Organisasi Next Generation. "Para anak remaja pria dalam masyarakat Jepang didoktrin harus kuat, bijaksana dan harus bekerja keras untuk mendapatkan uang," lanjutnya.
Jumlah penderita Hikikomori bertambah, demikian juga dengan tingkat bunuh diri. Jalan pintas ini diambil sebagiananakdanremaja Jepang yang sudah sedemikian tertekan ini. Banyak dari mereka yang mencoba berkali-kali bunuh diri setelah sekian lama menarik diri dari kehidupan sosialnya hanya karena mereka gagal masuk universitas pilihannya.
Frustasi berkepanjangan ini juga menyebabkan tingginya tingkat kekerasan. Ada remaja berusia 17 tahun penderita hikikomori yang membajak bis dan membunuh para penumpangnya. Ada Yoichi Okuyama (15) yang ditahan karena menyerang orangtuanya. Ada pula 15 remaja yang bunuh diri bersama-sama setelah mengobrol di satu chat room.
Anak dan remaja Jepang yang miskin spiritualitas tentunya jauh berbeda dengan anak-anak Palestina yang tak gentar melawan kebengisan zionis Israel atau dengan anak-anak perempuan Cina yang dibuang keluarganya. Dalam situasi yang berbeda, mereka punya kehidupan yang berbeda. Namun mereka tetaplah anak-anak. Dunia anak yang ceria dan berada dalam perlindungan orang-orang dewasa, seharusnya menjadi bagian dari pertumbuhan mereka.

v 40 Juta Buruh Kanak-kanak di Dunia
Anak-anak yang berpipi cekung membungkuk dibebani kantong-kantong berisi semen, atau mendorong gerobak, atau menggali sumur-sumur, membanting tulang di bawah sengatan matahari di jalan-jalan kota Palermo yang permai.
Adegan abad ke 19 seperti yang digambarkan dalam novel-novel Charles Dickens dan Victor Hugo. Tetapi ini Palermo. Pada saat ini sejuta anak bekerja di Italia, meskipun Italia mengalami "mukjizat ekonomi" yang mengubah negara itu menjadi negara industri yang modern. Mereka bekerja seperti orang dewasa yaitu 6, 8 dan bahkan 10 jam sehari untuk bayaran 25 sampai 30 dollar AS sebulan. Demikian menurut pemimpin-pemimpin serikat buruh Italia.
Sejuta "bambini" yang membanting tulang ini cuma merupakan 2½% dari tenaga kerja anak-anak di seluruh dunia.. Ada 40 juta anak-anak di bawah umur 14 tahun yang bekerja di pabrik-pabrik, di ladang-ladang, di perkebunan-perkebunan, di bengkel-bengkel, di hotel-hotel, di restoran-restoran, di toko-toko seluruh dunia.
Tenaga kerja anak-anak cenderung untuk berkurang di negara-negara yang mengalami kemajuan pesat dalam industri dan pendidikan. Tetapi tenaga kerja anak-anak masih merupakan kenyataan hidup di negara-negara seperti Spanyol, Italia dan bahkan AS.
Anak-anak jarang dijumpai sebagai buruh dalam perusahaan-perusahaan industri yang besar, tetapi mereka dapat menjadi faktor yang penting di pabrik-pabrik kecil, di mana kesulitan finansial mendorong management untuk mencoba menekan upah serendah mungkin.
Menurut penyelidikan International Labour Organisation (Organisasi Buruh Se-dunia) tahun 1965 di Thailand, anak-anak merupakan suatu proporsi besar dari tenaga kerja di pabrik-pabrik yang mempunyai 10 buruh atau lebih, yaitu pabrik-pabrik yang membuat atau mengolah produk-produk seperti botol, rokok, tekstil, gula-gula, biskuit dan ikan.
Sejumlah besar dari pekerja-pekerja cilik itu adalah wanita berumur 10 - 15 tahun bahkan anak-anak umur 6 tahun. Mereka bekerja 8 - 14 jam sehari selama 7 hari dalam seminggu padahal bayarannya buruk, penerangan di tempat kerja kurang, begitupun ventilasi. Pokoknya tempat kerja mereka tidak sehat.
Penyelidikan yang dilakukan di Thailand pula 2 tahun kemudian menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak-anak umur 16 tahun ke bawah yang bekerja di pabrik-pabrik tekstil kecil ternyata tidak pernah duduk di bangku sekolah. Pekerjaan yang diberikan kepada anak-anak seringkali pekerjaan yang ringan, tetapi ada perusahaan-perusahaan yang mengerjakan anak-anak umur 12 tahun untuk membuat mercon, meniup gelas atau memindah-mindahkan benda-benda pijar yang bukan cuma berbahaya tetapi juga mengancam kesehatan dan pertumbuhan mereka.
Di Afrika, di Asia, di Amerika Latin dan di Timur Tengah, anak anak kerap mengerjakan kerajinan tangan di bengkel-bengkel yang ada di rumah. Mereka menenun linen dan wol, menganyam jerami, membuat benda-benda dari kulit dan tanah liat, menenun atau menyulam permadani, memahat. Di Iran yang terkenal permadaninya itu ternyata kita mendapatkan penenun-penenun permadani kanak-kanak yang mengerjakan sebagian besar dari benda yang bagus itu. Umur mereka kadang-kadang baru 10 tahun.
Anak-anak dijumpai juga bekerja di toko-toko kecil, di hotel dan perusahaan makanan di samping sebagai pembantu rumahtangga seperti banyak dijumpai di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Menurut ILO, banyak di antaranya berumur di bawah 14 tahun. Banyak diantara pelayan yang masih kanak-kanak ini dikerjakan secara legal karena undang-undang setempat menetapkan bahwa batas umur minimum untuk pekerja adalah 12 atau 13 tahun.
Di Eropah Selatan, anak-anak sering bekerja sebagai pencuci piring di cafe-cafe, restoran-restoran, bekerja sebagai tukang semir sepatu dan pengantar surat. Di beberapa tempat di Eropah, anak-anak diperkenankan bekerja meskipun belum mencapai umur yang ditetapkan oleh undang-undang, tetapi pekerjaan bagi mereka ada pembatasan-pembatasannya. Umpamanya saja mereka tidak boleh bekerja dini sekali atau larut malam, jam kerja mereka dibatasi dan mereka harus mencapai umur tertentu. Di Inggris umpamanya anak laki-laki harus mencapai umur 13 tahun dulu dan anak perempuan 15 tahun. Tetapi ini bukan kerja dalam bidang industri.
Di beberapa kota di Inggeris anak-anak dapat dilihat sedang mengantar-ngantarkan susu atau koran pada saat hari masih pagi sekali. Pertanian banyak bertumpu pada tenaga kerja anak-anak yang masih dalam umur untuk bersekolah, terutama di negara-negara yang sedang membangun. Anak-anak sering bekerja berdampingan dengan orangtua mereka di tanah-tanah pertanian tradisionil atau di perkebunan-perkebunan untuk memetik teh, kopi, menanam padi atau mengumpulkan latex hasil sadapan. Mereka juga ambil bagian dalam tugas menyiangi rumput, menyebar rabuk.
Di Brazilia, penanaman dan panen kapas, padi, bit, gula, tebu, kopi dan coklat sering dilakukan oleh anak-anak yang di-awasi oleh beberapa orang dewasa. Di AS pejabat-pejabat memperkeras peraturan-peraturan perihal penggunaan tenaga kerja anak-anak di tanah-tanah pertanian. Tahun 1967 ada 309.000 buruh pertanian dan 38.000 di antaranya buruh yang berpindah-pindah.
Sejak didirikan ILO sudah mengesahkan 10 keputusan perihal umur minimum dari pekerja. Keputusan yang pertama pada tahun 1919 menetapkan bahwa umur minimum untuk menjadi buruh pabrik adalah 14 tahun. Ini diubah pada tahun 1937 menjadi 15 tahun. Hanya beberapa negara yang telah menetapkan umur minimum menjadi 16 tahun, antara lain. Bulgaria, Sovyet, AS, Australia, Jepang dan Singapura.
Di negara-negara Eropah minimum umur 15 tahun seperti Italia, Norwegia, Belanda (untuk anak perempuan), Swedia, Cekoslowakia dan Yogoslavia. Minimum 14 tahun berlaku di Belgia, Denmark, Hongaria, Malta, Nederland (untuk anak laki-laki) dan Rumania. Di Hongaria dan Rumania, anak-anak di bawah umur 16 tahun dilarang bekerja pada jam-jam sekolah jika mereka belum menyelesaikan wajib sekolah.
Beberapa negara menentukan umur minimum yang lebih muda lagi daripada yang ditentukan oleh ILO. Batas umur 12 tahun berlaku di Turki, Costa Rica, Iran, Mesir dan Pakistan (untuk pabrik-pabrik).
Tetapi hukum sering kendur sehingga anak-anak di bawah umur yang ditetapkan tetap juga tidak terlindungi sepenuhnya. Emanuele yang berumur 9 tahun bekerja di pabrik roti di Palermo. Ia kehilangan sebelah tangannya, karena digilas oleh mesin pangadon roti. Ia bekerja pukul 6 pagi, lalu pada pukul 8 ia bergegas ke sekolah. Siang hari ia bekerja kembali di pabrik roti dan pulang pukul 10 malam. Ia mendapat gaji kurang dari 20 dollar sebulan padahal bekerja 15 jam sehari. Dan ini terjadi pada tahun 1975. Sungguh mengenaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar